BRANDON
Emosiku benar-benar diuji menghadapi cewek seperti si Kutilangdara. Besar juga nyalinya berhadapan denganku. Dia belum tahu siapa Brandon Harun? Lihat saja nanti, sedetikpun tak akan kubiarkan dia tenang selama berlatih di klub basket.
Aku menurunkan lagi penutup helm setelah mengembuskan napas keras. Si Kutilangdara berjalan keluar dari gerbang dengan rambut yang bergoyang seperti ekor kuda. Dia berhenti begitu berada di luar pagar sekolah, mungkin menunggu jemputan.
Segera dinyalakan motor, lalu memacunya pelan. Entah kenapa tangan ini tiba-tiba terulur ke kiri, lantas menarik ujung rambutnya sehingga dia mengaduh kesakitan.
“Woi! Kurang ajar! Awas kalau ketemu lagi!!” teriaknya lantang.
Aku hanya tertawa puas saat berhasil membuatnya marah. Tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, kuacungkan jari tengah ke arahnya. Yakin, sekarang wajah si Kutilangdara seperti kepiting rebus menahan marah, persis seperti saat di ruangan basket tadi.
Motor Honda CBR ini terus kupacu menuju perumahan Menteng Dalam, tempat tinggal keluargaku. Mama pasti sudah menunggu di rumah.
Oya, kalian tidak perlu kaget melihatku mengendarai motor ke sekolah padahal masih di bawah umur, tanpa KTP Apalagi SIM. Biasalah orang kaya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan uang. Beruntung selama ini, aku belum pernah terjaring razia atau kena tilang.
Tak lama kemudian, motor memasuki pekarangan rumah yang kami tempati sepuluh tahun belakangan. Sejak usaha properti Papa berhasil, kami sekeluarga pindah ke perumahan elite ini. Sekarang usaha milik beliau sudah merambah ke bidang garment dengan menyewa beberapa pabrik di berbagai daerah.
“Anak Mama sudah pulang,” sambut wanita paling cantik yang pernah kutemui.
Beliau membentangkan tangannya menyambut kedatanganku. Segera disambut dengan sebuah pelukan. Seperti itulah setiap hari sebelum berangkat sekolah dan sepulang sekolah.
“Hmmm … Mama masak apa nih?” tanyaku sambil mengendus aroma ayam kecap.
“Biasa, masakan kesukaan kamu, Bran. Mandi dulu gih, habis itu baru makan.” Mama menepuk pelan pundakku.
“Papa udah pulang?”
“Belum, sebentar lagi.”
“Aku makan tunggu Papa pulang aja, biar barengan,” kataku sebelum melangkah ke lantai dua meninggalkan Mama di ruang tamu sendirian.
Keluargaku sangat harmonis. Mama sosok wanita penyayang dan hangat, sedangkan Papa sosok pria bertanggung jawab dan sangat menyayangiku. Aku mengagumi Papa dan berharap ingin seperti dirinya ketika dewasa nanti. Apalagi beliau sangat mencintai Mama.
Tiba di dalam kamar, kuhempaskan tubuh di atas kasur terlebih dahulu. Beraktivitas seharian terkadang membuat lelah juga. Sejak SMP aku selalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka dan basket. Mama menyarankannya agar aku tidak manja dan bisa bergaul dengan teman-teman yang lain. Tetap saja tidak terlalu banyak siswa yang bisa menjadi temanku.
Diri ini termasuk pemilih dalam berteman, jika merasa tidak nyaman maka akan berinteraksi secukupnya saja. Aku paling tidak suka bergaul dengan orang yang baik di depan, ternyata di belakang sebaliknya.
Sambil menunggu suhu tubuh stabil, kuraih ponsel dari dalam tas. Kubaca beberapa pesan yang masuk ke aplikasi Blackberry. Ternyata mayoritas berasal dari wanita yang caper (cari perhatian) kepadaku.
Cewek 1: Brandon besok mau aku bawakan cokelat ya.
Cewek 3: Nggak sabar nunggu kamu latihan besok sore, Brandon :*
Cewek 2: Istirahat besok aku traktir ice cokelat ya :)
Aku mendesah ketika tidak ada satupun pesan yang menarik perhatian malah membuat ngantuk. Sesaat senyuman terukir di sudut bibir ketika ingat si Kutilangdara besok akan menunjukkan keahliannya bermain basket. Sudah saatnya memikirkan cara agar bisa menyingkirkannya segera dari klub itu.
“Gue sama sekali nggak tertarik sama cowok dekil dan nyebelin kayak lo.” Penggalan kalimat yang dilontarkannya waktu terakhir bertemu kembali terngiang.
What? Dekil? Siapa yang dekil? Aku?
Tawa singkat keluar dari bibir ini. Apa dia tidak tahu siapa Brandon Harun? Bukannya sombong, sejak SMP aku selalu dikelilingi siswi. Tinggal pilih saja mana yang kuinginkan. Cewek secantik Nikita Willy juga bisa kudapatkan.
Rasanya kepala kembali memanas ketika memikirkan si Kutilangdara. Mandi menjadi satu-satunya pilihan untuk menyegarkan pikiran.
Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. Rasanya benar-benar segar terkena air dingin. Apalagi kulitku lengket karena keringat setelah latihan basket.
Setelah mengenakan baju kaus tanpa lengan dan celana pendek, aku langsung turun ke bawah. Papa pasti sudah pulang. Ada sesuatu yang ingin kuminta dari beliau sekarang. Beliau biasanya memberikan apa yang kuinginkan. Buktinya Honda CBR keluaran terbaru langsung dibelikan hanya dengan satu kali rengekan.
“Papa sudah pulang, Bi?” tanyaku kepada Bi Ijah, asisten rumah tangga di sini.
“Baru saja pulang, Mas. Lagi di kamar sama Ibu,” jawab Bi Ijah mesem-mesem.
Aku sudah paham maksud perkataannya. Begitulah kedua orang tuaku. Terkadang mereka masih seperti pengantin baru. Pernah waktu itu lupa tutup pintu kamar, sehingga aku bisa masuk, ternyata mereka sedang bermesraan. Haha!
“Mas Brandon mau makan sekarang?” tawar Bi Ijah.
Aku menggelengkan kepala. “Nanti aja bareng Mama dan Papa, Bi.”
“Kalau gitu, Bibi ke dapur lagi siapkan makan malam ya, Mas,” pamit Bi Ijah.
Aku memilih duduk di ruang keluarga, menunggu Mama dan Papa keluar dari kamar. Biasanya kalau seperti ini, keduanya akan keluar dari kamar setelah Papa mandi.
Sembari menunggu, aku mencari PS3 (Playstation 3) yang ingin kuminta kepada Papa. Seperti biasa jika sudah ditunjukkan barang yang diinginkan, besoknya sudah tersedia. Aku sudah tidak sabar menanti saat itu tiba, Apalagi beberapa teman-temanku sudah memilikinya. Kata mereka pengalaman bermain dengan PS3 lebih menyenangkan, karena kualitas grafiknya juga jauh lebih bagus dibandingkan PS2.
Ketika memilih gambar yang akan diperlihatkan kepada Papa, sebuah pop up pesan muncul di layar atas ponsel. Sepertinya itu pesan di grup basket sekolah. Embusan napas keras keluar dari sela bibir begitu membaca pesan yang dikirimkan Pak Bambang.
Pak Bambang: Hari ini kita kedatangan keluarga baru di klub basket, namanya Arini Maheswari, siswi kelas 1A. Mulai besok Arini akan bergabung dengan kalian semua.
Andi Basket: Hai Arini, salam kenal. Nggak sabar besok mau ketemu kamu.
Bayu Basket: Gue udah kenal sama Arini, anaknya pintar banget. Semester satu juara tuh. Ketemu lagi kita di klub, Rin.
Bayu anak kelas 1A juga, jadi wajar kenal sama si Kutilangdara. Pintarnya sampai mana sih? Masa iya lebih pintar dari Brandon Harun? Aku tersenyum miring membaca pesan Bayu.
Bang Toni: Finally, welcome, Arini, si Cantik berlesung pipi. Gabung juga dengan tim basket kita. Aku sudah lama loh lihat kamu main basket saat olahraga.
Aku langsung terbahak membaca kalimat ‘si Cantik berlesung pipi’. Cantik dari mana? Dari atas sampai bawah rata begitu. Wah, selera Bang Toni benar-benar minus.
“Kenapa tidak makan duluan saja, Bran?” Tiba-tiba suara Papa mengagetkanku.
Pandangan langsung beralih kepadanya sambil tersenyum semringah. “Nunggu Mama dan Papa dong. Aneh rasanya makan sendirian.”
Mama dan Papa saling berpandangan sambil senyam-senyum.
“Ayo makan sekarang. Kamu pasti sudah lapar.” Mama memalingkan paras ke arah Papa. “Papa juga nih kayaknya.”
Kami berjalan beriringan ke ruang makan. Selama berada di sana, tidak ada percakapan yang berarti. Papa hanya menanyakan bagaimana sekolah seperti biasa. Keinginan meminta PS3 harus kutahan hingga selesai makan malam.
Kini aku, Mama dan Papa duduk santai di ruang keluarga. Seperti inilah kami biasanya menghabiskan quality time bersama dengan keluarga di sela kesibukan Papa yang luar biasa sebagai Direktur Utama The Harun’s Group. Terkadang Papa sering bepergian ke luar kota, sehingga aku jarang bertemu dengan beliau. Jika ada kunjungan ke luar kota, Mama sudah pasti ikut. Romeo dan Juliet itu seakan tidak bisa dipisahkan, ke mana-mana selalu berdua.
“Pa,” panggilku membuka percakapan setelah hening di ruang keluarga.
“Ya? Kenapa, Bran?” sahut Papa mengalihkan paras kepadaku.
“Aku mau PS3, sudah rilis tuh di toko. Belikan ya?” pintaku manja sambil tersenyum manis.
Kening Papa berkerut dalam. Tidak seperti biasanya yang langsung mengiyakan.
“Nilai kamu semester kemarin jelek semua, Bran. Masa B hanya dua buah, sisanya C?” Papa menggeleng tegas. “Sampai nilai kamu naik lagi, Papa tidak akan memberikan apa yang kamu minta.”
“Tapi, Pa—”
“Tidak ada tapi-tapi! Kamu harus belajar dengan benar. Papa baru akan turuti permintaanmu lagi, setelah nilai kamu naik. Tidak ada lagi C,” tegas Papa dengan raut wajah serius.
Mampus! Kiamat sudah. Apa yang harus kulakukan agar Papa bisa mengabulkan kembali permintaanku seperti semula? Rasanya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan nilai C yang menjadi langganan sejak dulu. Kenapa jadi seperti ini?
Bersambung....
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu