Share

Lima

   Viara masih tertegun saat Reon kemudian meraih tangannya.

"Ayo kita pergi dari sini sekarang!" 

   "Tapi bagaimana dengannya?" tanya Viara sambil menuding lelaki yang baru saja berkunjung. Reon menggeleng.

   "Dia sudah mati. Kita harus pergi atau kita juga akan menyusul dia!"

   Reon kembali menarik tangan Viara, tetapi gadis itu masih saja berdiri terpaku.

   "Ki-ta ... ki-ta tidak bisa pergi begitu saja. Kita harus memberitahu keluarganya. Kita ...."

   "Viara!" gertak Reon sambil mengguncang bahu gadis itu. 

"Kau harus sadar kita tidak bisa melakukan itu. Kita harus pergi!"

   Viara menggeleng dengan kuat. Reon setengah menyeret gadis itu menuju ke arah pintu belakang. Viara masih tampak keberatan. Tidak lama terdengar suara berondong peluru dari arah luar. Segera Reon meraih pinggang gadis itu dan mengajak untuk tiarap di lantai.

    Suara kaca jendela yang pecah membuat wajah Viara semakin pasi. Ia sungguh ketakutan. Gadis itu menyadari bahwa meski sebelumnya menginginkan kematian, ternyata ia masih ingin tetap hidup.

    "Ayo!" ajak Reon seraya merangkak di lantai yang berselimut debu kotor tersebut, tetapi ia tidak tampak peduli. Viara ikut merangkak di belakang pria itu. Keduanya menuju pintu belakang. Di luar, rentetan tembakan masih terus dilepaskan. 

    Reon perlahan meraih gagang pintu. Pintu terbuka lebar. Reon segera meraih tangan Viara. Keduanya berlari sambil menunduk untuk menghindari tembakan. Meski telah berada jauh dari jangkauan tembakan, keduanya masih tetap berlari.

    "Aku tidak sanggup lagi," ucap Viara. Langkahnya melambat. Tubuhnya terasa sungguh penat. Apalagi luka-luka tadi belum sempat dia obati sepenuhnya. Reon melihat sekeliling. Hanya ada padang liar dengan rerumputan setinggi lutut. Ia menggeleng.

    "Ini bukan tempat yang aman. Bertahanlah, kita harus mencari tempat untuk bersembunyi dari orang-orang itu!"

    Viara mengangguk. Ia kemudian memaksa berjalan beberapa langkah sebelum terhuyung ke depan. Hampir ia terjatuh jika saja Reon tidak menyanggah tubuhnya.

    "Aku sudah tidak kuat lagi. Kau tinggalkan saja aku," ucap Viara kemudian sambil tersenyum pahit. Reon hanya diam.

    "Aku bukan tanggung jawabmu, juga bukan bagian dari misimu. Kau tidak harus menyelamatkan aku," lanjut Viara lagi sambil terus melangkah dengan terseok-seok.   

    Reon kemudian melangkah lebih dulu dan berjongkok di depan gadis itu.

"Naiklah ke punggungku."

    Viara mendengkus keras sambil tertawa.

"Apa yang kaulakukan? Sudah kubilang kau tidak perlu lagi membantuku."

    "Cepat naik atau aku akan benar-benar meninggalkanmu!"

    Viara kembali tertawa. Reon hendak bangkit berdiri saat tangan Viara tiba-tiba melingkari lehernya.

    "Ayo bawa aku pergi!" gumam gadis itu.

    Reon hanya mengangguk kemudian segera menggendong Viara di punggungnya.

***

    Lelaki berambut kelabu tersebut tampak berdiri sambil melihat sekeliling. Tempat itu sepi dan di situlah jenazah seorang pria muda ditemukan.

    "Nama dia Vino Rulio, seorang pegawai di sebuah perusahaan kimia. Dia hanya tinggal dengan adiknya, Viara Mallika. Orang tua mereka meninggal karena kecelakaan lima belas tahun lalu," ucap pria lain yang berdiri di sampingnya. Mata pria tersebut tidak lepas menatap layar notepad. Sang lelaki paruh baya mengangguk, di jaman sekarang, informasi pribadi begitu mudah ditemukan.

    "Ini hal yang buruk, Ardi. Sebaiknya kita ke tempat adiknya."

    "Baik, Komandan Wahyu," jawab Ardi.

    Wahyu dan Ardi bergegas menuju mobil mereka. Pandangan Wahyu tertuju ke arah luar jendela. Ia tengah melihat ambulans yang membawa pergi jenazah Vino untuk diotopsi. 

    "Ayo," perintahnya. Ardi mengangguk dan menyalakan mobil. Kedua petugas polisi tersebut kemudian berkendara menembus kegelapan malam menuju rumah Vino.

***

   "Hei, bangun. Bangunlah, ck, kenapa justru tertidur? Apa terlalu enak bersandar di punggungku?" tegur Reon berulangkali. Akan tetapi, Viara tetap saja terlelap. Reon hanya bisa mendengkus kesal. Ia melihat sekeliling kemudian kembali melangkah.

   'Gadis ini sungguh merepotkan, mungkin memang benar harusnya aku meninggalkan dia,' dumelnya dalam hati. Meski begitu, Reon tetap menggendong Viara hingga mereka tiba di sebuah gua.

   Di dalam gua cukup gelap dan dingin. Setelah menyalakan api dan menata alas tidur untuk Viara, Reon hanya duduk dalam diam sambil menatap gadis itu. 

   'Sudahlah, biarkan dia beristirahat,' ucapnya sambil mengangkat bahu. Ia kemudian mengeluarkan benda tipis berwarna hitam. Setelah disentuh, benda itu mengeluarkan seberkas cahaya dan kemudian memperlihatkan wajah Tuan Anderson.

   "Prajurit Reon, bagaimana keadaanmu? Kau sungguh membuat kami cemas karena kehilangan kontak denganmu dan Aldrich," ujar lelaki tersebut. Reon tertegun sejenak, ia tidak menyangka pimpinan tertinggi di tempatnya tersebut yang justru akan langsung menghubungi dirinya.

   "Tuan Anderson, kami sungguh menyesal, tetapi semua tidak berjalan baik di sini. Vino memang telah mati, tetapi ada orang-orang yang ikut csmpur dan saya terpisah dengan Aldrich. Saya tidak bisa menghubungi dia dan tidak tahu nasib dia sekarang."

   "Masalah itu kau tidak perlu khawatir. Tugasmu sudah usai saat Vino terbunuh. Sekarang kau harus kembali ke sini."

   "Lalu bagaimana dengan Aldrich?"

   Raut wajah Tuan Anderson sekejap tampak berubah marah sebelum kemudian kembali datar.

"Kau tidak perlu khawatir soal itu. Aku akan mengutus orang untuk mencarinya. Kau harus segera kembali agar tidak terlibat masalah di sana."

    Reon diam sejenak. Ia kemudian bertanya ragu,

"apa semua telah membaik di sana?"

    "Benar, semua baik-baik saja di sini. Karenanya kau harus cepat kembali. Jangan khawatir, aku pasti akan melakukan sesuatu untuk menolong Aldrich."

    "Saya mengerti, saya akan segera kembali," jawab Reon sebelum mengakhiri pembicaraan tersebut. 

    Sesaat setelah Reon mengakhiri pembicaraan, Viara beranjak duduk. Gadis itu menoleh ke arah Reon.

   "Jadi kau akan pergi?" tanyanya.

   "Tentu saja, aku sudah mendapat perintah untuk kembali, tentu aku harus melakukannya," jawab Reon. Pria itu sebenarnya mengetahui bahwa Viara telah bangun saat dia berbicara dengan Tuan Anderson.

   "Kau melakukan perintah dengan begitu patuh, apa tidak pernah berpikir untuk membuat keputusan sendiri?"

   Reon menggeleng.

"Semua yang diputuskan Tuan Anderson pasti yang terbaik untuk kami. Lagipula masalah di sini sudah beres dan di sana telah membaik, mungkin aku bisa bertemu orang tuaku."

   "Kenapa kau begitu percaya padanya?"

   "Aku memang sangat mempercayai Tuan Anderson. Dia yang mengurus kami selama ini. Dia itu sudah seperti seorang ayah bagi kami semua."

   Viara menggeleng mendengar itu. Reon mungkin hebat dan memiliki kemampuan untuk membunuh orang, tetapi dalam pikirannya sekarang, pria itu seperti anak kecil yang diperdaya oleh orang dewasa.

   "Kau sangat mempercayai dia, tapi bagaimana kalau dia ternyata hanya menipu dan memperdaya dirimu?" tanyanya. 

   Reon menggeram marah dan menghampiri gadis itu. Tangannya terulur dan mencekik leher Viara dengan kuat.

   "Kau berani menghinanya seperti itu, maka aku tidak akan segan untuk membunuhmu."

    

   

    

   

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status