"Ah, bukan apa-apa, Mas." Aku mulai tak bisa mengendalikan sikapku. Hingga memilih berlari ke luar membawa map tersebut. "Maaf aku buru-buru!" Aku berjalan cepat ke luar."Sayang, tunggu!" seru Mas Revan yang ternyata mengikuti. Kuharap Doni sudah berdiri di depan pintu menyambut map ini.Suara bel berbunyi. Syukurlah! Pasti itu Doni. Pria itu memang sangat bisa diandalkan.Aku berjalan setengah berlari ke arah pintu. Jangan sampai Mas Revan menangkapku dan mengambil benda di tangan yang menjadi penentu masa depan kami.Syukurlah tanganku mencapai pintu lebih dulu. Aku lega sekali. Namun, bukannya rasa lega yang kudapat. Tapi bertambah kaget setengah mati!Mbak Wenda berdiri di depan pintu dengan tatapan marah."Hallo, Ri. Akhirnya ketemu juga kita. Kalau kamu sudah tahu mengenai perselingkuhan kami. Kenapa masih pura-pura?" Tangan wanita yang mengenakan tangtop dan jeans ketat itu menyilang di dada.Sementara saat melihat ke belakang Mas Revan sudah berdiri tak jauh dariku. Ia pun me
Doni menarik lenganku menuju mobilnya. Seketika aku mendongak menatap pria yang mengenakan kemeja berwarna marun tersebut dengan mata memicing, sebagai bentuk protes."Udah, Mbak! Ikut aja. Dan lagi jangan paksa aku manggil Bos di luar Kafe." Pemuda itu seolah tahu semua yang kupikirkan."Apa?" Aku terkejut dengan pernyataannya.Doni menaikkan sebelah bibir. Diikuti senyum masam melirik pada Mas Revan dan Mbak Wenda yang bertengkar. Namun, masih sempat melirik kami. Dari ekspresi Doni aku paham semua maksdunya.Mungkin maksud manajerku itu adalah membuat Mas Revan cemburu, atau hendak menjagaku di dekatnya. Karena bisa saja jika berangkat dengan mobil sendiri, Mas Revan nekad mengejar lantaran tak terima aku bilang akan mengurus surat cerai.Apalagi yang bisa kuharapkan dari pria seperti Mas Revan? Memaafkan dan memberinya kesempatan? Tidak. Lakukan apa pun, asal jangan selingkuh. Aku tak akan pernah memaafkannya. Lantaran semua orang juga tahu, bahwa selingkuh itu seperti candu. Memb
"Begini, Ri. Jagan sampai karena kedekatanmu dengan pria lain, membuat buaya buntung mendapat angin segar. Menjadikan hubunganmu sebagai celah untuk menyerangmu balik." Mega bicara serius. Yah, kapan juga dia gak serius? Dia kan orang yang bekerja di bidang hukum."Maksudnya?" tanyaku keheranan."Di pengadilan itu yang bicara adalah bukti. Bukan kejujuran seseorang." Mega menjawab sambil mengenakan kembali kacamatanya. Untuk kemudian menatap deretan aksara di atas kertas yang kuserahkan. Aku mulai paham ke mana arah pembicaraan wanita yang selalu tampak rapi tersebut."His. Tapi itu gak masuk akal, Ga. Aku dan Doni tak punya hubungan lain. Semua hanya sebatas kerja," kilahku. Lagian mana mungkin aku jatuh cinta pada Doni. Tak akan pernah. Apalagi sampai menjalin hubungan, kalau itu terjadi, pasti aku sudah kehilangan kewarasan."Ya, sudah lah. Tadinya aku gak mau ikut campur urusanmu. Tapi ternyata kamu berniat menceraikan suamimu. Jadi aku pikir, salah jika aku diam saja gak membahas
"Hamil?!" Mataku melebar. Apa ini cuma akal-akalan Mbak Wenda untuk menjegal rencana Mas Rayyan untuk menceraikannya."Hem? Nggak mungkin Mas." Aku menggeleng. Mementahkan apa yang Mas Rayyan katakan.Pria itu masih tampak frustasi. Beberapa kali mengacak rambut. Lalu mengusap wajahnya. Baru ini aku melihat Mas Rayyan seperti itu. Lelaki yang bawaannya lembut dan tenang itu, sekarang sedang sangat gelisah. Mungkin karena ini bukan lagi hanya menyangkut pernikahan tapi juga bayi yang sudah lama ditunggunya."Jadi ... Mas gak jadi ceraikan Mbak Wenda?" Dia tampak ragu. Duh, kamu sangat bodoh kalau bayi itu alasan kalian batal nikah Mas. "Aku ....""Ceraikan, Mas! Wanita seperti dia tidak bisa diberi hati. Aku bahkan tak yakin kalau anak dalam kandungannya anaknya Mas Rayyan. Lalu kenapa Mas bisa ambil kesimpulan itu anak Mas?" Kutekan kakak iparku itu dengan pernyataan-pernyataan yang membuatnya mau membuka pikiran.Sudah jelas sekali, Mbak Wenda itu wanita jalang. Tidur bukan hanya d
Bayangan itu semakin mendekat, diikuti langkah kaki yang membuat buluku meremang. Takut. Tenang, Ri. Berpikir jernih. Jangan biarkan rasa frustasi dan takut aku membuatku tak bisa melawannya. Jalan satu-satunya bagi orang terdesak, adalah melawan penjahatnya. Aku terhenyak ketika sebuah tangan memegang pundak. Sontak tubuhku berbalik. Tanpa melihat siapa, kuayunkan kaki mendorong tubuhnya terjungkal di anak-anak tangga.'Dug!' Kepala orang itu menghantup dinding. Yang kemudian diikuti suara sakit."Auh!"Aku masih terpaku di tempat. Ingin berlari ke arahnya melihat siapa orang itu, tapi takut dia bawa senjata tajam. Akhirnya kuputuskan untuk naik ke atas. Memenggil satpam dari "Kamu gak papa?" Seorang pria berlari mendekati orang jahat itu. Tapi ... suaranya sangat kukenal.Akhirnya kunyalakan lampu untuk memastikan siapa yang datang dan dugaanku itu benar."Mas Rayyan?!" Mataku membeliak. Kenapa malam-malam dia ada di sini?Suara seseorang yang mengaduh kesakitan di bawah sana meng
"Apa Anda sudah menceraikan istri Anda?" tanya manajer Kafe. Dia tidak mengizinkanku pergi begitu saja. Kami harus bicara katanya."Begini Mas Doni. Ini sebenarnya urusan pribadi saya dan ...." Ucapanku terpotong. Doni menempelkan punggung ke kursi belakang. "Heh." Pria tampan itu menaikkan satu sudut bibir. Seolah meremehkan keputusanku yang menutup rapat kisah rumah tangga kami.Aku sudah pernah merasakan kejam dan fitnah banyak, bahkan dikhianati orang terdekat yang paling kupercayai di dunia ini. Tak ada kebaikan yang kudapat setelah mempercayai mereka. Justru mereka memanfaatkan keluguan dan kebaikanku.Begitu pun pemuda ini, mana bisa aku percaya padanya."Saya sebenarnya tidak tertarik pada urusan orang lain. Tapi pengecualian buat Mbak Ria." Doni menyilang tangan di dada. Entah, apa maksudnya? Aku memang menatap sesuatu yang berbeda dari tatapan pemuda pada wanita yang menjadi bosnya tersebut."Hem." Aku manggut-manggut. Menunjukan padanya, bahwa itu tak masalah bagiku."Ya.
Terdengar desahan panjang dari arah kursi samping.Kutatap dari ekor mata, wanita jelita itu menyandar di kursi. Lelah. Namun, matanya tak juga terpejam.'Ri ... kalau saja boleh, aku ingin membuang semua beban di pundakmu.'Tapi aku ini siapa? Aku hanya seorang kakak ipar yang bahkan tak pernah membantu kehidupannya.Tak menyangka jika malam ini akan jadi malam tak biasa. Kami harus bolak-balik mengurus Doni dan Pak Reno secara bersamaan. Kulihat wanita yang kini duduk dengan panik di sampingku. Berkali ia menengok ke belakang, melihat keadaan Pak Reno yang sudah banyak kehilangan darah.Kasihan dia. Dia selalu menderita karena kakaknya. Sejak dulu kali pertama kami bertemu. Wenda sangat ketus pada Ria. Dan sikapnya mulai melunak, kala adik perempuannya itu menikah dengan Revan. Semua karena uang. Sementara aku ... ada di tengah mereka. Hubunganku dengan Wenda sebenarnya hanya soal waktu. Sejauh mana bisa bertahan menghadapi perangai buruknya. Semua bisa kuterima, tapi tidak dengan
"Ap-apa maksudmu, Ri?" Suaraku nyaris tak terdengar.Ria malah bergerak mendekat. Ia bahkan menempelkan sisi tubuhnya, yang membuatku sontak sedikit menjauh. Apa dia membuat rencana dadakan? Ya, ini pasti hanya pura-pura, dia menyeret namaku untuk melindungi diri dari Revan."Mas, masa lupa. Baru juga ngobrol tadi." Ria menatapku membelakangi suaminya dengan berkedip-kedip. Hem, benar dugaanku. Dia asal berbuat tanpa meminta persetujuan."E-e iya, Ri." Dia sudah banyak membantu kehidupan kami. Lebih dari itu Ria telah banyak menderita karena kami, terutama atas sikap Wenda. Tidak mungkin aku menentang rencananya."Em. Ya, Van!" Suaraku meninggi, seiring keprercayaan diri yang tiba-tiba ada. Tapi ... kenapa aku jadi percaya diri? Apa karena Ria mengatakan akan menikah denganku? Oh, tidak. Mungkin kah tanpa kusadari mulai ada ketertarikan padanya.Oh, itu tidak mungkin! Pasti ini hanya perasaan tak enak karena selalu membuatnya susah.Lelaki itu kini mengalihkan pandangannya padaku. Waj