로그인Dalam dunia bisnis yang penuh intrik dan kekuasaan, cinta sering kali menjadi korban pertama. Elena Maheswari Atmaja, pewaris Atmaja Televisi, dipaksa menikah tanpa peringatan demi menyelamatkan perusahaannya dari kehancuran. Gerald Aiden Mahatma, pewaris Mahatma Entertainment, menerima perjodohan ini dengan dingin, menganggapnya tak lebih dari transaksi bisnis. Tanpa cinta, tanpa keinginan, keduanya disatukan dalam sebuah pernikahan terpaksa yang disaksikan oleh ribuan mata. Ketegangan membara di antara mereka, perjanjian rahasia diteken, dan batasan-batasan dipasang—namun bagaimana jika batas itu perlahan kabur? Saat ego, luka, dan perasaan yang tak diundang mulai bermunculan, mampukah dua orang asing ini bertahan dalam pernikahan yang dibangun atas dasar paksaan? Atau justru, di balik aliansi dingin ini, cinta yang tak pernah mereka harapkan perlahan tumbuh?
더 보기Elena Maheswari Atmaja baru saja kembali dari perjalanan bisnis yang melelahkan di Singapura, membawa serta harapan baru untuk Atmaja Televisi, perusahaan media yang telah dibangun oleh keluarganya dengan susah payah.
Sebagai putri tunggal Nathaniel Atmaja dan Devina Adeline Pramesti, Elena memikul beban besar di pundaknya.
Posisi CEO Atmaja Televisi telah membentuknya menjadi seorang wanita yang dingin, tegas, dan berpendirian teguh, kualitas yang sangat dibutuhkan mengingat kondisi finansial perusahaan yang sedang merosot tajam dan hampir di ambang kebangkrutan.
Namun, alih-alih sambutan hangat dan istirahat yang layak, Elena dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria berbadan tegap yang langsung membawanya ke mobil tanpa banyak penjelasan. Perasaan tidak enak mulai menghantuinya sepanjang perjalanan, menggerogoti ketenangannya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan, firasat buruk merayap di benaknya. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada masalah di kantor yang begitu genting hingga ia harus dijemput seperti ini?
Setibanya di sebuah gedung, Elena keluar dari mobil dengan wajah bingung dan kesal. Namun, begitu melangkah masuk, ia dikejutkan oleh pemandangan yang jauh dari bayangannya.
Aula utama yang luas telah didekorasi dengan bunga-bunga, beberapa orang sibuk berlalu-lalang, dan senyum cemas terpancar dari wajah kedua orang tuanya yang menyambutnya. Tanpa basa-basi, Nathaniel dan Devina langsung membawa Elena ke salah satu ruangan. Di tengah ruangan itu, sebuah gaun pengantin putih menggantung dengan anggun.
"Ma? Pa? Ini ada acara apa?" tanya Elena, matanya menelusuri ruangan dengan curiga, mencoba mencerna pemandangan aneh di hadapannya.
Devina, buru-buru menghampirinya, wajahnya dipenuhi kelegaan bercampur kecemasan. "Elena, kami lega akhirnya kamu sampai. Cepat kamu siap-siap!"
"Siap-siap? Untuk apa?" Elena menatap ibunya dengan kening berkerut, merasa semakin bingung dan tak sabar.
Nathaniel berjalan mendekat dengan wajah serius yang jarang ia tunjukkan. "Ini hari pernikahanmu, Elena.”
Dunia Elena seolah berhenti berputar. "Apa? Papa gak salah ngomong? Katakan sekali lagi, siapa yang menikah?" suaranya bergetar, mencoba memastikan bahwa pendengarannya tidak salah.
"Kamu," ujar Nathaniel tegas, tanpa keraguan. "Dengan Gerald Aiden Mahatma."
Elena tertawa hambar, berharap ini hanyalah lelucon buruk setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari Singapura. "Papa bercanda, 'kan?" Namun, ekspresi Nathaniel tetap serius, membuyarkan segala harapannya akan sebuah lelucon.
"Papa gak bercanda, El. Pernikahan ini harus terjadi," tegas Nathaniel.
"Harus?! Sejak kapan aku setuju menikah?! Kenapa tiba-tiba? Kenapa Papa sama Mama gak ngomong dulu sama aku?!" Elena mulai menaikkan suaranya, matanya memandang ibunya, menuntut penjelasan.
Devina menghela napas panjang. "Sayang, Atmaja Televisi mengalami masalah keuangan yang serius. Kami butuh bantuan, dan satu-satunya cara agar perusahaan tetap bertahan adalah menerima akuisisi dari Mahatma Entertainment. Salah satu syaratnya adalah pernikahan ini.”
Elena merasa seolah-olah dihantam oleh kenyataan yang tak masuk akal, seolah kini dikorbankan layaknya aset. "Jadi ini… transaksi bisnis?! Aku dikorbankan demi menyelamatkan perusahaan?!" suaranya dipenuhi kemarahan yang tertahan.
"Ini juga demi masa depanmu, Elena," Nathaniel mencoba meyakinkannya. "Gerald bukan pria sembarangan. Dia pewaris Mahatma Entertainment, CEO Maha Pictures, dan menikah dengannya akan menjamin stabilitas hidupmu.”
"Papa pikir aku tidak bisa menjamin hidupku sendiri?! Aku baru aja pulang dari perjalanan bisnis, berhasil menutup kesepakatan besar, aku udah berusaha ngelakuin segalanya untuk membantu perusahaan, dan sekarang Papa maksa aku harus menikah demi stabilitas?!" Elena meradang, rasa sakit dan pengkhianatan membanjiri dirinya.
"Ini lebih dari sekadar bisnis, Elena," suara Nathaniel mengeras. "Ini tentang keluarga. Tentang kehormatan Atmaja yang harus dipertahankan.”
Elena mendengus, hatinya bergejolak. "Jadi, harga diriku harus dikorbankan demi kehormatan keluarga? Apa yang membuat kalian berpikir aku setuju?!"
"Karena kamu gak punya pilihan!" suara Nathaniel meledak, memenuhi ruangan dan membuat semua orang terdiam. "Yang kamu lakukan itu masih belum cukup. Atmaja Televisi akan bangkrut kalau kamu tidak menikah. Ribuan karyawan akan kehilangan pekerjaan mereka. Semua yang sudah Papa bangun seumur hidup akan hancur begitu saja! Kamu pikir Papa ingin melakukan ini?"
Elena menatap ayahnya, berusaha meredam emosinya yang meluap. Ia melihat kelelahan dan keputusasaan di mata pria yang selalu ia hormati itu. "Pa... aku tahu gimana Papa susah payah membangun perusahaan ini dari nol. Aku paham bahwa kondisi sekarang sulit. Tapi kenapa harus pakai cara ini? Apa gak ada cara lain?"
Nathaniel mengusap wajahnya, tampak sangat lelah. "Karena ini satu-satunya jalan yang tersisa. Papa dan Mama sudah coba segala cara, Elena. Papa berusaha mencari investor lain, mencoba mempertahankan kepemilikan, tetapi tidak ada satupun yang bersedia membantu tanpa imbalan besar. Mahatma Entertainment adalah satu-satunya yang bersedia, dan syarat mereka adalah pernikahan ini.”
Elena menggeleng. Rasa tidak percaya masih menyelimutinya. "Jadi aku harus menikahi pria yang bahkan tidak aku kenal? Melepaskan impian, kebebasan, hanya demi menyelamatkan perusahaan? Apa Papa gak pernah mikirin perasaanku?"
Devina mendekati putrinya, menggenggam tangannya dengan penuh harap. "Sayang, Mama tahu ini berat. Tapi Gerald orang yang baik, dan—"
"Aku bahkan gak kenal dia, Ma! Gimana bisa kalian memaksaku menikah dengan seseorang yang bahkan belum pernah ku kenal sebelumnya?" sela Elena, suaranya tercekat.
Sebelum ada yang sempat menjawab, suara langkah kaki yang mantap terdengar mendekat. Seorang pria dengan setelan jas hitam memasuki ruangan dengan ekspresi datar. Tatapan tajamnya menusuk, seolah melihat langsung ke dalam jiwa Elena.
Dia adalah Gerald Aiden Mahatma, putra tunggal Darius Mahatma dan Isabella Victoria, pemilik Mahatma Entertainment. Bohong jika Elena tidak mengenal Gerald.
Nama Gerald Aiden Mahatma begitu dikenal oleh orang-orang yang menaungi media dan hiburan seperti dirinya. Kesuksesan Maha Pictures dalam pembuatan film, meraih box office dan mendapatkan penghargaan dari dalam serta luar negeri tidak lepas dari peran Gerald yang begitu besar.
Gerald merupakan CEO Maha Pictures, otak keberhasilan perusahaan production house itu dalam membuat film-film terkemuka di Indonesia.
Sekali lagi, ia menoleh ke arah ayahnya, berharap ini hanyalah mimpi buruk. "Pa… Aku tetap tidak mau menikah! Ini gila!" ujarnya menggunakan kesempatan terakhir untuk protes, di depan Gerald langsung. Barangkali pria itu akan melakukan pemberontakan yang sama dengannya.
Nathaniel menghela napas panjang. "Elena, ini satu-satunya cara agar Atmaja Televisi bisa bertahan. Papa mohon…”
Elena mengepalkan tangannya, menahan emosi yang siap meledak. Ia menatap Gerald dengan penuh kebencian, seolah pria itu adalah sumber dari segala kekacauan ini. "Dan kamu? Apa kamu juga menganggap ini pernikahan atau hanya transaksi?"
Gerald menghela napas pelan, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana jasnya. "Elena, aku tidak akan membohongimu. Ini memang transaksi bisnis. Keluargamu membutuhkan bantuan, dan keluargaku menginginkan sesuatu sebagai gantinya.”
Elena terkesiap. "Jadi kamu setuju begitu saja? Tanpa keberatan sedikit pun?"
Gerald menatapnya dengan tatapan tenang, namun penuh perhitungan. "Aku tidak pernah mengizinkan perasaanku mengganggu urusan bisnis. Aku tahu pernikahan ini bukan sesuatu yang kamu inginkan, bahkan akupun juga tidak menginginkan pernikahan ini, tapi sekarang semuanya bukan hanya tentang kita. Ini tentang perusahaan, keluarga, dan masa depan banyak orang.”
Elena mendengus marah. "Kamu bicara seolah-olah aku ini hanya bagian dari kesepakatan bisnis yang telah kalian tentukan tanpa persetujuanku didalamnya! Aku ini manusia, Gerald, bukan aset yang bisa dipindahtangankan!"
Gerald tetap tenang, tapi kali ini nada suaranya sedikit lebih tajam. "Aku tidak mengatakan kamu bukan manusia, Elena. Tapi aku juga bukan pria yang punya pilihan dalam hal ini. Papaku menginginkan pernikahan ini sama seperti Papamu. Aku hanya menjalankan peranku.”
"Jadi kamu tidak peduli sama sekali?" Elena menatapnya dengan tajam, mencari celah, secuil emosi di mata pria itu.
Gerald diam sejenak, lalu menjawab dengan nada lebih rendah namun tegas. "Aku tidak terbiasa mencampurkan perasaan dengan kewajiban. Ini adalah keputusan terbaik dalam situasi yang kita hadapi. Kamu bisa membenciku sepuasnya, tapi itu tidak akan mengubah fakta bahwa pernikahan ini akan tetap terjadi, dengan atau tanpa persetujuanmu.”
Elena mengepalkan tangannya lebih erat, rahangnya mengeras menahan gejolak emosi yang memenuhi dadanya. "Aku tidak akan menyerah semudah itu.”
Gerald menatapnya, ekspresinya tetap datar, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. "Aku tidak meminta kamu untuk menyerah, Elena. Tapi aku meminta kamu untuk segera bersiap dan menghadapi kenyataan.”
Gerald menghela napas, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, namun tetap penuh tekanan. "Kita bukan orang sembarangan. Keluargamu dan keluargaku berada di bawah sorotan publik. Kamu tahu berapa banyak rekan bisnis yang datang hari ini? Berapa banyak media yang sudah bersiap meliput? Pernikahan ini bukan sekadar acara keluarga, ini adalah pernyataan besar kepada dunia bisnis bahwa Atmaja Televisi dan Mahatma Entertainment telah menjadi satu kesatuan.”
Langkah Gerald sedikit mendekat, ekspresinya masih tetap tenang, tetapi sorot matanya semakin tajam. "Apa kamu siap menghadapi dampaknya jika kamu memilih memberontak di hadapan mereka semua? Jika kamu pergi dari sini, kamu bukan hanya mempermalukan keluargamu, tapi juga menjatuhkan nama Atmaja yang sudah keluargamu pertahankan dengan susah payah.”
Gerald terdiam sejenak, seolah membiarkan kata-katanya meresap dalam pikiran Elena sebelum ia kembali melanjutkan. "Aku tidak butuh pernikahan ini, Elena. Aku bisa saja menolak dan tetap menjalani hidupku tanpa peduli pada kesepakatan keluarga kita. Tapi kamu tahu bagaimana orang tua kita bekerja. Jika aku menolak, mereka hanya akan mencari cara lain untuk memaksakan kehendak mereka. Dan kamu… pada akhirnya tetap tidak akan punya pilihan.”
Nada suaranya sedikit melembut, tetapi tetap dingin. "Jadi, percayalah, aku tidak lebih menyukai situasi ini daripada kamu. Tapi aku cukup realistis untuk tahu bahwa semakin cepat kita menerima keadaan, semakin kecil kerusakan yang ditimbulkan.”
Gerald semakin menatap Elena lebih dalam, nada suaranya sedikit lebih tajam. "Jangan pikir aku tidak tahu apa yang coba kamu lakukan. Kamu berharap aku akan berubah pikiran dan membatalkan semuanya? Itu tidak akan terjadi. Keluargaku tidak pernah membiarkan kesepakatan berantakan, dan begitu juga keluargamu. Jika kamu membuat masalah sekarang, kamu hanya akan memperburuk keadaan.”
Gerald mendekat sedikit lagi, suaranya nyaris seperti bisikan, tetapi penuh dengan tekanan. "Jadi, pilihannya ada di tanganmu, Elena. Kamu bisa berdiri tegak dan menunjukkan bahwa kamu tetap seorang Atmaja yang berkelas, atau kamu bisa membuat skandal besar yang akan menghancurkan reputasi keluargamu dalam hitungan detik. Tapi ingat, tidak ada jalan keluar dari ini.”
Elena menatapnya dengan napas tersengal, dadanya naik turun akibat emosi yang meluap. Ia ingin membantah, ingin berteriak bahwa ia masih punya pilihan, tapi dalam hati, ia tahu Gerald tidak salah. Gerald menegakkan bahunya dan melirik arlojinya. "Kita tidak punya banyak waktu lagi. Gaun pengantinmu sudah disiapkan, dan tamu-tamu mulai berdatangan. Sekarang, putuskan—kamu akan berjalan ke altar dengan kepala tegak atau menyeret keluargamu ke dalam kehancuran?"
Pilihan itu, atau lebih tepatnya, ketiadaan pilihan, mengunci Elena dalam takdir yang tak ia inginkan. Ia harus menikah, demi keluarganya, demi Atmaja Televisi. Sebuah pernikahan yang terjadi tanpa peringatan, tanpa persetujuan. Sebuah ikatan yang akan mengubah segalanya.
Tidak ada suara yang lebih akrab bagi Elena selain bunyi langkah kaki Gerald di rumah mereka.Bukan langkah yang tergesa, bukan pula yang ragu. Langkah itu selalu datang dengan ritme yang sama—mantap, tenang, seolah rumah ini benar-benar tahu siapa yang pulang. Dan setiap kali itu terjadi, Elena selalu merasakan hal yang sama: perasaan kembali utuh.Ia berdiri di dapur sore itu, menggulung lengan bajunya sedikit, mengaduk sup di atas kompor. Rambutnya diikat seadanya, wajahnya bersih tanpa riasan. Tidak ada yang istimewa dari pemandangan itu—dan justru di situlah letak keindahannya.Gerald muncul di ambang pintu dapur, jasnya sudah dilepas, kemeja putihnya digulung hingga siku. Ia berhenti sejenak, bersandar di kusen, hanya memperhatikan.Tidak banyak pria yang bisa diam hanya untuk melihat istrinya melakukan hal sederhana. Gerald bisa. Dan ia melakukannya dengan penuh kesadaran.“El,” panggilnya pelan.Elena menoleh. “Hmm?”“Kamu capek?”Elena berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Engg
Pagi datang dengan cara yang lembut.Cahaya matahari menyelinap di sela tirai, jatuh perlahan ke lantai kamar, membentuk garis-garis keemasan yang hangat. Udara Jakarta masih sejuk, dan di dalam kamar itu, segalanya terasa diam—tenang dengan cara yang tidak biasa.Elena terbangun lebih dulu.Ia tidak langsung membuka mata. Ia tahu di mana ia berada, tahu siapa yang memeluknya dari belakang, tahu ritme napas yang menghangatkan tengkuknya. Gerald masih terlelap, lengannya melingkar mantap di pinggang Elena, seolah tidur pun tak ingin melepaskannya.Elena tersenyum kecil.Ada masa ketika ia mengira kebahagiaan harus datang dengan ledakan besar—perayaan, sorak, pengakuan. Tapi pagi itu mengajarinya sesuatu yang berbeda: kebahagiaan bisa sesederhana bangun dan tahu bahwa orang yang ia pilih, memilihnya kembali. Setiap hari.Ia menoleh sedikit, menatap wajah Gerald dari jarak sedekat ini. Garis rahangnya tegas, alisnya rileks saat tidur, ekspresi yang jarang dilihat orang lain. CEO terkenal
Baik. Aku lanjutkan dengan nuansa romantis, intim, dewasa, namun tetap halus dan tidak eksplisit, fokus pada kehangatan rumah, gesture kecil, dan ikatan emosional mereka.Rumah terasa lebih sunyi dibanding biasanya ketika pintu akhirnya tertutup di belakang mereka. Jakarta masih berisik di luar sana, tapi di dalam, hanya ada langkah kaki mereka dan dengung pendingin ruangan yang lembut.Gerald menyalakan lampu ruang tengah dengan pencahayaan redup. Elena melepas sepatu haknya lebih dulu, menghela napas panjang begitu telapak kakinya menyentuh lantai dingin.“Akhirnya,” gumamnya.Gerald tersenyum, melepas jam tangannya lalu meletakkannya di meja. “Capek banget?”Elena mengangguk sambil melonggarkan ikatan rambutnya. “Rasanya pengin langsung rebahan.”Gerald mendekat, tangannya terangkat secara refleks untuk merapikan anak rambut yang jatuh ke wajah Elena. “Mandi dulu,” katanya lembut. “Aku bantu.”Elena menatapnya, sedikit curiga tapi tidak menolak. “Kamu selalu bilang begitu.”Gerald
Restoran itu tidak terlalu ramai—sebuah tempat dengan pencahayaan hangat dan musik jazz lembut yang mengalun pelan, cukup untuk menjadi latar tanpa mengganggu percakapan. Meja mereka berada di dekat jendela besar, memperlihatkan kilau lampu kota Jakarta yang mulai menyala satu per satu.Gerald menarik kursi untuk Elena lebih dulu.“Silakan, sayang.”Elena tersenyum kecil sambil duduk. Gaun kerjanya sederhana—potongan rapi dengan warna netral—tidak berlebihan, tidak berusaha mencuri perhatian. Tapi bagi Gerald, justru itulah yang membuatnya sulit mengalihkan pandangan.Gerald baru duduk setelah memastikan Elena nyaman. Ia melepas jam tangannya, menaruh ponsel terbalik di meja—sebuah kebiasaan kecil yang tanpa disadari selalu ia lakukan setiap kali ingin benar-benar hadir.Pelayan datang membawa menu. Gerald menyerahkan menu miliknya ke Elena lebih dulu.“Kamu pilih dulu.”Elena mengangkat alis. “Kenapa selalu aku?”“Because I like watching you decide,” jawab Gerald ringan. “Kamu serius
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.