Share

Tawaran Kerja

Author: Ans
last update Last Updated: 2023-02-10 21:19:21

“Aduh… Maaf deh… Siapa donk….”

“Aku Marisa!”

“Marisa! Apa kabar? Lama sekali tidak bertemu!”

“Iya, habis kamu sih bertapa melulu!” ujar Marisa.

Aku tersenyum mendengar perkataan Marisa. Senyum sinis untuk meledek diriku sendiri. Semua teman-temanku tahu, bahwa sejak aku menikah, aku bagai ditelan bumi. Hanya sibuk mengurus anak dan suami. Jika sesekali keluar rumah atau berlibur, pasti bersama Mas Fattan dan Anaya. Tidak pernah terselip dalam agenda untuk bertemu dengan teman-temanku.

Mas Fattan tidak suka jika aku terlalu banyak kegiatan di luar rumah. Sebagai istri aku tidak pernah membantah kata-kata suamiku. Walau aku adalah alumni S2 salah satu universitas terkemuka di Madinah, namun ketika aku menikah, semua itu aku tanggalkan begitu saja.

Suara Marisa di telepon terdengar penuh semangat saat dia menyampaikan maksudnya menghubungiku.

“Adina, aku ingin menawarkanmu sesuatu. Sekarang aku bekerja di sekolah International milik seorang warga negara Turki.”

“Wah, keren betul!”

“Iya, sayangnya aku belum menikah juga. Ah, andai saja aku bisa mendapat suami seganteng dan sekaya suamimu. Hah, sudahlah!” celoteh Marissa masih saja serenyah dulu.

Hatiku merasa kecut dengan penyataan dari Marisa. Ya, betul bagi orang lain aku adalah wanita yang sangat beruntung. Itu pula yang kurasakan setidaknya sampai tadi pagi sebelum aku memergoki Mas Fattan dan Kalila bersama di dalam kamar hotel.

Mas Fattan memiliki perusahaan kecil saat menikah denganku. Namun, saat kami menikah dan Abi mulai sakit-sakitan, dialah yang mengelola perusahaan keluargaku. Setelah Abi meninggal, semua harta miliknya diwariskan padaku. Kak Zahra menolak untuk mengambil perusahaan Abi dan hanya meminta beberapa aset berbentuk rumah. Selain dia tidak tahu cara mengelola perusahaan, suaminya juga sudah kaya dan sibuk dengan perusahaannya sendiri.

Perusahaanku berkembang pesat didalam pengelolaan Mas Fattan. Aku yang tidak tahu menahu tentang bisnis, merasa bangga dengan pencapaian suamiku. Pencapaian dan prestasinya artinya adalah pencapaian dan prestasiku. Sebuah kebanggan bagiku sebagai istri. Senaif itulah cara berpikirku saat itu.

“Aku ingin kau menjadi istri sekaligus ratu di rumah ini yang selalu ada untukku,” begitu ujar Mas Fattan dulu. Ucapan yang sekarang terasa sangat klise saat kuingat kembali.

“Bahagiaku adalah kau dan anak-anak kita, Mas.” Begitulah dulu aku menjawab permintaan Mas Fattan dengan penuh keyakinan.

Saat aku menjadi wanita yang mengabdi pada suami, ternyata di luar sana suamiku justru sibuk bersenang-senang. Fakta yang mengejutkan dan menyakitkan. Ternyata Mas Fattan sudah satu tahun menjalin hubungan dengan Kalila. Itu hanyalah data dari hotel Erina. Entah hotel lain yang ada di luar sana. Bukankah mereka sering berada di penerbangan yang sama saat keluar negeri?

 “Bisa aja kamu, jadi apa tawaranmu untukku?” Aku mengalihkan perih hatiku dan kembali berbincang dengan Marissa.

“Oh, iya! Kembali pada tawaranku. Sekolah ini sedang merekrut seorang staff yang bisa berbahasa arab, inggris dan Indonesia sekaligus. Staff itu nantinya akan membimbing murid-murid yang akan sekolah ke Turki atau sebaliknya, mahasiswa Turki yang akan memperlajari budaya di Indonesia. Semacam pertukaran pelajar. Bagaimana? Apa kau tertarik? Gajinya lumayan lho dan kau bisa bepergian ke Turki secara gratis setiap kali.”

Marisa menawarkan dengan penuh antusias.

Saat ini aku sedang menghadapi masalah lain yang lebih besar. Aku tidak yakin untuk mengambil keputusan sebesar itu sekarang.

Selama ini aku tidak pernah berada di dunia kerja. Perusahaan warisan orang tuaku yang dikelola Mas Fattan pun aku tidak tahu persis berapa keuntungan dan managementnya. Aku percaya pada suamiku. Sikapnya yang baik membuatku yakin bahwa dia selalu melakukan yang terbaik untuk aku dan anakku.

Secara mental, aku belum siap menerima tawaran Marissa.

“Risa, aku sedang dalam keadaan yang sangat pelik.’

‘Hey! Kenapa suaramu terdengar begitu sedih?”

“Aku belum bisa menceritakan padamu. Tapi, terima kasih ya sudah memberikan tawaran itu. Akan kupikirkan lagi nanti.”

“Kamu perlu bantuan? Kita sudah berteman begitu lama, baru kali ini aku mendengar suaramu begitu sedih.”

“Aku akan menghubungimu lagi nanti. Maaf ya, Ris.”

“It’s ok. Jaga dirimu baik-baik, ya.”

Kuhela nafas panjang. Kepalaku penuh dengan serabut masalah yang tidak bisa kuurai satu per satu. Besok kami akan bertemu dengan Kak Zahra, Mas Hisyam dan tentu saja Kalila. Entah jalan keluar seperti apa yang bisa kami temukan.

Seadainya aku memaafkan Mas Fattan, Kalila akan tetap berada di sekitar kami. Dia adalah keponakanku. Tidak mungkin kami tidak bertemu dan memutuskan tali silaturahmi begitu saja. Jika aku memutuskan untuk berpisah darinya, lalu bagaimana dengan Anaya. Bagaimana aku bisa menghidupi diriku dan putri semata wayangku itu.

Selama ini kami terbiasa hidup mewah di bawah naungan Mas Fattan. Membayangkan hidup sendiri dan berjuang tanpa suami, terlalu menakutkan bagiku. Dengan sejuta pemikiran di dalam kepala, aku memasuki kamar Anaya.

Putriku itu rupanya sudah tertidur pulas. Mbak Pia duduk di sebelah ranjang sambil mengusap-usap tangannya. Sebaris ngilu mengisi hatiku, Anaya sungguh tidak layak menjadi korban atas semua masalah yang terjadi.

Aku mendekat ke ranjang Anaya, mengusap rambutnya yang ikal. Dia memang mewarisi bentuk fisik Mas Fattan. Seolah dia adalah bentuk lain Mas Fattan dalam versi wanita. Cantik, berkulit putih, hidung yang mandung, lucu dan menggemaskan.

“Malam ini saya akan tidur di kamar Anaya. Kamu boleh pergi.”

“Oh, iya, Bu,” jawab Mbak Pia.

Beberapa saat Mbak Pia tetap berdiri mematung di tepi ranjang Anaya. Dia melihat ke arahku dengan pandangan mata penuh rasa simpati. Aku memaksakan senyum terbit di wajahku.

“Kenapa, Mbak?”

“Apa Ibu baik-baik saja? Mau saya bawakan makanan atau minuman?”

“Saya baik-baik saja, kamu istirahat saja, ya.”

Sekilas pengasuh Anaya itu tampak mengerutkan kening. Mungkin dia heran melihat keadaanku yang kacau. Mbak Pia pasti bingung, aku yang biasa selalu cantik dan rapi, tiba-tiba muncul tanpa make up. Sekedar menggunakan baju daster dan mata sembab akibat menangis. Alih-alih meneruskan pertanyaam, Mbak Pia akhirnya keluar dari kamar Anaya.

Pagi hari setelah mengantar Anaya ke sekolah, aku dan Mas Fattan menuju ke rumah Kak Zahra. Tidak ada yang tahu badai yang sedang kami hadapi. Semua pekerjaku di rumah, tetangga dan orang tua teman-teman Anaya di sekolah melihat kami sebagai keluarga yang sangat bahagia. Semua terlihat begitu sempurna.

Aku dan Mas Fattan berada di dalam satu mobil yang sama. Mas Fattan sama sekali tidak bertanya ke mana mobilku. Setelah Anaya turun dan masuk ke sekolah, ketegangan dan kegelisahan mulai terasa.

“Jangan mempermalukan dirimu. Sebaiknya kamu bicara baik-baik saat bertemu dengan Kalila nanti.” Mas Fattan memulai pembicaraan.

Ans

Aaaarrrghhhh! Sumpah, sebel banget sama Fattan.

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Memilih Bersamamu

    “Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Kematian Vivian

    “Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Di Tempat Yang Seharusnya

    “Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Tidak Akan Pernah Kembali

    “Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Sejuta Pertanyaan

    “Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Keputusan Baru

    “Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status