"
Hati-hati, Ma," ucap Dila saat aku sudah berada di dalam taksi.
"Iya. Dah, Sayang!"
"Jalan, Pak. Ke jalan Surya permai," ucapku.
"Baik, Bu."
®®®®®®®®®®®®®®®®®®®®
Malam ini aku tengah menunggu kepulangan Mas Adrian seperti biasa. Hari sudah hampir pukul 24.00 malam, tapi dia masih belum kembali. Kalau kemarin dia sebut aku curiga tak beralasan, sekarang dia akan sebut apa jika pulang?
Krek!
Terdengar suara pintu terbuka. Se
Malam ini aku merasakan juga dinginnya sel penjara. Siang tadi setelah mengurus jenazah Ayahnya, Dila dan Rara datang menjengukku. Betul saja dugaanku, mereka berdua menyalahkan tindakanku yang tidak bisa berpikir panjang. Bagaimana lagi? Bahkan ini sangat menyakitkan. Penipuan Mas Adrian selama delapan tahun begitu menyakitkan. Yang kukira suamiku itu hanya milikku, ternyata milik perempuan lain di luar sana. Lagi dan lagi, Dila menyalahkanku. "Meskipun Papa melakukan kesalahan, tidak seharusnya Mama melakukan itu!" ucapnya siang tadi penuh tangis air mata. Aku paham, meskipun dia bilang membenci, tapi hatinya menyayangi. "Bahkan aku adalah seorang anak yang belum merasakan bagaimana kasih sayang dari seorang ayah." Teringat ucapan Rara, aku jadi merasa bersalah. Malam ini, aku masih terjaga, terus memikirkan Mas Adrian. Aku bodoh, seharusnya aku tidak melakukan itu. Tapi aku tidak mau disakiti. Siapa dia bisa berbuat seenaknya
POV DiLA Dengan mata nanar aku menatap Mama dalam keadaan memperihatinkan. Awalnya aku mendapat telepon dari kantor polisi kalau Mama mengalami perbedaan sikap. Mereka akan memanggil Dokter spesialis jiwa untuk memeriksa kejiwaan Mama saat ini. Kemungkinan Mama mengalami depresi. Sedih, hancur … itu yang aku rasakan saat ini. Masalah seakan terus datang bertubi-tubi. Yang aku tahu dari kepolisian, ternyata motif Mama karena sakit hati pada Papa, selama beberapa tahun ia menduakan Mama. Siapa sangka Papa memiliki wanita lain? Bahkan aku pun tidak pernah menduganya. Kabar Mama ditangkap polisi bahkan sudah sampai ke telinga keluarga Lingga dan rekan lainnya. Berita di media sosial juga sangat menghebohkan. Sekarang bagaimana kalau media nanti memeberitakan tersangka kasus pembunuhan seorang pengusaha, dimasukan ke rumah sakit jiwa karena depresi? Berapa banyak lagi cibiran kepahitan yang harus aku telan saat ini? Bahkan Papa pun pergi juga meninggalkan ma
Aku sama sekali tidak kenal dengan perempuan ini. Tapi … aku pernah melihatnya. Sepertinya aku butuh waktu sebentar untuk mengingatnya. Tumpukan masalah yang menghampiri selama ini, membuatku tidak dapat mengingat semua secara bersamaan. "Silahkan duduk," ujarku, perempuan itu pun langsung duduk. "Maaf, ada perlu apa ya?" tanyaku sambil terus mengingat wajah perempuan itu. "Saya, istri dari Mas Adrian. Linda," ucapnya. Iya benar, perempuan itu, perempuan yang aku lihat di ponsel Papa. Aku menganggukan kepala. Saat itu tidak ada yang memberitahunya kalau Papa meninggal. Termasuk aku karena langsung sibuk dengan Mama. "Saya baru tahu kalau Mas Adrian sudah meninggal. Itu juga karena saya datang ke rumah kalian. Ada tetangga yang memberi tahu. "Anda tahu dari mana kantor ini?" "Karena saya sering bertemu dengan Ayah anda di sini," akunya. Terakhir kali kami bertemu ju
"Saya akan berikan anda sedikit, tapi setelah itu, saya tidak bisa memberikannya lagi, sebelum saya tahu bagaimana nasib perusahaan ini kedepannya. Semenjak kasus pembunuhan yang dilakukan Mama akibat Papa memiliki wanita simpanan, berimbas pada citra perusahaan. Banyak yang membatalkan kerja sama, dan mereka cenderung menganggap negatif. Belum lagi perusahaan Papa di Jakarta yang bangkrut, itu memberi isu, kalau keluarga kami hanya pandai berselingkuh, bukan prestasi membangun kinerja atau usaha yang lebih baik dan maju," jelasku panjang kali lebar. Masalah dengan keluarga besar Pak Bram juga memiliki pengaruh besar, dimana mereka adalah orang-orang berpengaruh di dunia bisnis. Ditambah Tante Manda yang juga aktif di perusahaan suaminya. Karena mereka memang kumpulan ABL group, sudahlah … pasrah dengan keadaan, tapi aku tetap berjuang. "Baik, tidak apa-apa, karena anakku juga memiliki hak atas semua ini," ucapnya membuat mataku membulat. "Hak apa? Anda
POV RARA "Rara tunggu! Kamu mau kemana?" cegat Lingga. Dia menarik tanganku hingga akhirnya aku pun terpaksa menghentikan langkah kakiku. Malu juga kalau sampai dilihat banyak orang. Aku paling anti membuat kegaduhan di depan umum. Itu sama saja mempermalukan diriku sendiri. "Aku mau pulang," desisku sedikit malas. "Tapi kenapa? Dan kamu kenapa bicara seperti itu tadi? Kamu bohong 'kan? Kamu tidak dijemput oleh laki-laki yang bernama Bima itu? Jelas-jelas kamu tahu aku tidak menyukainya. Aku sudah katakan sebelumnya saat aku bertemu dengannya di warung pecel lele kamu! Aku sudah memintamu untuk tidak berhubungan dengannya!" tekannya. Mas Bima adalah langganan pecel lele di tempatku. Dia sangat ramah, baik, sopan pada Mama. Bukan hanya itu, keluarganya juga sangat ramah. Dia tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Biasa Mas Bima memanggil mereka itu Eyang. Saat aku harus berpura-pura menjadi kekasihnya, Eyang putri begitu menyukaiku.
POV DILA "Lingga, pasti sekarang Rara berpikir yang bukan-bukan tentang aku. Dia sudah melihat status yang telah aku posting," ucapku mencoba untuk membuka suara. Lingga mengusap wajahnya yang terlihat gusar dengan kedua tangan. Mungkin saja perasaannya terasa hancur. Baru kali ini aku melihatnya serapuh itu. Ya, Lingga memintaku untuk memposting status yang membuat Rara berpikir, seakan-akan aku dan Lingga bersama. Sebenarnya ini permintaan yang konyol. Namun, entah kenapa aku mau saja menurutinya. "Biarkan saja, Dil. Toh sampai kapanpun perempuan itu tidak akan pernah mau menerimaku." Dia terdiam untuk sejenak. "Dia tidak akan pernah menerimaku, karena dia tidak ingin melukai perasaanmu. Atau mungkin memang tidak pernah ada cinta untukku?" lirihnya terdengar samar. "Kamu bilang apa, Ngga?" tanyaku untuk memastikan kembali apa yang telah aku dengar. "Hem, tidak apa-apa. Tidak akan merubah keadaan, mau kit
Mendengar Lingga ingin berbicara, semua orang pindah ke ruang keluarga. Meskipun AC di rumah Lingga masih menyala, tubuhku tetap merasakan hawa panas. "Kamu ngapain sama dia Lingga? Sudah Papa bilang bukan? Jangan berhubungan dengan anak Pak Adrian!" tegas Pak Bram. "Lingga mohon, Papa tenang dulu. Dengarkan Lingga cerita," ujarnya membuat jantungku semakin berdegup. Rasa hati ingin berada di dekat Lingga dan tidak ingin jauh darinya. "Kamu ngapain mepet-mepet anak saya?" bentak Mama Lingga. Aku tidak peduli. Aku tetap berada di samping Lingga mencari perlindungannya. Mama … maafin Dila, hari ini Dila harus siap dipermalukan untuk yang kesekian kali. Maafkan Dila
POV RARA Rasanya baru kemarin Dila berpamitan, tapi sudah satu bulan saja. Apa dia baik-baik saja? Dia berjanji akan mengabariku, tapi hingga saat ini tidak ada kabar tentangnya yang aku terima. Lingga masih sama seperti biasa, hanya saja yang aku lihat akhir-akhir ini dia lebih banyak diam. Sejak malam itu, aku dan Lingga seperti orang yang tidak pernah saling kenal sebelumnya. Aku sih masa bodo, cuma aneh saja melihatnya seperti itu. Masa bodoh, walaupun diam-diam memikirkannya, heheheh … tak apalah, itu manusiawi. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya. "Bengong aja!" sentak Mas Radit membuyarkan lamunanku. "Apa?" "Jadi nggak kerja di tempat Bima?" "Gimana ya?" Lingga terlihat melirik ke arahku. Namun fokusnya kembali pada jus alpukat yang sedang diaduk-aduk olehnya. Wajahnya terlihat murung dan tidak bersemangat. "Kamu kebanyakan mikir. Kamu ini cerd