Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
Bagian 1 Hilang Maira sedang sibuk bekerja. Kasus penculikan akhir-akhir ini semakin banyak saja. Dia bersama suaminya—Fahmi, hampir tidak ada istirahatnya memecahkan satu kasus ke kasus lainnya. Jika mereka terlambat maka anak-anak yang diculik akan mati digantung. Ini bukan karena penjagaan di Syam semakin melemah. Tidak seperti itu. Memang Syam sempat memenangkan peperangan melawan Balrus. Namun, Balrus tidak tinggal diam begitu saja. Negara kafirun itu akhirnya bekerja sama dengan negara super power sekelas Xin Hua. Negara yang umat islamnya semakin lama semakin berkurang karena ditindas dan mati disiksa. “Maira, kau pulang saja duluan. Kasihan anak-anak kita tidak ada yang menunggu,” ucap Fahmi ketika hari sudah Ashar. “Kau tidak apa-apa aku tinggalkan?” tanya wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istri Fahmi. Kini usianya sudah 35 tahun, dan Fahmi 30 tahun. Sudah banyak lika-liku kehidupan yang mereka jalani. Ditambah dengan tiga orang anak lelaki semuanya. Amanah yang ha
Bagian 2 Janji SetiaFu Khai bangun di pagi yang masih sangat buta dan dingin. Sudah menjadi kebiasaannya sejak masih berusia tujuh tahun. Lelaki muslim keturunan Suku Mui di Xin Hua itu berlatih bela diri wing chun. Pertama kali yang Kai lakukan ialahn membasuh mukanya. Dengan air yang berasal dari gentong, sangat dingin dan mampu mengembalikan nyawanya yang masih setengah berada di atas ranjang. Sebuah kayu dengan susunan tangan-tangan lurus menjadi tempatnya latihan. Bela diri wing chun ia latih setiap hari demi ketangkasan dan kecepatan tubuhnya. Sebab tinggal di negara yang mendiskrimanasi umat muslim perlu kekuatan lebih. Bukan untuk memberontak. Suku Mui tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Melainkan untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Tentara Xin Hua yang bengis sering melakukan sidak dadakan dan semena-mena. Detik yang berubah menjadi menit Kai memukul dan menendang boneka kayu, membuat peluhnya mengucur. Lumayan sebagai pemanasan sebeluam memulai aktifitas u
Bagian 3 Lupa“Kenapa kalian lari. Kami kemari hanya jalan-jalan saja.” Salah seorang tentara Xin Hua datang berserta lima pasukannya. Tersusul juga larinya Kai dan Nuwa karena terganggun dengan derap langkah kuda yang asal-asalan. “Maafkan kami, Tuan. Istriku takut mendengar suara ledakan.” Kai memegang erat tangan Nuwa. Ia tahu wanita bermata hitam kelam tersebut tak suka dengan kedatangan para tentara kafirun. “Ini istrimu, ckckck, cantik sekali,” ucap salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi. Kai menggeser Nuwa di belakang tubuhnya agar tidak ada mata jalang pria lain yang berniat memangsanya.“Sekali lagi maafkan kami jika ada berbuat salah, Tuan. Kami hanya sedang memberi makan kuda milik Tuan Wong.” Kai masih berusaha menahan situasi agar tidak tegang. Jujur saja ia sanggup dengan tangan kosong melawan tentara itu. Tangan kosong, bukan melawan senjata api. “Ah, Tuan Wong, iya, iya. Orang kaya satu itu. Katakan padanya agar membayar pajak dua kali lipat lebih banyak
Bagian 4 Kai baru saja pulang dari belajar di tempat seorang guru. Sepulangnya ia ke rumah, guru wing chun itu mengajarkan pula yang ia tahu pada Nuwa. Begitu terus berlangsung dari dulu hingga Nuwa meski tidak sekolah, ia tidaklah keterbelakangan. Setidaknya untuk bahasa Inggris bisa memahami percakapan orang, bisa menjawab juga walau tidak selancar orang yang benar-benar belajar di lembaga resmi dan terpercaya. Sudah empat bulan ini pula Kai mengajarkan istrinya bahasa Arab. Malas-malasan sebenarnya Nuwa karena pola bahasa Arab yang sangat rumit. Bahasa yang memiliki banyak turunan dan beda pengucapan beda pula artinya. “Libur sajalah malam ini belajar bahasa arabnya. Rasanya aku tidak bertambah pintar sejak empat bulan lalu.” “Tidak, kau sudah paham kata-kata orang. Kau hanya sedang malas saja. Ayo lanjutkan.” Kai menarik tangan Nuwa. Wanita berusia 20 tahun itu justu meraba kantung baju suaminya. Ketemu satu buah pir besar yang sangat ranum. Lekas saja ia cuci dan bagi dua. M
Bagian 5 Sang Kapten “Bawa perempuan ini menghadap Kapten Xia He. Pasti kakak lelakinya puas kalau menikmati tubuh perempuan secantik dia,” ucap pemungut pajak di sebelah telinga Kai langsung. Terbawa emosi dan sebelum tangan mereka diborgol, Kai melayangkan satu buah tinju yang langsung mengarah ke tenggorokan pemungut pajak tersebut. Hasilnya tentara itu kejang-kejang dan matanya terbuka lalu diam di atas tanah. Sebagian penduduk keluar di pagi buta karena ada keributan. “Bunuh dia!” perindah dari tentara lainnya. Sebuah belati hampir dilayangkan mengenai punggung Kai. Namun, Nuwa bergerak cepat, belati itu ia genggam dan tusuk kembali ke perut tentara tersebut. Dua kematian yang jelas sekali akan mendapatkan balasan. “Kalau berani kalian lawan tangan kosong dengan kami. Kalau kalian pengecut, tembak langsung kami sampai mati!” Kai menantang 20 puluh tentara bawahan yang tersisa.“Mungkin umur kita memang hanya sampai di sini, Kai. Kita akan pergi bersama anak kita ke alam lai
Tidak hanya mata-mata. Beberapa pengacau juga sudah dikirim untuk mengacaukan Syam dari dalam. Anak-anak di bawah umur menjadi sasaran. Mereka akan disiksa, dan dilakukan sebuah ritual lalu dikembalikan pada orang tua mereka dalam keadaan tergantung. Xia He tertawa membayangkan anak-anak muslim itu menangis sebelum disiksa. “Apa? Kalau kau main-main, aku tembak kepalamu dengan rudal dari sini.” Kapten itu mengangkat panggilan pada dering kelima. Ia mendengar keterangan dari mata-matanya yang tinggal di antara kokoh dan kelamnya bebukitan di Syam. “Siapa? Humaira dan Fahmi?” ulang Xia He. “Oh, jadi mereka suami istri dan polisi yang bertanggung jawab dengan kasus penculikan anak. Fahmi itu tampan tidak?” tanya kapten bertangan dingin tersebut. Lalu supir menyodorkan ponsel miliknya. Foto Fahmi dan Maira terpampang nyata. Maira menggunakan cadar hingga hanya mata yang terlihat. Tidak dengan Fahmi yang terekspose wajahnya. “Aku suka lelaki ini. Gagah sekali, dan tampan. Apa mereka su
Wei Nuwa dan Fu Kai duduk bersebelahan di dinding penjara yang dingin. Mereka sedang menanti proses dari penjaga lebih lanjut. Entah apa, mereka berdua tidak ada yang tahu. Penjara itu memiliki banyak ruangan, tapi semuanya kosong. Lebih lagi suasana terasa seram. Seperti jeruji besi dengan banyak hantu di dalamnya. “Ini bukan penjara, tapi kuburan,” ujar Nuwa. Matanya seperti melihat ada jerami yang bergerak sendiri tanpa ada yang mengusik. Wanita dengan mata sekelam malam itu tidak takut dengan yang katanya hantu. Sebab hantu tidak lebih jahat dari manusia. “Konon, dulu waktu aku masih kecil. Tempat ini siksaannya luar biasa. Nuwa, kau bisa lihat sendiri bukan, ada bercak darah yang menempel di dinding. Mungkin itu berasal dari orang-orang yang kena siksaan.” “Aku melihatnya, dari tadi aku menghitung, dan sepertinya kita tidak berdua saja di sini, Kai.” Wanita Suku Mui itu menatap darah yang telah mengering di lantai penjara. “Mungkin mereka mati dengan tidak tenang. Tidak dikaf