Rasa sakit akan terobati seiring bertambahnya waktu. Tetapi rasa sakit itu akan terasa jika ingatan itu kembali. Meski tidak sesakit sebelumnya, namun sakit tetaplah sakit. Ikhlas dan sabar terlalu mudah untuk diucapkan dan akan sangat sulit untuk dilakukan.
“Tolong…tolong selamatkan anakku.” Pada akhirnya sang ayah datang merengek kepada orang yang baru saja diusirnya. Tanpa bicara panjang lebar, Alva segera menerobos masuk untuk memastikan kondisi gadis itu secara langsung.
Meski Alva sendiri sudah menebak apa yang telah terjadi. Ia tetap mencoba mencari tanda-tanda kehidupan, dia masih berharap ada sedikit saja harapan dari gadis itu. Tetapi, tubuh gadis itu sudah tak bernyawa lagi.
“Nak…bangun Nak,” panggil si ibu dengan penuh harapan. Air matanya terus mengalir tak henti-hentinya. Rasa sakit dan pahitnya kehidupan langsung meledak pada hari itu.
“Maaf…sebaikya kalian segera mempersiapkan untuk
Berulang kali para perampok menelan ludahnya sendiri. Alva yang masih berdiam diri di tempatnya justru semakin menyebarkan hawa menyeramkan.“Kau mau menyerahkan diri rupanya…bodoh sekali,” hardik yang lain.“Tidak…aku datang untuk menyelesaikan secuil masalah di tanah ini.”“Ha…apa maksudmu? Sebaiknya kau bersiap untuk mati.”“Tidak…karena itu adalah kalian,” Alva mengayunkan tangan kanannya. Sebuah pisau sudah menancap di dada kiri pemimpin mereka.Pria itu masih sempat bergerak untuk beberapa saat. Lama-lama melambat dan tak berkutik lagi. Ia mati.“Aaaaa…bunuh dia!” teriak yang lain karena panik melihat bos mereka sudah tumbang.Seluruh anak buahnya langsung mengayunkan senjata ke arah Alva. Dengan lihai Alva menghindarinya.Kreetakkk!Kepala seorang perampok hampir berbalik arah. Seketika ia tumbang dan tak bernapas lagi.
Kevin meletakkan telapak tangan kanannya tepat di mulut gadis itu. Dengan keras dan penuh paksaan ia menarik Bian agar mau mengikutinya. Anehnya kali ini Bian tak menunjukkan perlawanan dan hanya menurut saja.Setelah tiba di lantai satu, Kevin segera mendorong gadis itu ke dinding dan memblokir geraknya dengan kedua tangannya. Kedua mata mereka bertemu. Suara deru napas yang masih tersengal karena terkejut terdengar mulai memelan dan normal kembali.“Kenapa kau bertindak seolah tidak mengenalku Ariana?” mendengar pertanyaan itu membuat mata Bian terbelalak. Nama yang tak asing baginya. Namun, dilain sisi nama itu seolah menyimpan luka dibenaknya. Karena ia tak mendapat respon darinya, laki-laki itu mulai geram. Ia mendekatkan tangannya di dagu si gadis dan mengelusnya dengan lembut.“Kau benar-benar lupa denganku atau kau hanya berpura-pura?”Pupil mata gadis itu bergetar, tubuhnya terdiam dan tak tahu harus berbuat apa.&l
Seorang anak bertubuh putih kini sedang memandangi mereka dengan tatapan kosong. Rambut, kulit bahkan pakaian yang serba putih menambah kesan horor saat melihatnya. Apalagi tatapannya seperti manusia yang tidak bernyawa.Alva segera memasang kuda-kuda ketika anak itu berlari ke arah mereka dan langsung melancarkan tendangan.Bughh!Pertukaran pukulan terus terdengar antara Bian dan anak tersebut. Seketika sesuatu terbesit dalam benak Alva. Ia mencoba mendekati anak itu. Disaat si anak bergerak menjauhi Bian, Alva langsung mengambil kesempatan.Ia melangkah dengan cepat, lalu memberinya sebuah tendangan yang ia lancarkan dengan melambungkan tubuhnya ke udara. Seketika anak itu tertelungkup dan tak sadarkan diri.“Dia bahkan tidak mengaduh kesakitan. Ada apa sebenarnya?” pikir Alva sambil mendekati anak itu.“Hei…apa kalian yang menghentikan anak itu?” suara yang tak asing bagi Alva muncul dari arah belakan
“Apa? Di mana dia? Ini, ambil!” ucap Alva yang mulai panik. Ia segera duduk dan memeriksa isi tasnya.“Apa aku meninggalkannya di apotik? Tapi aku yakin aku sudah memasukkannya ke dalam tas. Atau jangan-jangan…benda itu terjatuh saat melompat kemaren? Tapi bagaimana?” tanyanya sendiri.“Itu hanya pita,” Bian mulai kesal mendengar gerutuan Alva.“I-iya. Tetapi kalau benda itu jatuh ke tangan orang yang salah malah akan membahayakanku. Sial…aku harus mencari apotik selanjutnya untuk meminta yang baru.”“Oh iya, jubah tadi untukmu. Ambil saja. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan.”Pegunungan masih terlihat jauh di belakang mereka, namun pemandangan itu lama-lama semakin terlihat kecil. Sepuluh menit kemudian, suara orang yang sedang berdebat terdengar dari arah depan mereka. Suara seorang wanita dan suara seorang pria dewasa. Suara itu semakin lama semakin jelas. Alva tersadar j
“Tuan, Ryan di sini. Ini handuknya.”Seorang laki-laki masuk ke dalam tenda. Kevin segera mengambil handuk basah dan membersihkan tangannya sendiri. Namun, tak sekalipun ia mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang menahan sakit tersebut meskipun bau amis darah menusuk hidungnya.“Cepat! Jahit lukanya!” perintahnya. Ryan mengangguk dan mendekati Bian.“Biar kulihat tanganmu dulu. Maaf….”Setelah menyingsing lengan baju Bian, ia mulai membersihkan luka yang memanjang di pergelangan tangan gadis tersebut.“Sepertinya ini harus dijahit. Sebentar…aku akan membiusnya terlebih dahulu. Jangan tegang!” suara Ryan yang lembut dan tenang membuat detak jantung Bian semakin normal.Kevin mengambil handuk kering dan melemparkannya ke kepala Bian. Bukan hanya Bian yang terkejut. Tetapi, Ryan juga bereaksi dengan spontan melindungi area tangan pasiennya.“Tuan! Apa yang tua
Di atas pohon, Alva dan Bian sedang berusaha menahan napas agar tidak ketahuan oleh para pengejar.“Siapa mereka? Kenapa mereka tahu makna lambang itu?” pikir Alva sembari mengintai pergerakan musuh.Dor!Deg!Seketika jantung berdegup lebih kencang. Batang pohon di belakang mereka sudah berlubang kecil. Alva terus melihat batang pohon tersebut seraya menebak apa yang mengenainya.“I-itu bukan anak panah. Senjata jarak jauh selain busur adalah…tidak mungkin mereka menggunakan senjata terlarang itu’kan?” pikir Alva lagi. Ia kembali menoleh kepada orang yang mengejar. Seorang pria sedang berdiri ke arah mereka dengan sebuah senjata api di tangannya.Deg!Lagi-lagi, Alva seketika berkeringat dingin. Ia sadar posisi mereka sudah diketahui. Sambil mencoba tidak membuat pergerakan yang jelas, ia sedikit menarik lengan baju Bian sebagai kode.Dor!Alva segera menundukkan kepala Bian juga aga
Hawa dingin mencengkram setiap kulit yang berada di tempat itu. Suara derap kaki yang terburu-buru menambah kebisingan yang membuat telinga kesal dan memaksa mata agar segera terbuka. Alva perlahan membuka matanya dan mendapatkan dirinya ada di dalam kereta kuda dengan dua orang pria dewasa yang terus mengawasinya. Ia mencoba menggerakkan setiap bagian tubuh yang awalnya mati rasa. Meski masih gemetar, kini ia sudah menjadi dirinya kembali. Dengan tatapan curiga, ia melihat setiap wajah yang ada di sekitarnya. Pria yang dipanggil tuan oleh anak buahnya dan seorang pria yang memukulnya hingga pingsan.Tak berselang lama, kereta kuda berhenti. Alva yang sudah sadar dipaksa untuk berjalan sendiri meskipun ia masih belum sanggup untuk berdiri tegak. Pandangan mata yang masih berkunang-kunang menambah rasa mual saat melihat jalan.“Ke mana mereka akan membawaku?” pikir Alva sembari mengikuti arahan pria yang terus memegang ikatan tali di tangannya.&ldquo
Klang!Alva berulang kali mencoba menggerakkan tangannya yang sudah terikat oleh rantai. Ternyata kedua kakinya bernasib sama pula. Mata yang sedang tertutup kain tidak membuatnya menyerah untuk mencoba melepaskan diri.“Urgh!”“Sebaiknya kau duduk baik-baik dan jawab setiap pertanyaan Tuan Erca.”Alva merasakan tangan kirinya telah disuntikkan sesuatu. Ia sendiri bisa merasakan detak jantungnya berdetak melambat.“Jadi ini salah satu anggota Lingkar Hijau yang kau temukan? Lingkar Hijau memang menarik, selalu merekrut anggota dari usia mereka yang masih sangat muda. Tetapi…sejauh apa ilmu yang kau miliki?” terang seorang pria bertubuh tinggi yang sedang berjalan mendeka