POV RARA
Rasanya baru kemarin Dila berpamitan, tapi sudah satu bulan saja. Apa dia baik-baik saja? Dia berjanji akan mengabariku, tapi hingga saat ini tidak ada kabar tentangnya yang aku terima. Lingga masih sama seperti biasa, hanya saja yang aku lihat akhir-akhir ini dia lebih banyak diam. Sejak malam itu, aku dan Lingga seperti orang yang tidak pernah saling kenal sebelumnya. Aku sih masa bodo, cuma aneh saja melihatnya seperti itu. Masa bodoh, walaupun diam-diam memikirkannya, heheheh … tak apalah, itu manusiawi. Nanti juga akan hilang dengan sendirinya.
"Bengong aja!" sentak Mas Radit membuyarkan lamunanku.
"Apa?"
"Jadi nggak kerja di tempat Bima?"
"Gimana ya?" Lingga terlihat melirik ke arahku. Namun fokusnya kembali pada jus alpukat yang sedang diaduk-aduk olehnya. Wajahnya terlihat murung dan tidak bersemangat.
"Kamu kebanyakan mikir. Kamu ini cerd
"Masya Allah, cantiknya putri Mama hari ini," ucap Mama saat melihatku sudah berpakaian rapi dan memakai tas selempang kecil andalan. "Kan hari jumat ini, ada acara amal seperti biasa, Ma. Oh iya, Mama mau kasih tambahan nggak?" "Oh iya, Mama lupa. Sama Bima ya?" tanya Mama. "Iya, Ma. Sebentar lagi Mas Bima jemput Rara." "Sebentar, Mama ambil amplop dulu. Tunggu ya." "Siap, Ma." Tin …. Tin ….! Bunyi klakson mobil Mas Bima sudah terdengar di depan gerbang. Segera aku pun memanggil Mama. "Ma! Cepetan, Mas Bima sudah datang!" "Iya, ini Mama lagi keluar sebentar lagi!" Tak lama pun Mama muncul dengan tergesa-gesa. "Ini." Mama memberikan amplop yang dipegangnya padaku. Aku pun segera memasukkannya ke dalam tas. Segera aku dan Mama pun keluar menemui Mas Bima. "Mas! Maaf nunggu lama," ujarku. Melihat Mama ada bersamaku, Mas
"Aku … aku … apa maksud kamu Ra? Mas nggak ngerti kamu tuh mau ngomong apa, coba deh kamu tenangin diri dulu baru kamu ngomong sama aku. ngomong aja nggak usah malu-malu tegas," Mas Bima. "Jangan suka bikin orang penasaran Rara sayang, yang imut manis dan lucu unyu unyu," lanjutnya sambil menatap hangat mataku. Sejenak aku termangu menggigit-gigit bibir karena merasa malu. "Jangan jadikan aku kekasih pura-pura kamu Mas," lontarku sambil memejamkan mata. "Terus?" "Ih nggak jadi lah! Oke kita lanjut aja." "Nah gitu dong. Masa sudah setengah jalan mau mundur," ucapnya kembali terfokus pada setir kemudinya. 'Intinya, hari ini aku merasa sangat bahagia. Mas Bima, jujur… kamu memberi warna baru dalam duniaku. Sejak malam tadi dan hari ini. Ingin sekali rasanya kukatakan, aku mencintaimu. Namun aku tidak memiliki keberanian. Lagipula aku perempuan, dan perempuan itu menunggu.' Derrrt
Mas! Kamu jangan bercanda deh, nanti kamu ngeprank lagi!" sungutnya dengan memanyunkan bibir. Terlihat sangat manis dan menggemaskan sekali. Ingin rasanya aku mencubit pipinya yang cabi. Sebenarnya apa yang aku ucapkan padanya murni dari dalam hati. Hanya saja lewat gurauan dan sebuah canda. Jadi wajar kalau gadis manis yang berada di hadapanku saat ini tidak mempercayainya. Tapi aku berharap kali ini dia mau menerimaku. Ini serius dan bukan tengah bercanda. Lagi pula, setelah mengenal sosok Rara, seperti ada yang mengisi sepi hatiku. Awalnya hanya pembeli dan pedagang. Semakin lama menjadi seorang teman. Mulai berani meminta tolong, saling mengenal lebih dalam dan akhirnya tumbuh cinta. Meski aku tidak tahu bagaimana perasaan Rara yang sebenarnya.
Selepas shalat Maghrib berjamaah, aku mengutarakan niat menikahi Rara pada Mama Lirna. "Kamu serius Bim? Mau menikahi Rara?" tanya Mama Lirna. "Jangan bergurau kamu, Bim. Mama saja tidak bisa membedakan mana serius mana bercanda," ujarnya. Tidak pernah kusangka, ternyata gurauanku memiliki efek samping luar biasa. Bahkan saat serius pun mereka anggap aku bercanda. "Ma, serius. Sekarang Mama mau terima Bima jadi menantu Mama atau tidak? Lihat, Bima sudah memakaikan cincin di jari manis Rara," ujarku menunjukkan jari Rara yang sudah memakai cincin dariku. "Kalau kamu serius sih Mama setuju, Bim. Kamu tolong secepatnya saja nikahi Rara. Supaya apa? Supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Bahaya pacar-pacaran," ujarnya. "Oh kalau itu sudah pasti Ma." "Rara sayang … kamu sudah siap jadi istri dari Bima?" tanyaku menatap wajahnya. "Sudah siap, Tuan Bima. Jangankan istri aku pun sudah siap jad
POV LINGA PLAK! Baru saja kembali, sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipiku. Seharian ini aku memang mencari informasi tentang Dila dan tidak menemui gadis yang mereka suruh untuk kutemui. "Kamu itu memang hobinya bikin malu keluarga Lingga!" geram Papa. Semua orang di ruang keluarga menatapku sinis. "Kenapa kamu tidak menemui Kartika, Lingga? Dia hampir seharian menunggu kamu! Untung ada Adi yang Papa suruh menemuinya!" "Nah, kenapa Papa sibuk menjodohkan aku, Pa? Papa bisa menjodohkan Kak Adi. Toh dia itu lebih tua dari Lingga usianya. Lingga tidak mau dijodohkan sama siapapun, Pa. Cinta Lingga hanya untuk Dila!" tegasku penuh penekanan. "Jangan pernah atur hidup Lingga! Lingga yang akan menjalani rumah tangga. Bukan Mama, Kakek, Kak Adi ataupun Papa! Mulai saat ini, aku tidak akan menerima perjodohan dengan siapapun! Lingga akan mencari pendamping Lingga sendiri!" kesalku kemudian memi
POV RARA Dua minggu kemudian setelah Mas Bima melamarku bersama Kakek dan Neneknya…. "Sah!" ucap para saksi bersamaan. Hatiku merasa lega. Segera aku pun mencium punggung tangan seseorang yang telah menjadi suamiku ini. Sekarang aku sudah menjadi istri sah dari Mas Bima Rangga Prayoga, seorang CEO muda lagi tampan. Terpancar kebahagiaan di raut wajahnya. Terlihat dia sangat bahagia. Mama yang duduk di dekat Eyang terlihat mengusap air mata. Apa yang Mama pikirkan? Seandainya pernikahan ini disaksikan oleh semua keluarga besarku. Mama, Papa, Tante Tania, Dila. Pasti akan lebih bahagia. Benar ternyata ucapan Papa dulu, dia tidak akan menjadi wali nikahku. Rencananya, acara pernikahan ini diselenggarakan dengan cara sederhana, tapi ternyata hasilnya banding terbalik. Mas Radit menyiapkan semua semewah mungkin. Pernikahan kami pun diselenggarakan di sebuah gedung megah. Mas Radit bilang, tidak mungkin seorang Bima mengadakan acara per
POV RARA "Bim, perlakukan Rara semanis mungkin untuk malam ini. Jangan terlalu agresif!" canda Mas Radit setelah kami turun dari mobilnya. Belum sempat Mas Bima membalas ucapannya, ia telah melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. Seperginya Mas Radit dari pandangan, aku merasa sedikit kikuk dibuatnya. Rasanya hari ini segala sesuatunya sangat berbeda. Malu, itu kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku saat ini. "Tuan putri, silahkan masuk?" ujarnya menggandeng tanganku masuk ke rumah. Ternyata Mama belum tidur, ketika aku ingin menekan bel, Mama sudah lebih dulu membukakan pintu. Aku dan Mas Bima segera masuk dan mencium punggung tangannya. "Kalian langsung istirahat sana. Pasti sangat merasa lelah," ujar Mama. Kami pun mengangguk dan segera naik ke atas. Kebetulan aku memilih kamar yang berada di atas. Sedangkan Mama di lantai bawah berada di kamar utama. "Kami naik duku ya, Ma," ujarku. Mama men
POVRARA Sebulan berlalu, kami semua sudah pindah dan menempati rumah baru. Rasanya rumah semakin bernyawa dengan berkumpulnya kami. Mas Bima dia tidak membiarkan kami bekerja sedikitpun untuk merapikan rumah ini. Semua diurus pembantu. Namun tidak dengan makanan, kalau makanan aku dan Mama yang mengambil alih untuk memasak. Mama, dia sangat menyayangi Eyang seperti orang tua sendiri. Begitupun dengan Eyang. Drrrrt … derttt ….! "Siapa nelpon, Ra?" tanya Mama. Aku hanya menggeleng karena tidak ada nama di sana dan menggunakan private number. "Orang iseng mungkin," ujar Mama.