Perpisahan dan Luka Hujan turun deras malam itu, membasahi kaca jendela ruang sidang yang sudah kosong. Hanya tinggal dua sosok yang berdiri saling membelakangi. Arga Pratama, pria berusia tiga puluh dua tahun dengan jas hitam yang masih rapi meski wajahnya letih, menegakkan tubuhnya. Matanya menatap lurus pada dokumen perceraian di atas meja. Ia menandatangani tanpa gemetar, meski dalam hatinya ada sesuatu yang remuk.
Lihat lebih banyakPerpisahan dan Luka
Hujan turun deras malam itu, membasahi kaca jendela ruang sidang yang sudah kosong. Hanya tinggal dua sosok yang berdiri saling membelakangi. Arga Pratama, pria berusia tiga puluh dua tahun dengan jas hitam yang masih rapi meski wajahnya letih, menegakkan tubuhnya. Matanya menatap lurus pada dokumen perceraian di atas meja. Ia menandatangani tanpa gemetar, meski dalam hatinya ada sesuatu yang remuk. Di sisi lain, Alena Putri, wanita berusia dua puluh delapan tahun dengan gaun putih sederhana, menyeka air mata yang hampir jatuh. Bibirnya bergetar, tapi ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di hadapan pria itu. “Sudah selesai?” tanya Alena dengan suara dingin. Arga menutup map dokumen, menghela napas panjang. “Ya. Mulai hari ini, kita bukan lagi suami-istri.” Kalimat itu menusuk jantung Alena seperti belati. Lima tahun pernikahan mereka runtuh hanya dalam beberapa tanda tangan. Bukan karena mereka tidak pernah mencintai, tapi karena cinta yang dulu hangat, sudah digantikan oleh pengkhianatan. “Aku berharap kamu bahagia dengan pilihanmu, Arga,” ucap Alena, menoleh dengan tatapan penuh luka namun juga ketegasan. “Tapi jangan pernah berpikir aku akan melupakan ini.” Arga menatapnya sekilas. Mata cokelatnya yang dulu begitu hangat kini dingin seperti es. “Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Alena. Tapi hubungan kita sudah tidak bisa diselamatkan.” Alena tersenyum getir. “Tidak bisa diselamatkan? Atau memang kamu tidak mau menyelamatkannya? Karena sudah ada dia—Nadine Kusuma.” Nama itu keluar dengan penuh kebencian. Nadine, model terkenal yang kini menjadi kekasih Arga, adalah alasan terbesar mengapa rumah tangga itu hancur. Arga terdiam. Ia tidak menyangkal, dan itu lebih menyakitkan daripada seribu kata. --- Beberapa hari kemudian… Alena duduk di kafe kecil bersama sahabatnya, Kirana Ayu. Wanita berambut sebahu itu menatap Alena dengan penuh simpati. “Kamu kelihatan kuat, tapi aku tahu kamu hancur di dalam, Len,” kata Kirana pelan. Alena menyesap kopinya, lalu tersenyum tipis. “Aku memang hancur. Tapi aku tidak akan selamanya begini. Kalau Arga pikir aku akan terpuruk selamanya, dia salah besar. Aku akan bangkit. Dan aku akan balas dendam.” Kirana mengangkat alis. “Balas dendam? Kamu serius?” “Tentu saja. Dia merampas lima tahun hidupku, mencampakkanku demi wanita lain. Aku tidak akan membiarkan dia bahagia begitu saja.” Kirana diam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau itu yang kamu mau, aku di pihakmu. Tapi kamu harus punya rencana matang.” Alena tersenyum, kali ini dengan sorot mata berbeda. “Rencana sudah mulai terbentuk di kepalaku.” --- Sementara itu, di sisi lain kota, Arga duduk di ruang kantornya yang megah. Gedung tinggi miliknya, Pratama Group, baru saja menandatangani kontrak besar. Namun wajahnya tetap muram. Sahabatnya, Revan Wiratama, masuk dengan senyum tipis. “Aku dengar perceraianmu sudah resmi. Bagaimana rasanya?” Arga hanya menghela napas. “Lega sekaligus kosong. Entahlah, Van.” Revan duduk di kursi seberang. Ia memandang Arga dengan penuh perhitungan. Di dalam hatinya, ada rahasia besar yang tak pernah ia ungkap: cintanya pada Alena. Sejak dulu, sejak sebelum Alena menikah dengan Arga, Revan sudah mencintainya. Tapi ia terlambat, dan hanya bisa menyimpan perasaan itu. “Kadang perpisahan memang jalan terbaik,” ucap Revan, meski di hatinya ia merasa senang Alena kini bebas. Arga memandang ke luar jendela. “Aku hanya berharap dia bisa melanjutkan hidupnya.” --- Namun harapan Arga jauh dari kenyataan. Malam itu, di apartemennya, Alena menerima kunjungan dari seorang pria. Raka Pramudya, pengacara muda yang dikenal cerdas dan dingin, meletakkan beberapa berkas di meja. “Semua dokumen sudah selesai. Kamu bebas dari ikatan hukum dengan Arga.” Alena menatap pria itu. “Terima kasih, Raka. Tapi tugasku padamu belum selesai. Aku ingin kamu tetap di sisiku. Aku butuh orang sepertimu untuk… sesuatu yang lebih besar.” Raka menaikkan alis. “Sesuatu yang lebih besar? Balas dendam, maksudmu?” Alena tersenyum samar. “Ya. Balas dendam. Aku ingin dia kehilangan segalanya, seperti aku kehilangan hidupku.” Raka menatap wanita itu lama, lalu akhirnya mengangguk. “Kalau itu keputusanmu, aku akan bantu. Tapi ingat, balas dendam sering kali mengorbankan lebih banyak daripada yang kamu kira.” Alena menegakkan bahu. “Aku sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa hilang.” --- Hari demi hari, benih dendam itu semakin tumbuh. Alena mulai menghubungi orang-orang yang bisa menjadi bagian dari rencananya. Salah satunya adalah Bima Satya, rival bisnis lama Arga. Pertemuan mereka berlangsung di sebuah restoran mewah. Bima, pria berusia hampir empat puluh tahun dengan wajah penuh karisma namun licik, menyambut Alena dengan senyum. “Aku dengar kamu sudah resmi berpisah dengan Arga,” kata Bima sambil menuangkan anggur. “Dan sekarang kamu menemuiku. Apa yang bisa aku bantu?” Alena menatap pria itu dengan penuh keyakinan. “Aku ingin menjatuhkan Arga. Dan aku tahu, kamu punya alasan yang sama.” Bima tertawa kecil. “Kamu wanita yang berani. Aku suka. Baiklah, kita bisa bicara kerja sama.” Malam itu, sebuah aliansi terbentuk. Alena dan Bima, dua orang dengan luka dan ambisi, menyatukan kekuatan untuk menghancurkan Arga. --- Di sisi lain, Nadine Kusuma, kekasih baru Arga, menikmati sorotan kamera di sebuah acara peragaan busana. Senyumnya manis, tubuhnya anggun, dan semua orang berdecak kagum. Tapi di balik itu, Nadine sadar, statusnya sebagai kekasih Arga membuat banyak pihak memandang sinis. Saat ia kembali ke belakang panggung, Tania Wibowo, adik Arga yang masih berusia dua puluh tiga tahun, menyapanya dengan canggung. “Kak Nadine… aku harap kakak bisa benar-benar membahagiakan Mas Arga.” Nadine tersenyum. “Tentu saja, Tania. Kamu tenang saja.” Namun jauh di dalam hatinya, Nadine merasa ada bayangan hitam yang terus mengintai kebahagiaannya bersama Arga. Bayangan itu bernama Alena Putri. --- Hujan kembali turun malam itu. Alena berdiri di balkon apartemennya, menatap kilatan petir di langit. Dalam genggaman tangannya ada foto pernikahannya bersama Arga—foto yang ia sobek perlahan. “Arga…” bisiknya. “Kamu pikir aku akan pergi dengan tenang? Tidak. Aku akan kembali. Dan ketika aku kembali, kamu akan menyesal pernah mencampakkan aku.” Tatapannya penuh api. Luka yang dulu membuatnya terpuruk, kini menjadi bahan bakar dendam yang akan mengubah segalanya.Warisan Dendam Fajar yang pucat menyapu jendela apartemen Maya. Namun udara di dalam ruangan jauh dari damai. Aroma melati yang sempat menghilang kini kembali, lebih tajam, menyesakkan dada. Maya memandangi laptop yang masih menyala sejak malam—halaman terakhir naskahnya menampilkan satu kalimat yang ia ingat jelas: “Kisah dendam ini belum usai Ia menutup laptop dengan gemetar. “Alena… apa yang kau inginkan dariku?” Pertanda Awal Ketika Maya masuk kantor pagi itu, rekan-rekannya menatap heran. “Kau terlihat pucat,” ujar Rina, sahabatnya. Maya hanya tersenyum hambar. “Kurang tidur.” Namun begitu ia duduk, komputer kantornya langsung menyala sendiri. Di layar, folder dokumen pribadinya terbuka, meski ia yakin sudah terkunci. Sebuah file baru muncul: warisan.docx. Tangan Maya bergetar saat membukanya. Di dalamnya hanya ada satu kalimat: “Maya, dengarkan bisikan malammu. Aku di sisimu.” Ia buru-buru menutupnya, napas tersengal. Kapten Surya Kembali Sore hari, Kapten
Bayangan yang Tersisa Hujan deras membasahi kota Jakarta malam itu. Sirine ambulan yang membawa jasad Arga, Nadine, dan Tania telah lama padam, meninggalkan jejak lampu merah-biru yang memantul di jalanan basah. Rumah besar keluarga Pratama kini kosong, hanya menyisakan dinding yang penuh retakan dan aroma melati yang samar—aroma yang tak akan pernah hilang. Maya duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kosong layar ponsel. Di sebelahnya, Kapten Surya menulis laporan terakhir mengenai tragedi yang menimpa keluarga Pratama. Meski kasus dinyatakan “selesai”, Maya tahu semuanya jauh dari kata berakhir. “Bagaimana bisa kita menutupnya begitu saja?” Maya memecah keheningan. “Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk semua kematian itu.” Surya mendesah. “Secara resmi, kita sebut saja gangguan mental kolektif. Media suka istilah itu.” Maya memalingkan wajah. “Kau tidak percaya itu.” Kapten Surya menatapnya lama. “Tidak. Aku juga melihatnya, May. Bayangan itu. Wanita dengan gaun
Warisan Dendam Hujan rintik kembali turun ketika Maya dan Kapten Surya tiba di pemakaman tua di pinggiran kota. Udara malam terasa lebih pekat dari biasanya; bau tanah basah bercampur aroma melati yang menusuk. Lentera kecil di pintu gerbang berayun pelan tertiup angin, seolah memberi peringatan agar mereka tidak melangkah lebih jauh. Surya menyalakan senter. “Kita benar-benar akan menggali makam orang mati tengah malam? Ini melanggar banyak aturan, Maya.” “Dia tidak mati seperti yang kita kira,” balas Maya mantap. “Kalau jasadnya ada, aku akan tenang. Kalau tidak… kita tahu dendamnya masih berkeliaran.” Mereka berjalan menyusuri lorong sempit di antara nisan yang ditumbuhi lumut. Kilatan petir sesekali menyingkap bayangan pohon beringin besar yang meliuk seperti makhluk raksasa. Di depan mereka akhirnya berdiri sebuah nisan putih dengan ukiran nama: ALENA PRATAMA. Maya menatap batu nisan itu lama. Udara di sekeliling mendadak lebih dingin. “Inilah saatnya,” ucapnya lirih.
# Bab 8 – Warisan Dendam Hujan deras mengguyur kota seolah tak rela berhenti. Di sebuah kafe kecil, Maya duduk menatap jendela berembun sambil memutar rekaman wawancara lama Alena berulang-ulang. Kata-kata “Dendamku adalah warisan” terus menggaung di telinganya. Di depan meja, Kapten Surya menatapnya penuh rasa tak percaya. “Kau tampak seperti orang yang menemukan rahasia besar negara,” gumamnya. “Apa Bapak tidak merasa aneh? Setiap orang yang dekat dengan Arga mati dengan cara tragis. Revan di makam Alena, Nadine nyaris melompat, Arga sendiri…” Maya berhenti sejenak, menggenggam cangkir panas erat-erat. “Dan sekarang ada pesan yang muncul di kamarku. Ini bukan kebetulan.” Surya menyandarkan punggung. “Saya polisi, Maya. Saya percaya bukti, bukan… hantu.” “Kalau begitu mari kita cari bukti. Bantu saya membuka kembali kasus kematian Alena. Saya curiga kematiannya dulu… tidak wajar.” --- Malamnya mereka berdua mendatangi rumah sakit tempat Alena dahulu dinyatakan meninggal.
---# Bab 8 – Warisan Dendam*(Bagian 1 dari 3, ±2000 kata)*Hujan turun tanpa henti di malam itu, sama seperti malam ketika Arga Pratama mengakhiri hidupnya. Rumah megah keluarga Pratama kini dipenuhi garis polisi. Lampu merah biru berputar, menyinari dinding yang masih berlumuran darah.Tubuh Arga telah dibawa ke kamar mayat. Namun keheningan rumah itu masih terasa mencekam. Beberapa polisi yang berjaga mengaku mendengar suara tangisan wanita di dalam, padahal ruangan kosong.“Kapten, apakah kita yakin ini hanya kasus bunuh diri?” tanya seorang polisi muda, wajahnya pucat.Kapten Surya, pria paruh baya dengan tatapan tajam, menyalakan rokoknya. “Luka di dadanya jelas bekas tusukan sendiri. Tidak ada tanda perlawanan. Semua mengarah ke bunuh diri.”“Tapi…” polisi muda menelan ludah, “…saya melihat sesuatu di cermin ruang tamu. Ada… wajah wanita.”Kapten Surya menoleh cepat. “Wanita? Siapa?”“Cantik… tapi menyeramkan. Separuh wajahnya rusak terbakar. Dia tersenyum pada saya.”Surya te
Langit malam kembali gelap pekat, seolah tidak ada lagi cahaya yang sanggup menembus awan hitam. Hujan deras mengguyur tanpa belas kasihan, seperti tirai air yang menutup seluruh kota. Petir sesekali menyambar, memantulkan bayangan rumah besar keluarga Pratama yang kini lebih mirip rumah kematian.Di ruang kerjanya, Arga Pratama duduk dengan wajah pucat. Matanya merah, penuh garis lelah. Tangannya gemetar saat menatap USB hitam di meja, benda yang berisi rekaman suara dan wajah Alena. Sesuatu yang seharusnya tidak lagi memiliki kekuatan apa pun, kini mengendalikan seluruh hidupnya.Ia ingin membuangnya. Tapi setiap kali mencoba, ada bisikan di telinganya. Bisikan itu lembut namun menusuk, membuat jantungnya berhenti sejenak.*“Jangan coba-coba, Arga. Aku masih di sini.”*Arga memejamkan mata, menggeleng keras, mencoba menepis suara itu. Tapi bulu kuduknya tetap berdiri, keringat dingin bercucuran.---Di kamar lain, Nadine Kusuma duduk di pojok ranjang, memeluk kakinya sendiri. Tubuhn
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen