POV Dila
Biasanya Lingga rajin menghubungiku, tapi kenapa kali ini sangat berbeda? Bahkan pesan yang dikirimkan hanya dibaca. Tidak ada balasan meski sudah beberapa jam aku menunggu. Aneh. Dalam jenuh seperti ini, aku jadi terpikir Rara. Kenapa aku tidak mengirim pesan padanya. Tadi aku sudah menitipkan undangan untuknya. Kira-kira, sudah diterima oleh Rara atau belum ya.[Ra, tadi aku ke rumah kamu. Sudah aku titipkan undangan pernikahan untuk kamu. Aku titip di rumah yang persis banget samping rumah kamu. Apa kamu sudah menerima-nya?] Sebenarnya, ingin rasanya aku menjadikan dia seorang sahabat. Padahal saran untuk menjadi sekretaris-ku pilihan yang tepat. Tapi dia menolak dan memilih keluar dari kantor dengan alasan ingin membuka usaha dengan Ibunya.Setelah lima belas menit menunggu, masih belum ada balasan darinya. Aku pun memilih untuk membaca buku sambil tiduran di kasur. Ting …! SegeraSebenarnya, aku kesini ingin mencari tahu sebuah kebenaran. Mungkin aku memang tidak berhak tahu, karena tidak ada urusannya dengan aku, toh itu hanyalah masa lalu kalian. Tapi jujur, aku ingin mengetahuinya. Tolong, Bu Lirna kasih tahu, Dila, Bu," pintaku penuh permohonan. Bu Lirna nampak terdiam, mungkin dia ragu untuk menceritakan. "Bu, Dila mohon. Sejarah apa yang terjadi antara Mama dan Ibu? Tolong, Bu. Aku ingin tahu kebenarannya. Aku sudah bertanya pada Mama dan Papa, tapi mereka hanya diam saja. Apa Ibu tega membuatku penasaran dan akan terus berusaha mencari tahu sebuah kebenaran? Apa aku perlu pergi ke kota tempat Mama dan Tante berasal dan mencari tahu pada tetangga?" Aku bertanya namun sedikit penekanan. "Kalau seperti itu, akan aku lakukan demi mendapat sebuah kebenaran," lanjutku. "Kalau, Ibu ceritakan kebenarannya, bukan berarti Ibu menjelekkan Mama-mu, Dila. Ini adalah aib yang memang harus ditutupi. Sebenarn
POV Rara "Dila, ada orang tua kamu di bawah," ucap Mama. Ternyata Pak Adrian sangat mengkhawatirkan Dila. Andai saja dia juga mengkhawatirkanku, mungkin hatiku akan melemah dan mau menerimanya. Ini sama sekali tidak. Justru ia pun tidak mau menjadi wali nikahku. Ah, tapi tidak masalah untukku. Toh, aku sudah menganggap kalau Ayahku itu sudah meninggal. "Dila, temui orang tuamu. Jangan sampai mereka berpikir, kami menghasutmu," ucap Mama lagi. Mungkin karena merasa tidak enak, Dila pun mau turun dan menemui orang tuanya. Sedangkan aku dan Mama mengikuti dari belakang karena harus mengunci pintu lagi se-perginya mereka. "Ada Pak Jono juga, Ra," lirih Mama. Mungkin Pak Jono yang menunjukkan tempat ini pada mereka. Sampai di bawah, Mama langsung membuka kunci pintu, Dila pun gegas keluar. "Sayang," ucap Tante Tania menghampiri Dila. Namun, Dila meng-elak dari sentuhan Mamanya. "Kamu kenapa?" tanya Tant
"Bukan gadis itu yang aku suka. Tapi kamu yang aku suka. Aku mencintai kamu, Rara. Bukan Dila. Aku menginginkan kamu. Tidak masalah aku mengatakan sekarang, karena mungkin esok aku tidak dapat lagi mengatakannya." Aku diam termangu, entah apa yang harus aku katakan. Bahkan aku sendiri tidak dapat mengelak kalau aku juga mencintainya. Kenapa aku jadi merasa sedih begini sih! "Sebenarnya, malam itu, saat orang tuaku menawarkan perjodohan dengan anak rekan bisnisnya, aku tidak setuju karena sudah tertarik padamu, Ra. Namun, saat Papa menunjukkan foto gadis itu, dan aku berpikir itu kamu. Itulah kenapa aku mau menerima perjodohan itu. Ya karena aku mengira itu kamu, Ra." Lingga terlihat menarik nafas panjang. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya. "Saat ini aku gundah. Aku ingin membatalkan pernikahan ini, tapi Dila sudah begitu besar mencintai dan menaruh harap padaku. Bukan hanya itu, semua juga telah dipersiapkan. Undangan sudah disebar. Tidak mu
"Kamu serius mau menyaksikan ijab qobul mereka, Ra? Kalau tidak kuat, kita datang saat resepsi saja," ujar Mama. Kebetulan pagi ini kami sudah rapi dengan pakaian serba putih. Mama memakai Gamis putih bercorak bunga berwarna pink, sementara aku memakai kebaya putih bermodel, dengan bawahan celana Levis warna hitam. "Insya Allah, Rara kuat, Ma. Kenapa tidak kuat? Toh Lingga bukan siapa-siapa, Rara. Lagipula, kami baru pertama kali berkenalan," sanggahku. "Sudah, kalau begitu," ucap Mama. Kami pun mencari taksi agar bisa sampai ke pesta pernikahan adik tiriku itu. ***** "Pak, kita ke gedung merpati 3," ucapku kala kami sudah mend
"Menikahlah dengan Lingga!" Suara Pak Adrian terdengar. Tiba-tiba saja ia masuk kembali bersama Dila dan Tante Tania. Dila dengan wajah lemahnya menatap ke arahku penuh ketidakberdayaan. Terlihat Tante Tania menatap tajam penuh kebencian. Beberapa kali, Tante Tania mengusap air matanya. Meratap putrinya yang tengah dalam kehancuran. "Cepat putuskan! Sebentar lagi akan berdatangan para tamu dan juga penghulu!" sentak Pak Bram. "A--a-ku---." Sungguh, tiba-tiba saja lidahku terasa kelu. Mama juga hanya diam tak bergeming. "Ma," lirihku. Aku pun tidak tega menatap wajah Dila yang penuh kesedihan. "Semua keputusan ada ditangan kam
POV Tania Percuma aku ikut mengemis agar Rara mau menikah dengan Lingga. Tetap saja gadis itu sangat keras kepala. Bagaimana ini? Bahkan perusahaan kami saat ini memang sangat membutuhkan saham dari perusahaann milik Pak Bram. Gagal sudah aku mendapatkan besan dan menantu konglomerat gara-gara kehadiran Amanda. Ingin rasanya aku ini membunuhnya. Ternyata dendam akibat aku main serong dengan suaminya dulu masih ada hingga saat ini. Hanya saja, perselingkuhanku dengan suaminya saat aku masih belum mengenal Mas Adrian. Itu pun sudah cukup lama dan aku hanya bermain-main saja. Karena dengan menjadi simpanan suaminya, aku bisa mendapatkan segala sesuatu yang aku inginkan. Berbeda dengan Mas Adrian yang memang sudah kaya dari asalnya. Initinya, aku menginginkan Rara menikah dengan Lingga supaya Pak Bram tidak m
POV Lingga Jika ada seseorang bertanya, bagaimana perasaanmu? Aku akan menjawab, ada senang, dan juga ada sedih. Kenapa senang? Sebab aku tidak jadi menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai. Lalu, apa yang membuatmu sedih? Maka aku akan menjawab, gadis yang aku cinta dan inginkan, menolak untuk menikahiku. Apa kamu akan menyerah? Aku akan menjawab, aku tidak akan menyerah. Perasaan cintaku padanya, tidak mungkin salah. Aku tahu, dia menolak pernikahan ini bukan tanpa sebab. Justru, penolakannya, membuatku semakin mengaguminya. Dengan begitu, Rara bukanlah gadis egois, dia masih memikirkan hati perasaan seseorang yang harus dijaga. Seperginya keluarga Pak Adrian dari gedung, semua keluarga meminta maaf pada tamu undangan yang hadir. Namun, mereka memaklumi. Tante Manda seakan pasang badan untuk menjawab pe
POV Tania. Seharian ini, Dila terus mengurung diri di kamarnya, ia sama sekali tidak mau berbicara ataupun makan dan minum. Apa tidak ada rasa lapar bahkan haus di perutnya? Mungkinkah rasa sakit akibat penghinaan yang diberikan oleh keluarga Lingga luar biasa menyakiti hatinya? "Ini bukan salahku! Tapi kenapa mereka menghinaku? Kenapa tidak mereka batalkan secara kekeluargaan? Bukankah mereka itu orang-orang berpendidikan?!" teriak Dila saat aku berada di depan kamarnya untuk memanggilnya makan. "Dil! Makan dulu, Sayang! Ini sudah sangat siang. Dari kemarin kamu tidak ada makan apapun!" panggilku sambil terus mengetuk pintu.