“Tempat yang sunyi, tapi tidak gelap,” ucap Nuwa di dalam penjara di Negeri Syam. Dayyan akan mencari lebih banyak bukti seperti apa katanya. Beberapa detik kemudian lampu di dalam penjara itu dimatikan. “Akhirnya gelap lagi.” Tidak ada ketakutan lagi di hati Nuwa mendapatkan perlakuan yang sama. Hanya saja bedanya, dulu ia bersama Kai dan sekarang bersama anak di dalam kandungannya saja. “Bersabarlah, anak Ibu, apa pun takdir yang terjadi harus kita terima. Andai Ibu dihukum mati kita akan bertemu Ayah lebih cepat, andai Ibu masih diberi kesempatan hidup, akan Ibu besarkan kau seorang diri. Kita berdua kuat, pasti bisa melewati semua ini.” Nuwa berbaring di atas tikar tipis di dalam penjara. Lantai itu terbuat dari semen halus. Di siang hari memang ketika musim panas akan sangat menyengat. Namun, di malam hari angin yang berhembus terasa sangat dingin. Penjara di mana Nuwa dikurung agak dalam letaknya dan anginnya masih terasa menggigit sampai ke tulang. Beruntung ia menggunakan
“Apakah ada perkembangan dari wanita bermata besar itu?” tanya Dayyan baru saja tiba. “Seperti biasa, Tuan!” Lapor bawahannya. “Dia sholat?” tebak putra pertama Ali, lelaki yang dilemparkan makanan itu menjawab iya. “Tunggu saja sampai dia mengaji, lama-lama juga kemampuan mereka akan dikerahkan semuanya.” “Dia belum mau buka mulut juga.” “Tunggu selama dua hari, setelah itu siksa dia. Kita butuh banyak keterangan untuk menangkap sisa dari mereka yang menyebar.” “Disiksa, Tuan. Apa kau yakin?” “Yakin, tapi jangan menimbulkan bekas luka di tubuhnya. Kita tidak punya pilihan lain. Aku tidak mau jumlah orang yang tidak berdosa meregang nyawa di negeri ini terus saja bertambah.” Dayyan berjalan menuju penjara tempat Nuwa ditahan, berdua dengan bawahannya tadi. “Si keledai dungu, kau datang juga akhirnya.” “Apakah itu arti dari makianmu kemarin?” tanya Dayyan.“Iya, aku bahkan bisa lebih kasar dari yang kau kira. Lepaskan rantai ini kita duel satu lawan satu. Jangan kau pikir karen
“Sayang, kepalamu kenapa?” tanya Feme ketika Dayyan menjemput dirinya. Dahi suaminya diberi sebuah plester kecil. “Tidak ada apa-apa. Hanya tersandung tadi dan jatuh,” jawab lelaki bermata abu-abu itu. Ia berbohong karena tidak mau Feme bertambah beban pikirannya. Anak lelaki mereka yang paling besar berusia delapan tahun namanya Albani. Anak kedua yang perempuan berusia tiga tahun namanya Shabira. Dua amanah yang sudah membuat ibu mereka cukup lelah mengurus semuanya. Dayyan tidak membawa dua anaknya untuk ikut melakukan pengobatan kali ini. Bani sudah bisa dipercaya untuk menjaga adiknya. Sedangkan Bira sudah tidur dari tadi dan biasanya sore baru akan bangun. Sepasang suami istri itu pergi mengendarai mobil ke sebuah tempat pengobatan tradisional. Segala cara dilakukan Dayyan agar Feme masih bisa menemani dirinya. Sebab kata wanita itu dia tak sanggup ikut kemoterapi lagi. Tulang dan seluruh sendinya terasa sangat sakit.“Aku hanya bisa menyusahkan semua orang saja,” ucap Feme
“Kalian pasti saling mengenal, bukan?” Dayyan seperti memaksakan kehendak pada Nuwa. “Tidak!” Sampai kapan pun Nuwa tidak akan mengaku sebagai mata-mata karena ia memang bukan penyusup. Ia penyintas yang butuh pertolongan. “Kau mengenal wanita ini?” tanya Dayyan pada penyusup di dalam rumahnya. “Kenal,” dusta tentara wanita itu. “Nǐ zhège piànzi (kau berdusta),” ucap Nuwa pada wanita yang sama sekali tidak ia kenal.“Wǒ sǐ nǐ sǐ (aku mati kau mati).” Tentara itu tidak mau menderita sendirian. “Lihatlah, kalian bahkan berbicara dengan bahasa yang hanya kalian berdua paham saja. Sudah jelas kalian saling mengenal dan merencanakan sesuatu.” Dayyan menarik kesimpulan. “Aku malas sekali berbicara dengan keledai tolol sepertimu. Apa tidak ada orang yang lebih kompeten di sini?” “Kau sedang berbicara dengannya.” “Bitch!” maki Nuwa lagi. Sudah cukup rasanya Dayyan mendengar umpatan wanita Suku Mui di telinganya. “Artinya kalian berdua mata-mata?” tanya adik Maira pada tentara wanita
Dayyan tidak pernah main-main dengan keputusannya. Sebab didukung oleh bukti yang belum bisa dibantah pula. Di hari menjelang malam ketika angin panas telah berganti dengan angin yang mulai dingin, Nuwa benar-benar mendapatkan siksaan. Dikatakan keji tapi tidak menimbulkan luka. Tidak keji tapi membuat wanita Suku Mui itu semakin membenci putra pertama Ali. Janda Kai itu dimasukkan ke dalam sebuah bak berisikan air di mana ada banyak batu es berukuran besar. Sekilas memang tidak menimbulkan luka, tetapi rasa dingin hingga menggigit tulang tidak mampu ditepis oleh Nuwa. Giginya bergemeratakan dan bibirnya bergetar. Dayyan memperhatikan dari luar penjara. “Padahal dia hanya tinggal mengaku saja, lalu beritahu semua yang dia tahu, perkara selesai. Tinggal dijatuhkan hukuman mati,” ucap Dayyan dari luar penjara melihat wanita itu disiksa. Sebenarnya ia tak tega, tetapi tidak ada jalan lain agar Nuwa buka mulut. Dari arah kiri datang Maira yang baru saja kembali dari perbukitan mencari
Nuwa telah sadar dan diberi tahu oleh dokter yang membersihkan kandungannya. Dokter itu sampai meminta maaf berkali-kali karena terpaksa hal demikian dilakukan. Nyawa sang ibu akan menjadi taruhan jika perdarahan tidak dihentikan sesegera mungkin. Nuwa hanya termenung saja, bahkan sang dokter tak mau meninggalkan wanita itu takutnya ia berbuat nekat. Bunuh diri misalnya. “Lalu kenapa aku tidak ikut mati saja? Suamiku tewas di tiang gantungan, anakku keguguran karena aku disiksa atas kesalahan yang tidak pernah aku lakukan. Si keparat itu, akan aku cari dan bunuh dia!”Benar Nuwa menangis, tapi dalam tangisannya, dendam tumbuh amat cepat pada diri Dayyan. Karena janin itu satu-satunya kenangan dari Kai. hilang. Namun, wanita itu langsung terduduk di lantai, ia masih sangat lemah. “Sabar, saudariku, aku tahu kau sedang sedih, tapi istirahat dulu. Jangan menyiksa dirimu seperti ini.” Dokter itu membantu Nuwa naik ke atas ranjang.“Aku tidak pernah menyiksa diriku sendiri. Kau tahu, bah
“Kau ingin apa, katakan saja?” tanya Maira. Istri Fahmi pun yakin kalau dia bukan mata-mata. Ada jejak kebaikan yang tertinggal di wajah Nuwa. Maka bagi Maira, Dayyan sangat ceroboh tidak bisa tanggap. “Aku tidak ingin apa-apa. Aku ingin istirahat, itu saja. Maaf, aku sedang tidak ingin diganggu,” ujar Nuwa. “Baiklah, kalau begitu jangan lupa minum obat sampai kandunganmu bersih kembali dan mungkin jika sempat akan aku cari bukti kalau kau bukan mata-mata.” Maira tentu harus meluangkan waktu jika ingin menolong Nuwa, sedangkan urusan Fahmi saja belum selesai. “Bersabarlah, Nak, Ibu tidak akan bosan-bosannya mengatakan ini padamu. Yang pergi akan diganti.” “Aku tidak menginginkan suami lagi, jika itu yang Ibu maksud,” bantah Nuwa. “Tidak harus suami, mungkin hal lain yang dulu kau inginkan tapi tidak sempat diwujudkan. Kau hanya perlu sabar, Nak, itu saja. Baiklah, Ibu pergi dulu, assalammualaikum.” Gu keluar begitu juga dengan Maira. Wanita Suku Mui itu tidak tahu harus berbuat
Sudah tujuh hari Nuwa dirawat di rumah sakit dan kondisi kesehatannya semakin membaik. Apakah dengan demikian ia dibebaskan? Tidak. Dayyan masih tetap menjadikannya tahanan rumah. Nuwa tak boleh keluar sejengkal pun dari kamar tempat ia dirawat. Putra pertama Gu itu masih tetap pada keyakinan sebelum bukti lebih akurat ditemukan. Lalu bagaimana dengan pencarian Maira. Masih dilangsungkan tapi tidaklah mudah menembus pertahanan keamanan sistem di Negeri Xin Hua. Jikalau mudah pasti Fahmi sudah ia temukan. Yang ada hanya catatan kelam tentang Nuwa dan suaminya yang membunuh beberapa tentara. Bukan kelam juga, tapi hanya sebentuk perlindungan diri. “Ya Allah, mengapa semua jalan terasa buntu,” ujar Maira di ruangannya. Fahmi tidak ada kabar, Nuwa juga tidak ada perkembangan sama sekali. Dua orang yang ia yakini harus diselamatkan. Lalu ia pun hanya bisa berserah saja dengan takdir. Sebab semua upaya telah dikerahkan. *** Bawahan Dayyan kembali menangkap dua orang mata-mata perempuan