Adina telah menanggalkan semua ambisi dan pendidikannya untuk menjadi istri yang baik bagi Fattan. Enam tahun berlalu ketika dia menemukan Fattan mengkhianati pernikahan mereka dengan keponakannya sendiri, Kalila. Itu bukan perselingkuhan biasa, itu adalah sebuah konspirasi. Adina terbuang, tersingkirkan dan terluka. Pertemuan dengan Aslan menjadi sebuah pijakan kokoh bagi Adina untuk bangkit dan berdaya. Pria yang mengajarkan Adina bisnis, strategi, harga diri dan cinta. Adina bukan hanya berhasil membangun hidupnya tapi juga membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih menyakitkan!
Voir plus“Mas Fattan! Kalila! Dosa apa yang sedang kalian lakukan?”
Sosok berambut hitam ikal dengan hidung tinggi dan wajah khas Arab itu bangkit dari ranjang. Dia sangat terkejut dan terlalu terkejut hingga lupa bahwa tidak selembar benang pun tertambat di tubuhnya. Dalam keadaan telanjang, dia berusaha menghampiriku.
“Adina, apa… bagaimana… kenapa… kau ada di sini?”
“Berapa banyak lagi kata tanya yang ingin kau ucapkan? Kau bahkan belum menjawab pertanyaanku.”
Aku berharap mata ini sedang mengkhianatiku. Aku bahkan tidak mampu berkedip hanya untuk mempercayai bahwa yang kulihat itu nyata. Di sini! Di depan mataku!
Mungkin, Mas Fattan baru menyadari bahwa ada orang lain di belakangku. Hal itu seketika membuatnya teringat bahwa dirinya tidak berbusana. Dia bergegas menyambar selembar celana panjang yang berserak di lantai.
Sementara Mas Fattan sibuk membungkus auratnya sesosok wanita yang ada di atas ranjang yang sejak tadi mengamati kami tetap diam. Tidak ada rasa penyesalan atau takut di wajahnya. Aku berjalan cepat menghampiri wanita itu
Erina yang sejak tadi ada di belakangku, berinisiatif menyalakan lampu kamar dengan penerangan yang lebih benderang. Aku bisa melihat jelas wajah wanita itu. Walau sebelumnya dalam keremangan aku juga sudah bisa mengenali wanita itu.
Bagaimana tidak, bertahun-tahun saat dia kecil dulu, dia tumbuh dalam pengasuhanku. Saat itu aku masih tinggal bersama kakak kandungku. Dia sudah seperti putri pertama bagiku.
“Kalila! Teganya kau melakukan ini. Apakah sudah habis pria di dunia ini sehingga suamiku menjadi sasaranmu?” bentakku sambil menarik selimut tebal yang menutupi tubuh tanpa baju wanita itu.
Seharusnya Kalila merasa bersalah bukan? Seharusnya dia takut dan berusaha mencari alasan. Tapi, yang kulihat justru senyum tipis di wajahnya yang bersimbah peluh. Tampaknya mereka baru saja mencapai kenikmatan dunia ketika aku dan Erina tiba-tiba membuka pintu kamar hotel mereka.
“Aku tidak menculik suamimu kan, Tante. Kami melakukan atas keinginan bersama!” Kalila justru berteriak padaku.
“Dasar wanita jal*ang! Aku malu mengakui bahwa kau berasal dari darah keluargaku!” emosiku mulai tersulut.
Sejak mendapatkan informasi itu, sebenarnya aku sudah berusaha tenang. Kutegarkan hati dan melangkah menuju tempat ini. Aku ingin menghadapi kedustaan suamiku dengan cara yang elegan. Tapi, jawaban Kalila yang tanpa rasa bersalah, tak ayal membuat darahku sampai ke ujung kepala
Mataku terasa panas, entah karena darah yang mendidih, air mata, kemarahan atau kesedihan. Semua perasaan seolah berkecamuk dalam diriku. Aku sendiri bahkan tidak tahu mana yang harus lebih dulu kuekspresikan.
Jawaban pedas Kalila sepertinya menjadi alasan untukku menuangkan perasaan. Aku mendekati Kalila yang sedang sibuk mencari bajunya yang terhampar di lantai. Baju mereka yang bertebaran di segala arah, seolah memperlihatkan betapa liarnya permainan yang baru saja mereka lakukan.
“Kalila! Rendah sekali moralmu! Orang tuamu akan sangat kecewa jika mereka tahu!”
Seperti ada dorongan iblis dalam diriku. Aku yang biasanya tenang dan sopan, begitu saja menarik rambut hitam panjang Kalila. Gadis itu berteriak kesakitan. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkeramanku. Air mata mulai bergulir di sudut mata Kalila.
Tentu saja itu bukan air mata penyesalan. Itu hanyalah air mata kesakitan karena tampaknya beberapa rambut Kalila tercabut dari kulit kepalanya. Aku menarik rambut itu tanpa belas kasihan. Kalian yang belum berbusana terpaksa merunduk hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai demi mengimbangi gerakanku agar dia tidak semakin merasa kesakitan.
"Tante! Lepaskan! Tolong, Om!"
Mas Fattan tampak terkejut aku bisa sebrutal itu. Dia bergegas mendekat dan meraih pergelangan tanganku yang mencengkeram rambut Kalila.
“Adina! Lepaskan! Kau menyakiti Kalila. Lepaskan, Adina!”
Sekuatnya aku, kekuatan Mas Fattan tentu lebih besar. Dia berhasil menghentakkan tanganku dan aku terpaksa melepaskan rambut Adina dari cengkeramanku. Mas Fattan juga mendorongku sebelum dia berjongkok untuk menolong Kalila.
Beruntung Erina telah bersiaga di sana. Dia menangkap tubuhku sehingga aku tidak sampai terjerembab ke sofa besar yang ada di belakangku.
“Mas, kau justru membela Kalila? Sakit katamu? Sakit yang aku rasakan jauh lebih sakit dari apa yang kulakukan pada Kalila. Di mana perasaanmu, Mas? Aku ini istrimu!” Suaraku terdengar bergetar.
Aku berusaha untuk tidak menangis. Setiap kali butiran bening itu hendak keluar dari mataku yang lebar dan berwarna coklat, aku segera mengusapnya. Hatiku memang sakit dan terluka parah. Jika saja hati ini adalah benda yang bisa dilihat dengan mata, mungkin aliran darah akan menjadi warna karena deritanya. Meski begitu, aku tidak ingin memperlihatkan kelemahanku.
Sementara Mas Fattan sibuk menutup tubuh Kalila dengan selimut yang diraihnya dari atas ranjang, hatiku semakin tercabik dengan pemandangan itu. Goresan perih bertabur garam yang sampai kapan pun tidak akan pernah aku lupakan.
“Aku tahu Adina. Aku tahu ini semua salah. Setidaknya dengarkan penjelasanku dan jangan melakukan hal kasar seperti ini. Bagaimana pun juga, Kalila ini adalah keponakanmu.” Mas Fattan telah kembali dari rasa terkejutnya. Suaranya terdengar bijak dan tenang.
“Keponakan? Aku bahkan malu mengakui dia sebagai bagian dari keluargaku. Kalian bukan hanya menyakitiku tapi juga menorehkan luka pada keluarga besarku.”
Beberapa orang mulai berkerumun di pintu kamar kelas deluxe executive yang seharusnya tenang itu. Saat kami membuat keributan, sepertinya kami membiarkan pintunya terbuka. Suara teriakan dari dalam kamar menarik perhatian orang yang melintas.
Erina sebagai manager hotel berbintang lima itu, menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan para penonton yang tidak diundang tersebut. Dia segera memberikan kode padaku untuk keluar dari kamar itu.
“Adina, kita selesaikan nanti. Terpenting kau sudah mendapatkan bukti,” bisik Erina.
Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas. Lalu tanpa basa basi, aku memotret pemandangan mengenaskan kedua orang di hadapanku. Dua orang yang aku sayang dan aku cintai dari dalam hati. Mereka juga yang tanpa segan telah menabur racun dalam mahligai rumah tanggaku.
“Adina! Untuk apa kau melakukan itu?! Hapus! Berikan padaku ponselmu! Kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!” Mas Fattan berteriak kasar.
“Sebakan saja, Tante. Semua orang harus tahu betapa Tante tidak becus menjadi seorang istri. Coba Tante pikir kenapa suami Tante bersamaku saat ini jika memang dia sudah terpuaskan?!” Kalila begitu berani mengancamku.
Reaksi luar biasa yang membuatku kehabisan kata. Mereka yang bersalah tapi justru aku yang menjadi pelaku kejahatannya. Aku menatap keduanya dengan ekspresi wajah nyaris membeku, berusaha memperlihatkan ketegaran yang tersisa dalam hatiku.
“Ini imbalan yang kau berikan padaku atas pengabdian yang kuberikan padamu selama ini, Mas?” Lalu pandanganku beralih pada Kalila, “Aku ingin tahu, apa komentar kedua orang tuamu jika melihat foto ini nanti. Kalila, anak kebanggan mereka telah menggoda suami dari tantenya sendiri. Biar mereka yang memutuskan hukuman apa yang akan diberikan pada kalian berdua.”
“Betul, Adina. Maaf karena aku terlambat memberitahumu tentang hal ini. Atau bahkan sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu.” Manaf tertunduk lesu. Berita kematian Vivian seperti tenggelam di telan oleh kabar yang Manaf berikan. Semua ini terjadi secara tiba-tiba. Aku bahkan tidak mengerti bagaimana seharunya berekspresi dengan semua ini. Jika aku adalah anak angkat El Khairi, maka artinya aku dan Tara sama sekali bukan saudara. Tidak ada darah yang sama diantara kami. Keesokan harinya, Maaf meninggalkan Indonesia dan kembali ke Turki. Tara tinggal di mansion yang sama denganku. Hubungan kami menjadi sangat canggung dan aneh, terutama ketika kami hanya berdua saja. Di depan Anaya, Rayyan dan Jafar semua terlihat normal. Namun saat itu hanya tentang aku dan Tara, maka kami menjadi dua orang asing yang sedang belajar saling mengenal. “Nyonya, malam ini akan ada pesta di Deluxe Building. Tuan Tara meminta anda bersiap untuk ikut bersamanya.” Harry menyampaikan pesan Tara saat aku seda
“Adina, maafkan aku. Aku sudah melakukan yang terbaik, tapi ini semua di luar kendaliku.” Kata-kata Tara semakin membuatku khawatir. Aku yakin ada hal buruk yang terjadi. “Tara, katakan dengan jelas. Jangan menganggapku terlalu lemah untuk mendengar apa pun. Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan. Aku ingin tahu semuanya. Katakan!” Aku tidak bisa lagi menahan amarah karena Tara terlalu lama diam dan berusaha menahan tiap detik untuk berbicara “Vivian tewas tertembak.” Sebuah bom meledak di kepalaku. Ponsel di tanganku meluncur ke bawah dan mendarat di atas lantai batu taman. Tentu saja panggilan telepon dari Tara terputus. Aku membeku tanpa ekspresi. Berita ini terlalu sulit untuk diterima dan diidentifikasikan dengan kata. Dari kejauhan Harry berlari dan mendekatiku. Setelah sambungan telepon kami terputus, Tara pasti langsung menghubungi Harry. Karena itulah Harry datang untuk memastikan keadaanku baik-baik saja. Harry tertegun elihat ponselku yang hancur di atas tanah. Dia berl
“Ke tempat dimana seharusnya anda berada, Nyonya.” Harry menyahut dari kursi penumpang depan tanpa menoleh ke arahku. Aku yang duduk bersama Anaya di kursi belakang memilih diam. Anaya tertidur nyenyak dengan kepala di pangkuanku sejak kami mulai meninggalkan cluster. Aku tidak pernah meragukan Tara atau Harry. Bahkan dengan menutup mata dan tanpa memberikan detail, aku akan mengikuti mereka dengan rasa percaya. Sebuah tempat yang Harry katakan itu akhirnya adalah sebuah mansion yang berada di perbatasan Jakarta-Bogor. Sesuatu yang tidak pernah aku bayangkan bahkan dengan sebuah imajinasi tentang Adina El Khairi. Pintu gerbang mansion itu berada sekitar dua kilometer dari bangunan utama. Gerbang emas tinggi dengan penjagaan beberapa security berbadan tegap. Saat tiba di depan pintu gerbang, para penjaga mansion berlarian dan bergegas membuka pintu. Mobil yang kami naiki dan empat mobil lain di belakang kami masuk dengan lancar. Jalanan menuju ke bangunan utama adalah sebuah taman de
“Ya kita berangkat.” Aku mengangguk. Harry mengangkat tangan dan memberikan instruksi pada beberapa orang pria yang berbaju hitam di luar gerbang. Mereka masuk ke dalam rumahku dan mulai berbicara dengan para pelayan dan pengasuh. Ibu-ibu tetangga yang melihat pemandangan itu mendadak diam. Mereka tentu saja bingung karena ini adalah hal berbeda dari yang biasa mereka saksikan. Sebaliknya, Meylani justru mencibir. “Oh! Jadi memang kamu sudah berniat tidak tinggal lama ya di cluster ini. Pantas saja kamu tidak peduli dengan ketentraman cluster ini,” ujar Meylani sinis. “Iya! Bener tuh! Baguslah dia pergi. Jadi cluster kita kembali aman dan damai!” “Dia memang tidak pantas tinggal di sini.” “Itu pasti orang-orang suruhan suaminya. Dia mungkin istri kedua atau simpanan seorang pejabat.” Suara-suara terdengar di sekitar telingaku. Para wanita itu bergumam dengn opini mereka sendiri. Satu hal yang pasti, tidak ada opini baik yang kudengar di sana. Aku hanya diam dan membiarkan semuan
“Kita akan menuju ke tempat seharusnya kita berada. Tempat ini bukan tempat seharusnya kita tinggal.” Aku menggeser berdiriku dan melihat keluar jendela. Tatapanu menyapa sekitar di mana sebelumnya kami berharap banyak pada kehidupan. Mbak Pia diam. Dia bingung dengan apa yang aku katakan. Pembantuku itu selalu percaya pad keputusan apa pun yang aku buat. Dia tidak bertanya lebih banyak. Setelah mengangguk tanda mengerti, dia beranjak ke dapur. Beberapa saat kemudian, rumah kami sedikit riuh karena pengasuh Jafar dan Rayyan mulai mengemas barang-barang pribadi dua bayi itu. Belum lagi sesekali tangisan muncul dri keduanya. Aku bahkan perlu sedikit beradaptasi mendengar suara-suara yang tidak biasa aku dengar. Sejak Anaya beranjak dewasa, di rumah kami segalanya menjadi tenang. Nyaris tidak pernah terjadi keributan dan tangisan seperti yang terjadi saat ini. Aku menenangkan diri di dalam kamr setelah Anaya pulang dari sekolah dan menyelesaikan makan siangnya. Sebuah ketukan memaksa
“Banyak hal yang berjalan dan tidak bisa kita ubah.” Aku menegaskan pada Andre. Sejujurnya ini terasa seperti sedang membunuh harapan dalam diriku sendiri. Semua ini jauh lebih baik daripada terus tenggelam dalam mimpi. Harapan tentang hubungan mereka bagiku nyaris seperti hamparan pasir yang tidak ingin digenggamnya. Semakin erat aku merapatkan tangan, akan semakin banyak yang harus rela untuk kulepaskan. “Din, kita sudah jauh berjalan. Masa depan yang pernah aku bayangkan adalah bersamamu.” Andre menggenggam tanganku. Aku tersenyum dan menarik tanganku dari genggaman Andre. “Terima kasih sudah begitu percaya pada hubungan kita, Ndre. Keputusan ini aku ambil bukan murni karenamu. Ini juga tentang diriku sendiri.” “Apa maksudmu dengan tentang dirimu sendiri? Apakah kau memang tidak ingin bersamaku sejak awal? Lalu kenapa kita berdua harus membuang waktu jika kau memang tidak serius dengan semua ini sejak awal?” Andre memaksa agar arah angin berpihak padanya. Aku menggeleng ringan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires