Share

Empat

  Viara berusaha untuk bangun saat mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya. Wajahnya mengernyit menahan nyeri. Namun saat ia baru saja berhasil untuk duduk, terdengar suara seseorang,

  "ternyata kau berada di sini, sudah waktunya bagimu untuk mati."

  Seorang pria bersetelan hitam yang rapi menodongkan pistol padanya. Viara hanya duduk mematung, merasa kali nyawanya sungguh akan berakhir. Akan tetapi, saat pistol meletus, muncul sosok dengan cepat menendang tangan yang memegang pistol tersebut. Tembakan itu meleset dari sasaran. 

  "Cepat pergi dari sini!" gertak orang yang menolong Viara. Ternyata dia tidak lain adalah Reon. Tampak bekas luka goresan pula di pipi dan kening pria itu. Viara mengangguk dan segera bangkit berdiri. Dengan langkah terseok dan wajah mengernyit, ia berjalan menjauh dengan cepat. Telinganya menangkap suara perkelahian dari tempat yang baru ditinggalkan. Ia ingin membantu Reon, tetapi sadar dirinya mungkin malah merepotkan pria itu.

   Viara menemukan sebuah rumah yang tampak telah ditinggalkan. Ia segera masuk ke dalam tempat yang ternyata tidak terkunci tersebut. Tanpa peduli meski tempat itu kotor dan berdebu, Viara duduk dan memeluk lutut sambil menangis. 

***

   Suara pintu terbuka membuat Viara membuka mata. Ternyata ia telah tertidur tanpa sadar. Hari ini memang terlampau melelahkan. Kehidupannya yang tenang telah berlalu pergi.

   "Kau berada di sini ternyata," ujar Reon sambil berjalan masuk. Viara menghela napas lega karena ternyata pria itu yang datang. Meski masih tetap ada kebencian, tetapi pria itu telah menyelamatkan dirinya.

   "Kenapa menolongku?" tanya Viara kemudian. Reon tidak menjawab. Pria itu justru mengulurkan kantong plastik berwarna hitam pada Viara. Saat gadis tersebut membuka, ia melihat ada sebungkus roti dan obat merah.

   "Dari mana ...?"

   "Aku meminta dari orang yang kebetulan lewat."

   Viara menatap tidak percaya, tetapi tidak bertanya lebih jauh. Ia justru kembali menanyakan alasan pria itu menolongnya.

   "Tidak ada alasan," jawab Reon singkat.

   "Aku tidak mengerti, kau ingin membunuh kakakku, tapi kau menolongku, apa sebenarnya maksudmu?"

   "Karena kau bukan sasaran. Hanya kakakmu yang harus dibunuh. Kau seharusnya tidak terlibat."

   "Apa hanya karena misimu itu, kau memutuskan siapa yang dibunuh dan siapa yang ditolong?"

   Reon mengangguk. Viara menggeleng sambil bergegas bangkit berdiri. Ia membanting kantong yang dibawa Reon di hadapan pria itu.

   "Aku tidak mau menerima pemberian darimu!" tandasnya kemudian hendak berlalu. Akan tetapi, Reon mencekal erat pergelangan tangan gadis itu.

   "Apa yang kaulakukan, Bajingan? Lepaskan tanganku sekarang!" 

   Mata Viara membeliak marah. Ia bahkan memberanikan diri untuk menatap tajam pria itu. Sesaat keduanya beradu tatapan, tetapi Reon kemudian melepaskan cekalan dan mendorong gadis itu menjauh.

   "Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi padamu. Terserah kau mau mengobati lukamu atau tidak. Hidup matimu tidak ada urusan denganku."

   "Baguslah kalau begitu, aku juga tidak bisa hidup dengan belas kasihanmu. Di mataku, kau sama saja dengan orang-orang itu, telah membunuh kakakku!"

   Reon tidak menyahut. Lelaki itu hanya bergegas melangkah keluar dari rumah itu dan menutup pintu di belakangnya. Di dalam, Viara krmbali duduk. Air matanya kembali mengalir keluar dengan deras.

***

   Beberapa jam berlalu, Viara sempat menyangka Reon tidak akan kembali. Ia segera menoleh saat melihat Reon membuka pintu dan pria itu berjalan masuk setelah menutup kembali pintu.

   Mata Reon melirik sekilas pada kantong hitam yang masih tergeletak di tempat Viara membuang tadi. Ia segera mengambil.

   "Jangan keras kepala. Kau seharusnya berusaha untuk bertahan hidup," ucapnya sambil mengulurkan kantong tersebut. Viara segera memalingkan wajah. 

   "Itu bukan urusanmu. Kenapa kau tidak membunuhku juga? Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Untuk apa aku tetap hidup?"

   "Bukankah aku sudah mengatakan padamu ...?"

   "Baiklah, aku tahu aku bukan bagian dari misimu itu, tapi tidak bisakah kau mengabulkan permintaanku? Jangan hanya membunuh kakakku, bunuh aku juga. Dengan begitu, setidaknya kami bisa bersama."

   Reon mengeluarkan sebilah pisau lipat dari saku celana dan menatap Viara. 

"Apa kau sungguh ingin mati? Kau terlihat ketakutan. Sebelumnya kau bahkan melarikan diri dari orang-orang yang mengejar kita. Jika memang kau sungguh ingin mati, harusnya biarkan saja mereka membunuhmu."

   Viara diam sesaat. Ia menatap pisau yang tampak berkilat karena pantulan cahaya mentari sore menyusup melalui sela-sela kaca jendela.

   "Aku memang ketakutan tadi, tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi. Karena itu aku memintamu untuk membunuhku," ucapnya sambil kembali mengalihkan tatapan pada pria di hadapannya tersebut.

   Reon meletakkan pisau tersebut di tangan Viara.

"Jika kau ingin mati, lakukan saja sendiri. Aku menolak untuk membunuhmu."

   Pria itu kemudian melangkah menjauh, sementara tangan kanan Viara menggenggam erat pisau berwarna keperakan tersebut. 

   "Kau menolak membunuhku karena itu bukan misimu. Apa kau selalu begitu patuh dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri? Apa hidupmu selalu dikendalikan orang lain?" tanya Viara dengan suara cukup keras. 

    Langkah Reon terhenti. Ia berbalik dan menatap Viara. Sorot matanya tampak sedingin es.

    "Aku sudah mengambil keputusan sendiri dengan menolongmu sebelumnya, tapi untuk hidupmu, kau sendiri yang memutuskan. Jika kau ingin mati, lakukan saja sendiri. Orang yang tidak ingin hidup, aku juga tidak akan membantu mereka, bahkan untuk mati sekalipun."

    Viara kembali diam. Tangan kanannya yang masih menggenggam pisau gemetar. Air mata juga berlinang. Pisau tersebut kemudian jatuh berdenting di lantai. Ia sendiri terduduk dan menatap hampa pada benda tersebut.

    'Ternyata aku memang pengecut. Aku bahkan tidak berani untuk mati. Ayah, Ibu, Kakak, aku terlalu takut meski ini adalah cara untuk bisa bersama kalian.'

    "Jika kau sudah memutuskan untuk hidup, maka makanlah roti itu dan obati lukamu. Setelahnya kita harus segera pergi dari sini. Orang-orang yang mengincarmu mungkin akan segera menemukan kita," ucap Reon. Pria itu kemudian membuka pintu depan dan tertegun melihat seorang lelaki paruh baya berdiri di halaman.  

    "Siapa kau?" tanya Reon sambil menatap curiga.

    "Oh saya, saya hanya orang yang tinggal dekat sini. Tadi saat pergi ke kebun tanpa sengaja melihatmu. Kalian tinggal di rumah ini, apa kalian sepasang kekasih?" tanya lelaki itu.

    "Apa?" sahut Reon gusar.

    Viara bergegas bangkit berdiri dan menghampiri.

"Pak, Anda salah menilai, kami tidak seperti itu."

    Lelaki berambut kelabu yang memegang cangkul tersebut mengibaskan tangan sambil tertawa.

"Sudahlah, saya tahu, kok, anak muda seperti kalian pasti lari dari rumah. Jaman sekarang sudah sering seperti itu. Rumah ini juga ...."

    "Pak, sebaiknya Anda segera pergi dari sini!" suruh Reon.

    "Kalian ...."

    Lelaki tersebut tidak menyelesaikan ucapan seiring suara letusan pistol. Viara mendekap mulut saat lelaki malang yang bahkan belum sempat ia ketahui namanya tersebut ambruk dengan punggung tertembus peluru. 

     

    

    

    

   

    

   

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status