Share

Kejanggalan Fattan

Penulis: Ans
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-10 21:27:28

“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?”

“Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.”

Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku.

“Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan.

Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil terus fokus mengendarai mobil kami. Sepanjang jalan, aku dan Mas Fattan hanya diam.

Aku kecewa dengan sikap suamiku. Biasanya saat aku sedang marah atau merajuk, dia akan membujukku dengan berbagai kata-kata lembut atau membuatku tertawa dengan berbagai gurauan. Kali ini dia terlihat sangat berbeda.

“Jujur saja, Mas Apakah kau sudah merencanakan sesuatu dengan Kalila?”

“Apa maksudmu?”

“Mungkin kau sudah menjanjikan sesuatu padanya, atau kalian sudah menyepakati sesuatu!”

“Kalau pun iya itu bukan urusanmu!”

“Apa?! Jawaban macam apa ini Suamiku bukan urusanku? Apakah pernikahan kita memang tidak ada artinya lagi bagimu?

“Kau terlalu banyak bicara Adina. Kejadian ini seharusnya membuatmu berpikir!”

Gemuruh di hatiku kian kencang. Aku tidak sempat menjawab karena kami telah sampai di halaman rumah Kak Zahra, dadaku terasa semakin panas. Aku berharap punya cukup ketegaran untuk melihat Kalila. Rasa sayangku pada Kalila telah hilang entah kemana. Sekarang ini yang bisa kuingat tentang Kalila hanyalah perempuan yang menabur luka dalam pernikahanku.

Mas Fattan tampak tenang melangkah menuju pintu. Dia mengabaikan aku begitu saja, seolah aku tidak di sana dan datang bersamanya. Bahkan tanpa mengetuk, Mas Fattan meraih gagang pintu dan langsung membukanya.

Pemandangan yang tampak begitu janggal bagiku. Kami memang sering datang ke rumah ini, tapi tetap saja kami datang sebagai tamu. Apa yang Mas Fattan lakukan, seolah tempat ini adalah rumahnya sendiri.

“Akhirnya kalian datang. Duduklah!” Kak Zahra menyambut kami dengan sapaan dan wajah dingin. Di sampingnya duduk Bang Hasyim dengan wajah yang tidak kalah kakunya. Sebelum duduk, aku menyapukan pandangan ke sekitar, berharap menemukan sosok gadis yang paling kubenci saat ini.

“Fattan, apa yang kamu lakukan dengan Kalila tentu saja salah, itu jelas. Tapi, itu adalah kesalahan dan selalu ada jalan untuk dimaafkan. Bukan begitu, Adina?” tanya Mas Hasyim.

“Sakit hatiku terlalu dalam, Bang. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Mas Fattan. Terlebih lagi, apakah aku masih akan baik-baik saja bertemu dengan Kalila.”

“Apa maksudmu? Kau ingin memutuskan silaturahim dengan tidak bertemu Kalila lagi? Kau lupa bahwa Kalila adalah putriku. Tidak bertemu dengannya artinya tidak bertemu dengan kami.” Kak Zahra menanggapi kata-kataku dengan penuh emosi.

“Jika menjaga jarak bisa menyelamatkan pernikahanku, maka itu memang perlu untuk dilakukan, Kak.”

“Semua tentu terserah Fattan. Jika kau setuju dengan pendapat Adina, menjauhi Kalila dan menjaga jarak dengan keluarga kami, maka tidak masalah untuk kami.”

Aku melihat Mas Fattan, berharap dia mengatakan sesuatu yang melegakan hatiku. Baru saja Mas Fattan hendak membuka mulut, tiba-tiba dari tangga rumah yang beralas karpet bludru biru itu terdengar suara Kalila.

“Tidak, Mas Fattan tidak boleh melakukan itu!”

Mas?! Jadi Kalila memanggil Mas Fattan dengan sebutan Mas? Orang yang seharusnya dipanggil oleh Kalila dengan sebutan Om. Aku adalah adik kandung dari ibu kandung Kalila, Mas Fattan adalah suamiku. Selayaknya dia memanggil suamiku dengan sebutan Om seperti yang selama ini kami dengar.

Kalila menuruni tangga sambil menatap kami semua. Tidak ada penyesalan atau ketakutan di wajahnya. Dia justru terlihat menantangku. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia telah menganggapku sebagai musuh.

“Mas Fattan tidak boleh meninggalkan aku!” ujarnya dengan nada setengah berteriak.

“Kalila! Kau tidak tahu malu! Seharusnya kau menyadari kesalahanmu!” Aku berteriak kencang dan berdiri dari dudukku.

“Aku hamil, Tante. Ini anak Mas Fattan, dia harus bertanggung jawab,” ucap Kalila.

“Sayang, kau akan menjadi seorang ibu,” ujar Kak Zahra dengan wajah tersenyum bahagia.

“Ayah tidak menyangka akan menjadi kakek secepat ini. Selamat, Kalila!” Bang Hisyam pun memeluk putrinya.

Aku berharap Kakakku dan suaminya memberi reaksi terkejut dan sedih atas berita yang Kalila sampaikan. Di luar dugaan, Kak Zahra dan Bang Hisyam justru mendekati Kalila dan memeluknya.

Bagai tersambar petir di siang hari. Kepalaku mendadak pening. Aku terduduk lemas di kursiku. Kalila mengatakan kabar ini seolah adalah kabar bahagia. Dia merasa telah menemukan senjata terbaik untuk mengalahkanku. Dia benar-benar menginginkan suamiku. Keponakanku menginginkan suamiku dan bukan sekedar bersenang-senang seperti yang aku pikirkan.

Aku yang semula lesu mendadak mendongakkan kepala tidak percaya. Orang tua macam apa mereka, bukankah seharusnya kehadiran bayi itu menjadi aib keluarga? Mereka justru menyambut kehamilan Kalila dengan bahagia.

“Kau hamil?” tanya Mas Fattan penuh antusias sambil berjalan mendekati Kalila.

“Anak kita, Mas,” jawab Kalila manja sambil mengusap perutnya. Senyum bahagia yang seolah mereka sedang menyambut masa depan dua orang yang kasmaran.

“Kenapa tidak mengatakan padaku sejak kemarin? Seharusnya kau lebih menjaga kesehatan.”

“Tadinya aku mau memberimu kejutan saat pertemuan hari ini. Sebelum sesuatu datang dan mengacaukan kita berdua.” Kalila mengatakan dengan nada sinis sambil melirik tajam ke arahku.

Seperti ada kekuatan yang muncul dari dalam diriku, amarah dan kecewa itu sekarang menjadi sebuah kekuatan besar untuk melindungi diriku sendiri. Aku seperti seekor rusa yang terperangkap di sarang harimau. Tidak ada yang akan menyelamatkanku selain diriku sendiri.

“Kak Zahra, Bang Hasyim, bagaimana bisa kalian merayakan kehamilan Kalila? Itu hasil perbuatan kotornya dengan suamiku!”

Lalu aku menoleh pada Mas Fattan. Mataku nyaris terbakar karena rasa panas melihat adegan mesra mereka tanpa menghiraukan perasaanku.

“Setega itu kau padaku dan Anaya, Mas? Apakah sebagai istri sahmu, aku tidak berhak lagi atas dirimu?”

Bang Hisyam melepaskan pelukannya pada Kalila. Dia lalu mendekati Mas Fattan dan menyentuh punggung. Seolah sedang melakukan sebuah perbuatan yang bijaksana, kata-kata Bang Hisyam berikutnya membuat keterkejutanku semakin menjadi.

“Sekarang semua terserah Fattan. Apa pun yang dia putuskan, kami akan tetap memberi kesempatan Kalila untuk melahirkan bayi itu.”

Ans

Semakin gemes.....

| 2
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
jedotin tembok kepala fattan ,hisyam dan istrinya serta kalila ,karma ancur datangi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Memilih Bersamamu

    “Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Kematian Vivian

    “Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Di Tempat Yang Seharusnya

    “Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Tidak Akan Pernah Kembali

    “Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Sejuta Pertanyaan

    “Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa

  • Kubuat Mantan Suamiku Menyesal   Keputusan Baru

    “Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status