Sementara sore sudah datang menjelang, pertarungan Bintang dengan si Clurit Pencabut Nyawa terus terjadi, tapi sejauh ini belum ada tanda-tanda akan berakhirnya pertarungan yang sudah memasuki jurus ke-24.
“Hyyattt......wuusshh”. sosok si Clurit Pencabut Nyawa terlihat mengubah serangannya yang sejak tadi hanya mengincar tubuh Bintang bagian atas, dan rupanya hal ini baru disadari oleh si Clurit Pencabut Nyawa, dengan cepat dia kini langsung menyerang kearah kaki Bintang hingga mau tak mau Bintang kini terpaksa bergerak dari tempatnya. Dan si Clurit Pencabut Nyawa tersenyum melihat keberhasilan serangannya, dia terus melancarkan serangannya dengan gencar.
“plakkk....plakkk.”. terlihat beberapa kali Bintang harus memapaki serangan yang dilancarkan oleh si Clurit Pencabut Nyawa yang terus menyerang Bintang dengan gencar.
“Sett...wuutt...bummm”. betapa terkejutnya Bintang tiba-tiba saja si Clurit Pencabut Nyawa melemparkan sesuatu ketanah yang langsung menimbulk
Senja memancar diufuk barat, mega-mega kemerahan terlihat dikejauhan, segerombolan burung terlihat terbang kembali kesarangnya setelah seharian mencari makan, senja yang teduh dan hening itu tampak mengiringi langkah tiga sosok yang tampak tengah memasuki gerbang pintu sebuah desa. Tapi ketiganya terlihat dibuat keheranan saat semakin melangkah jauh kedalam jalan desa, karena desa itu terbilang sepi sekali, seperti desa yang tidak berpenghuni. “Aneh sekali keadaan didesa ini”. ucap seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba merah, dia memang tak lain adalah Aji murid dari Datuk Api, sedangkan dua teman yang bersamanya tak lain adalah Pandega murid Datuk Angin dan gadis jelita yang berjalan bersama mereka tak lain adalah Intan Purnama murid tunggal dari Datuk Langit. Semakin jauh ketiganya memasuki desa tersebut semakin terkejut ketiganya, saat melihat bagaimana beberapa rumah yang telah hangus terbakar, bahkan dibeberapa tempat terlihat jelas desa itu seperti porak poranda
“Benar nini, pendekar agung itu bukan saja sangat baik, tapi juga sangat dermawan.....dia memberikan sekantong uang kepeng emas untuk digunakan membangun desa ini kembali dan sisanya diberikan kepada keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang dicintainya pada pertempuran siang tadi”. ucap aki pemilik warung lagi hingga semakin mengejutkan ketiga murid tiga datuk ini, tapi hanya Intan saja yang terlihat termangu, dihatinya dia sangat mengagumi akan sosok Ksatria Pengembara yang selama perjalanan mereka telah sering didengarnya tentang sepak terjang Ksatria Pengembara dalam memberantas keangkara murkaan, hal ini yang semakin membuat Intan semakin penasaran untuk segera bertemu dengan pendekar yang hebat itu. *** Siang itu matahari terlihat bersinar dengan teriknya, panasnya terasa begitu menyengat kulit, dan hal inipun terlihat begitu dirasakan oleh tiga sosok tubuh yang tengah berjalan menapaki jalan setapak ditepian sebuah hutan. Melihat sosok ketiganya, mere
“Maaf kalau aku mengagetkan nisanak”. ucap Bintang lagi dengan lembut, tapi anehnya Intan tidak merespon hal itul, bahkan dia masih berdiri terpaku ditempatnya. Bahkan saat Bintang sudah berada didekatnya, Intanpun masih tak bergerak ditempatnya. “Nisanak...nisanak”. ucap Bintang lebih keras hingga menyadarkan sosok Intan dari keadaannya. “Oh maaf, maaf....”. ucap Intan lagi cepat memperbaiki sikapnya. “Kalau tidak salah beberapa hari yang lalu kita pernah bertemu dikedai makan, apakah itu benar nisanak.?” “Benar” “Kalau tidak pula, saat itu nisanak bersama dua orang pemuda....”. “Benar, mereka adalah saudara-saudara seperguruanku”. ucap Intan lagi tersenyum menyambut senyuman pemuda yang ada dihadapannya. “Lalu dimana mereka saat ini nisanak.?” “Mereka beristirahat tak jauh dari sini”. “Apakah nisanak tidak keberatan jika kita bicara sambil duduk”. ucap Bintang lagi. “Oh tentu saja tidak”. ucap Intan ce
Bintang melangkahkan kakinya memasuki pintu gerbang sebuah Kadipaten yang terlihat begitu ramai penduduknya dengan berbagai macam aktifitasnya. Ini pertama kalinya Bintang menjejakkan kakinya disebuah Kadipaten setelah mengembara selama ini. Dan Bintang cukup termangu melihat betapa ramainya kehidupan disebuah Kadipaten. Selain ramainya penduduk yang tinggal di Kadipaten tersebut, Bintang juga dapat melihat orang-orang yang berasal dari kalangan pendekar dunia persilatan yang cukup ramai ditempat itu. Sesekali Bintang terlihat berpapasan dengan serombongan prajurit Kadipaten yang tengah melakukan ronda keliling. Dan hati Bintang tertarik untuk melangkah menuju kesebuah warung makan yang ada di Kadipaten itu yang terlihat cukup ramai pengunjungnya, sudah beberapa hari ini Bintang tidak merasakan masakan enak, selama pengembaraannya Bintang lebih banyak berada di alam bebas dan hanya ayam hutan panggang saja yang selalu setia menemani keroncongan perutnya. Kedatangan Bintang l
“Tong...! tongg...!! tonnggg!!!”. tiba-tiba saja sebuah pentungan gong terdengar dari arah luar, dan bagaikan diperintah, banyak dari penduduk awam maupun dari kalangan pendekar yang ikut mengerumuni beberapa orang prajurit yang tadi memukul gong tersebut, diatas seekor kuda terlihat seorang laki-laki separoh baya yang mengenakan pakaian kebesarannya sebagai seorang pejabat tinggi di Kadipaten Pandan Arum itu, setelah melihat orang yang berkumpul mengelilinginya, terlihat lelaki separoh baya itu membuka sebuah gulungan kertas yang ada ditangannya. “Tong! Tongg!!! tenang-tenang”. seorang prajurit kembali memukul gong untuk menenangkan suasana riuh yang terjadi ditempat itu. Seketika saja suasana riuh itu menjadi terhenti, sepi senyap, semua perhatikan kini tertuju kepada laki-laki yang berada diatas kuda yang kini tengah membuka gulungan kertas yang ada ditangannya. Sebelum membacakan isi gulungan surat itu, lelaki itu terlihat menatapi keadaan disekitarnya. Lalu kemudian dia
“Mudah-mudahan saja semua itu hanya perasaan gusti saja, kita berdoa saja kepada shang yang widhi gusti, semoga Gusti Ayu Pandansuri dalam keadaan selamat”. ucap Nyi Payan lagi. “Yah, mudah-mudahan sa....” “hiieekkk!!!”. Belum lagi wanita itu menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba saja mereka dikejutkan suara ringkikan kuda mereka yang berada didepan, apa yang terjadi sebenarnya hingga membuat sisais kuda kereta kuda itu menghentikan langkahnya ? Di depan sana, tepatnya kini berada dihadapan 10 orang prajurit yang terlihat langsung bersiap siaga dengan tombak ditangan mereka, tampak 8 sosok yang mengenakan pakaian serba hitam yang menutupi sekujur tubuhnya, bahkan wajah ke-8 sosok hitam itupun terlihat tertutup oleh sebuah topeng menyeramkan yang biasa disebut dengan topeng setan. Kehadiran ke-8 manusia bertopeng setan ini terlihat tidak membuat gentar ke-10 orang prajurit pengawal kereta kuda itu. “Siapa kalian ? kenapa kalian menghal
Senja datang menjelang, diufuk barat terlihat sang mentari yang beberapa waktu lagi akan segera tenggelam, mega-mega merah terlihat menghiasi ufuk barat, dari arah timur terlihat serombongan burung-burung yang terbang bergerombol pulang kesarangnya setelah seharian pergi mencari makan. Hampir semua kehidupan diatas muka bumi ini terlihat mulai berhenti dan melangkah pulang kerumah mereka masing-masing. Tapi suasana yang seharusnya tenang dan hening itu tidak terjadi disebuah hutan yang cukup lebat, sebuah pertarungan sengit tengah terjadi, dimana terlihat sosok seorang wanita tua yang menggunakan sebuah selendang yang berwarna kuning keemasan sebagai senjatanya tengah bertarung dengan tiga sosok bayangan hitam yang bergerak cepat melancarkan serangan kearahnya. Ketiga sosok bayangan hitam itu bergerak begitu cepat hingga sulit untuk melihat sosok ketiganya, yang terlihat hanyalah bayangan ketiganya yang terus menggepur sosok wanita tua yang bernama Nyi Payan atau yan
Sosok Nyi Payan yang terus terdesak mundur kebelakang jelas memperlihatkan kalau Nyi Payan sangat terdesak oleh kedua serangan lawannya yang terlihat terus menggeseknya kedepan, bahkan ; “Deesss”. satu tendangan keras menghantam tubuh Nyi Payan saat salah satu dari kedua lawannya membuat satu gerakan tipuan, dimana saat itu perhatian Nyi Payan memang tengah tertuju pada kedua kuku lawannya, hingga serangan tiba-tiba yang berupa tendangan yang dilancarkan oleh salah satu lawannya tidak kuasa dibendung oleh Nyi Payan hingga terpentallah sosok Nyi Payan dengan deras kebelakang, bahkan selendang keemasan yang merupakan senjata andalannya terlihat terlepas dari tangannya, beberapa kali terlihat sosok Nyi Payan terguling-guling ditanah hingga akhirnya sosoknya terkapar tak berdaya ditanah. “Huakkk.”. terlihat Nyi Payan memuntahkan darah kental berwarna kehitaman, dengan sisa-sisa tenaganya Nyi Payan terlihat bangkit dari tempatnya, sosok Nyi Payan terlihat goyah karena luka dalam