Ada bab lagi, nanti malam. Tks
Hari ini, Sarah diperbolehkan untuk pulang. Meski sebenarnya para medis tidak menganjurkan hal itu terjadi. Sebab, kondisinya masih lemah. Sarah butuh pengawasan khusus tetapi karena permintaan pasien mereka tak bisa memaksa. Entah apa yang dimau Sarah, Wira, Gin, bahkan Yura, tidak mengerti mengapa ia tak ingin mendapatkan pengobatan. Di saat semua orang menginginkan penyakitnya sembuh dan berlomba-lomba untuk mendapatkan dokter dan penanganan yang terbaik, Sarah tidak demikian. “Aku tidak habis pikir kenapa kau pulang secepat ini. Kau bahkan belum satu minggu di rumah sakit. Kalau hanya masalah biaya, bukankah kita sudah bicara sebelumnya?” Wira yang baru saja pulang karena urusan kantor menggerutu. Bagaimana tidak? Wira tidak tahu rencana itu. Sarah tak berunding dan meminta persetujuannya sama sekali. Hanya tiba-tiba, saat datang ke rumah sakit, ia tak menemukan Sarah di sana. Dan sekarang dia malah menemukan istrinya sedang duduk memangku cucu pertama mereka. “Aku bosan di ru
Petang hari, Yura membuka kedua matanya yang berat. Tidak tahu kapan terlelap, ia hanya ingat jika setelah mandi, ia menyusui Raya di dalam box bayi. Wanita itu meraih ponsel dan melihat alat penunjuk waktu. Ternyata sudah cukup lama ia terlelap. Yura lantas menjauh dari badan putrinya yang sedang tertidur lelap, kemudian mengganjal tubuh bayi gembul itu dengan sebuah guling kecil. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dari kamar mandi membuat Yura segera menoleh ke arah sumber suara.Gin yang masih berbalut handuk keluar dari kamar mandi. Dadanya telanjang dan rambut yang setengah basah membuatnya semakin mempesona. Siapa pun yang melihat ini tak akan sanggup menahan bibirnya untuk tidak menjerit bahagia. “Sudah bangun?” tanyanya dengan suara pelan seraya berjalan mendekat ke arah istrinya. Mengambil ponsel dan memeriksanya.“Maaf, aku tidak tahu kalau kau sudah pulang. Sebentar aku akan ambilkan baju.” Yura segera bangkit berdiri dan menutup box bayinya. Lalu berjalan ke arah war
Pagi-pagi sekali, Wira dan Sarah sudah meninggalkan kediaman utama. Wira menepati janjinya kepada Sarah untuk mengantar ke tempat pertemuan mereka. Sebuah danau di tepi kota. Ya, dulu mereka saling mengenal di tempat tersebut. Dengan mengenakan sweater tebal dan kursi roda, Sarah datang ke tempat itu. Kini, ia sedang duduk pada sebuah tikar memandangi danau yang luas itu dengan tatapan sendu. Sementara Wira yang duduk di sampingnya terus memperhatikan Sarah. Khawatir, bila mana udara yang terlalu kencang membuat Sarah tak enak badan.Untungnya, sampai saat ini Sarah terlihat baik-baik saja. Wanita tua itu sangat antusias, entah mengapa. Meski jarak yang begitu panjang harus ditempuhnya.“Terima kasih sudah mengantarku ke tempat ini, Wira.” Sarah berkata pelan. Dua netranya memandangi pantulan air yang begitu jernih. “Apa kau senang?”Sarah mengangguk. “Ya. Akhirnya aku bisa melihat pemandangan alam kembali.”“Kita tidak bisa lama-lama di sini. Anginnya terlalu kencang. Meski kau sud
“Untuk apa kau mengundang Martha datang?” Wira bertanya dengan sedikit nada panik. Takut, bila Sarah memintanya melakukan hal yang tidak-tidak. Mengingat beberapa teror yang pernah dilakukannya, Wira tak bisa berpikir positif lagi tentang Sarah, sekalipun wanita itu telah banyak berubah. Dan, perihal bertemu Martha itu adalah hal yang kedengarannya mustahil.“Bukan untuk apa-apa. Kau bisa bertanya kepada Yura jika kau tidak percaya.” Sarah tersenyum singkat. Nada bicaranya juga pelan. Tidak ada penekanan sama sekali. “Aku hanya ingin mengenal dia lebih dekat saja. Selama ini, kami belum pernah bicara langsung. Sekarang aku mengerti, mengapa kau lebih memilih dia. Kau bisa mendapatkan apa yang tidak bisa aku berikan darinya.” Tidak banyak yang dilakukan oleh Wira. Hanya menghempas napas panjang setelah istrinya bicara. “Apa tujuanmu ke sini hanya untuk membahas itu? Jika iya, ayo kita pulang saja.”Sarah menolak ajakan itu. “Mengapa di hadapanku kau seolah tidak peduli dengan Marth
Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Sarah Gharvita.Puluhan papan karangan bunga berlatar hitam berjajar rapi di sepanjang halaman kediaman keluarga Satwika. Saking banyaknya, sampai harus turun ke bahu jalan. Tak lain halnya dengan pusara, ucapan belasungkawa tak henti mengalir di tempat itu. Sarah tidak tertolong. Setelah jatuh, Wira segera membawa Sarah ke rumah sakit, ia pikir masih ada waktu lebih lama lagi untuk Sarah bertahan, akan tetapi Tuhan menghendaki takdir yang lain.Sarah meninggal dunia tepat dalam pelukan Wira. Setelah semalam di semayamkan, hari ini, jenazahnya dikebumikan.“Istirahatlah dengan tenang,” bisik Wira seraya menabur bunga mawar merah di gundukan tanah yang masih basah. Sebasah wajahnya yang dibanjiri air mata.Semua itu terjadi dengan tiba-tiba. Tidak ada yang menduga kepergian Sarah, bahkan ini lebih cepat dari vonis dokter. Wira orang yang paling terpukul. Meski bertahun-tahun hubungannya dengan Sarah tak baik, sempat pisah ranjang bahkan merasa
“Dimana Martha?”Wira menatap lurus dua orang binatu perempuan yang baru saja membukakan pintu. Mereka tampak gagap dengan kemunculan sosok Wira yang tidak terduga. Mungkin, mereka mengira Wira tak akan datang ke tempat ini karena sedang berduka. Dan, saat lelaki itu melempar pertanyaan, mereka semua hanya saling melempar tatap, seolah bingung dengan jawaban apa yang harus diberikan kepada sang majikan. “Saya yakin kalian tidak tuli. Dimana Martha?” Sekali lagi Wira bertanya dengan nada lebih tinggi. Tidak peduli dengan dengan mata yang sembab dan wajah kuyu sehabis dari pemakaman, ia mencecar pegawainya. Dua wanita di hadapannya serentak menunduk. Salah seorang memberanikan diri untuk bicara. “Maaf, Bapak, Ibu …. Sedang pergi.”“I—ibu pergi sejak tiga hari yang lalu dan belum pulang, Pak,” timpal pembantu yang satunya. Wira memijat pelipisnya. Kini kecurigaannya terbukti. Hatinya merasa ada yang tidak beres. Sebab sejak semalam wanita itu tak bisa dihubungi dan ketika dijemput,
Setelah tiga puluh menit berkendara, mobil berwarna hitam milik Wira terparkir rapi di halaman sebuah rumah beraksen kayu. Rumah modern yang sebenarnya biasa saja dan jauh dari kota, tetapi begitu berarti untuk Martha, wanita yang kini menjadi istri satu-satunya. Rumah ini satu-satunya harapan Wira. Walau tak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar ke rumah ini atau tidak, pria tua berkemeja hitam itu hanya mengikuti kata hati. Gantungan kunci yang terlepas, menjadi satu-satunya petunjuk yang ingin ia buktikan.Dan semoga saja, Martha bisa ia temukan di sini.Ting Tong! Ting Tong! Wira menekan bel dan menanti beberapa saat. Hingga akhirnya terdengar suara pintu terbuka, Wira menoleh dengan cepat. Sayangnya, yang ia temukan bukan Martha, tetapi seorang pembantu di rumah itu.“Bapak?” sapa wanita itu kepada Wira. Rupanya, meski pertemuan mereka dulu hanya beberapa kali, tetapi wanita itu masih ingat bahwa Wira adalah suami majikannya.“Ibu pulang ke sini?” tanya Wira tanpa basa-
Meskipun ada kelegaan dalam hati karena telah menemukan Martha, Wira tetap tak bisa menyembunyikan dukanya. Kepergian Sarah meninggalkan luka mendalam dan penyesalan dalam dirinya. Semua juga tahu, tak ada yang bahagia saat ditinggalkan selamanya. Sejak tadi, pria itu memilih menyendiri di balkon kamar, merenungkan masa lalunya dan memikirkan masa depannya bersama Martha. Bahkan saat doa bersama di gelar di rumah untuk mengenang Sarah, Wira tak ingin bergabung dengan mereka. Ia lebih memilih untuk menikmati kesunyian dan keheningan di balkon kamarnya."Sudah hampir larut, Mas. Mau sampai kapan melamun di situ?"Suara Martha memecah keheningan di balkon. Malam ini, Wira langsung membawa Martha ke kediaman utama malam itu juga. Ia tidak ingin kehilangan jejak Martha lagi, wanita yang telah membawa secercah cahaya di tengah kesedihannya.Ketika tangan Martha menyentuh pundaknya, Wira menoleh. Ia menurunkan kaki dan mematikan puntung rokoknya. "Sudah selesai?" tanyanya, bermaksud menany