Share

Kejanggalan Fattan

“Siapa yang harusnya malu, Mas? Sebagai istri yang telah dikhianati, apakah aku tidak berhak marah?”

“Kalila itu hanya anak-anak, Adina. Dia mungkin melakukan kesalahan menurutmu. Tapi, menurut Kalila itu mungkin hal yang biasa.”

Aku menoleh dan memandang wajah Mas Fattan. Bukan, bukan karena aku mencintainya. Aku hanya sedang berusaha menemukan ekspresi bercanda atau salah bicara. Keduanya sama sekali tidak kutemukan di wajah suamiku.

“Anak-anak katamu? Perempuan yang sudah mengerti hubungan suami istri. Tahu caranya memancing dan memuaskan hasrat seorang pria, bukan anak-anak lagi. Dia adalah wanita dewasa. Mungkin Kalila sudah biasa tidur dengan berbagai pria karena pemikiran modern yang dia banggakan itu, tapi kenapa harus kamu Mas? Kenapa harus suamiku? Suami dari adik kandung ibunya sendiri?” rentetan pertanyaan yang merupakan ungkapan kekesalan.

Mendengar nada bicaraku yang mulai meninggi, Mas Fattan memutuskan untuk diam. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil terus fokus mengendarai mobil kami. Sepanjang jalan, aku dan Mas Fattan hanya diam.

Aku kecewa dengan sikap suamiku. Biasanya saat aku sedang marah atau merajuk, dia akan membujukku dengan berbagai kata-kata lembut atau membuatku tertawa dengan berbagai gurauan. Kali ini dia terlihat sangat berbeda.

“Jujur saja, Mas Apakah kau sudah merencanakan sesuatu dengan Kalila?”

“Apa maksudmu?”

“Mungkin kau sudah menjanjikan sesuatu padanya, atau kalian sudah menyepakati sesuatu!”

“Kalau pun iya itu bukan urusanmu!”

“Apa?! Jawaban macam apa ini Suamiku bukan urusanku? Apakah pernikahan kita memang tidak ada artinya lagi bagimu?

“Kau terlalu banyak bicara Adina. Kejadian ini seharusnya membuatmu berpikir!”

Gemuruh di hatiku kian kencang. Aku tidak sempat menjawab karena kami telah sampai di halaman rumah Kak Zahra, dadaku terasa semakin panas. Aku berharap punya cukup ketegaran untuk melihat Kalila. Rasa sayangku pada Kalila telah hilang entah kemana. Sekarang ini yang bisa kuingat tentang Kalila hanyalah perempuan yang menabur luka dalam pernikahanku.

Mas Fattan tampak tenang melangkah menuju pintu. Dia mengabaikan aku begitu saja, seolah aku tidak di sana dan datang bersamanya. Bahkan tanpa mengetuk, Mas Fattan meraih gagang pintu dan langsung membukanya.

Pemandangan yang tampak begitu janggal bagiku. Kami memang sering datang ke rumah ini, tapi tetap saja kami datang sebagai tamu. Apa yang Mas Fattan lakukan, seolah tempat ini adalah rumahnya sendiri.

“Akhirnya kalian datang. Duduklah!” Kak Zahra menyambut kami dengan sapaan dan wajah dingin. Di sampingnya duduk Bang Hasyim dengan wajah yang tidak kalah kakunya. Sebelum duduk, aku menyapukan pandangan ke sekitar, berharap menemukan sosok gadis yang paling kubenci saat ini.

“Fattan, apa yang kamu lakukan dengan Kalila tentu saja salah, itu jelas. Tapi, itu adalah kesalahan dan selalu ada jalan untuk dimaafkan. Bukan begitu, Adina?” tanya Mas Hasyim.

“Sakit hatiku terlalu dalam, Bang. Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkan Mas Fattan. Terlebih lagi, apakah aku masih akan baik-baik saja bertemu dengan Kalila.”

“Apa maksudmu? Kau ingin memutuskan silaturahim dengan tidak bertemu Kalila lagi? Kau lupa bahwa Kalila adalah putriku. Tidak bertemu dengannya artinya tidak bertemu dengan kami.” Kak Zahra menanggapi kata-kataku dengan penuh emosi.

“Jika menjaga jarak bisa menyelamatkan pernikahanku, maka itu memang perlu untuk dilakukan, Kak.”

“Semua tentu terserah Fattan. Jika kau setuju dengan pendapat Adina, menjauhi Kalila dan menjaga jarak dengan keluarga kami, maka tidak masalah untuk kami.”

Aku melihat Mas Fattan, berharap dia mengatakan sesuatu yang melegakan hatiku. Baru saja Mas Fattan hendak membuka mulut, tiba-tiba dari tangga rumah yang beralas karpet bludru biru itu terdengar suara Kalila.

“Tidak, Mas Fattan tidak boleh melakukan itu!”

Mas?! Jadi Kalila memanggil Mas Fattan dengan sebutan Mas? Orang yang seharusnya dipanggil oleh Kalila dengan sebutan Om. Aku adalah adik kandung dari ibu kandung Kalila, Mas Fattan adalah suamiku. Selayaknya dia memanggil suamiku dengan sebutan Om seperti yang selama ini kami dengar.

Kalila menuruni tangga sambil menatap kami semua. Tidak ada penyesalan atau ketakutan di wajahnya. Dia justru terlihat menantangku. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia telah menganggapku sebagai musuh.

“Mas Fattan tidak boleh meninggalkan aku!” ujarnya dengan nada setengah berteriak.

“Kalila! Kau tidak tahu malu! Seharusnya kau menyadari kesalahanmu!” Aku berteriak kencang dan berdiri dari dudukku.

“Aku hamil, Tante. Ini anak Mas Fattan, dia harus bertanggung jawab,” ucap Kalila.

“Sayang, kau akan menjadi seorang ibu,” ujar Kak Zahra dengan wajah tersenyum bahagia.

“Ayah tidak menyangka akan menjadi kakek secepat ini. Selamat, Kalila!” Bang Hisyam pun memeluk putrinya.

Aku berharap Kakakku dan suaminya memberi reaksi terkejut dan sedih atas berita yang Kalila sampaikan. Di luar dugaan, Kak Zahra dan Bang Hisyam justru mendekati Kalila dan memeluknya.

Bagai tersambar petir di siang hari. Kepalaku mendadak pening. Aku terduduk lemas di kursiku. Kalila mengatakan kabar ini seolah adalah kabar bahagia. Dia merasa telah menemukan senjata terbaik untuk mengalahkanku. Dia benar-benar menginginkan suamiku. Keponakanku menginginkan suamiku dan bukan sekedar bersenang-senang seperti yang aku pikirkan.

Aku yang semula lesu mendadak mendongakkan kepala tidak percaya. Orang tua macam apa mereka, bukankah seharusnya kehadiran bayi itu menjadi aib keluarga? Mereka justru menyambut kehamilan Kalila dengan bahagia.

“Kau hamil?” tanya Mas Fattan penuh antusias sambil berjalan mendekati Kalila.

“Anak kita, Mas,” jawab Kalila manja sambil mengusap perutnya. Senyum bahagia yang seolah mereka sedang menyambut masa depan dua orang yang kasmaran.

“Kenapa tidak mengatakan padaku sejak kemarin? Seharusnya kau lebih menjaga kesehatan.”

“Tadinya aku mau memberimu kejutan saat pertemuan hari ini. Sebelum sesuatu datang dan mengacaukan kita berdua.” Kalila mengatakan dengan nada sinis sambil melirik tajam ke arahku.

Seperti ada kekuatan yang muncul dari dalam diriku, amarah dan kecewa itu sekarang menjadi sebuah kekuatan besar untuk melindungi diriku sendiri. Aku seperti seekor rusa yang terperangkap di sarang harimau. Tidak ada yang akan menyelamatkanku selain diriku sendiri.

“Kak Zahra, Bang Hasyim, bagaimana bisa kalian merayakan kehamilan Kalila? Itu hasil perbuatan kotornya dengan suamiku!”

Lalu aku menoleh pada Mas Fattan. Mataku nyaris terbakar karena rasa panas melihat adegan mesra mereka tanpa menghiraukan perasaanku.

“Setega itu kau padaku dan Anaya, Mas? Apakah sebagai istri sahmu, aku tidak berhak lagi atas dirimu?”

Bang Hisyam melepaskan pelukannya pada Kalila. Dia lalu mendekati Mas Fattan dan menyentuh punggung. Seolah sedang melakukan sebuah perbuatan yang bijaksana, kata-kata Bang Hisyam berikutnya membuat keterkejutanku semakin menjadi.

“Sekarang semua terserah Fattan. Apa pun yang dia putuskan, kami akan tetap memberi kesempatan Kalila untuk melahirkan bayi itu.”

Ans

Semakin gemes.....

| 1
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
jedotin tembok kepala fattan ,hisyam dan istrinya serta kalila ,karma ancur datangi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status