/ 모두 / LANGIT KABUT CAMELIA / Ruang Masa II: Retakan Ingatan

공유

Ruang Masa II: Retakan Ingatan

작가: Emhaf
last update 최신 업데이트: 2021-06-11 11:30:25

Siapa sebenarnya perempuan itu? Aku tak pernah melihatnya. Tapi, rasa-rasanya aku pernah mengenalnya.

Seperti malam-malam biasanya, waktu senggangku adalah masa ketika seseduh kopi susu membangunkan jemariku. Mengawali tahun 2017 dengan menjadi seorang Pimpinan Produksi Teater tak pernah menjadi bayanganku sebelumnya. Ya... Sejak setahun lalu aku pernah bicara pada kawan lamaku, Jana, kalau aku sudah benar-benar rindu kuliah. Dalam bayanganku, segala penelitian yang dua tahun ini kumatikan secara suri akan bisa kubangunkan lagi.

Angin dingin menyelimuti bangku besi berwarna hitam. Ceracas para aktivis yang berteman malam enggan membangunkan rumput yang terlanjur lelap. Namun, kepulan asap yang berembus dari mulut-mulut hitam mereka terlanjur merambat ke hidung para satpam kampus. Tidak butuh waktu lebih dari 5 menit, mereka pun akan terusir dari kampus dan dipaksalah mereka terdiam di kamar, sendirian sebagai nokturnal.

Kadang kala aku salah satu dari mereka, hanya tanpa kepulan asap. Soda berada kopi menjadi pengganti kehangatan dari sehirup asap rokok itu. Nostalgia, adalah kata lain dari ceracas itu.

Anehnya, ketika yang kunostalgiakan justru melompat pada pengalaman yang tak akan kusangka sebelumnya. Juga, tentang pertemuanku dengannya, perumpuam ber-jumpsuit yang mendatangkan terpaan angin di penghujung senja.

"Ahhhh... Apa sih!" Daripada terbanam dalam lamunan, aku pun beranjak. Kunyalakan mesin motor agar suaranya membuyarkan segala yang tak perlu. Aku melaju, membiarkan diriku sunyi di antara kerlap-kerlip lampu kota yang tak akan redup sebelum kokok ayam pertama.

Tanpa kusangka, aku sudah sampai di Alun-Alun utara. Kuparkirkan motor di dekat para tukang becak yang tertidur. Tentu saja, kukunci kemudinya agar tak lenyap begitu saja. Aku berjalan di atas jalan pafing yang memaksa siapa saja untuk memantapkan langkah, menuju dua beringin yang tampak mencekam. Dari balik bola mataku, seolah kekeh tawa melengking bisa saja menjadi nada yang menakutkan. Atau, kaki raksasa berbulu hitam akan tiba-taba keluar dari salah satu sulur gantungnya.

Ah, tidak. Kakiku tak peduli dengan hal itu. Derap langkahku sepi, tak perlu kuberikan gesekan. Namun entah, kresak-krusuk, nada yang keluar dari gesekan dedaunan beringin. Akar gantungnya melambai padaku - menyusuhku bersegera bertatapan dengannya. Saat itulah, gerak-gerik akar gantung mencambuk kehampaan. Malam yang sunyi membuat refleksi di balik bola mataku.

Tak ada yang terlihat di depan mataku. Tapi, seolah sebuah gulungan film diputar di langit-langit kepalaku. Seorang gadis bermata sipit yang dibalut warna kuning langsat pelipisnya. Rambutnya terurai, berkibas memperlihatkan lentik jemarinya. Kelentikan itu bergerak ke arah jam pasir yang mengambang di depan matanya.

Langkah kakiku reda bersama malam yang surut oleh kokok ayam pertama. Masa yang entah dari mana, aku tak tahu siapa pemilik rambut itu. Tapi tatapan matanya itu tak berbeda dengan Camelia.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Jam Pasir di Ujung Perburuan

    Sudah empat dari sepuluh makhluk yang terkumpul. Nantinya, setelah semuanya terkumpul akan terbit sepuluh pilar yang menyangga perputaran waktu. Sekarang, semua yang tampak aman dalam aliran waktu hanyalah jalur semu. Rasa aman dan nyaman hanyalah dimiliki oleh para makhluk yang ketakutan. Sementara, mereka yang paham bahwa tak ada yang aman dalam setiap langkah dapat menerima keabadian. Mengapa demikian? Bisa kubayangkan pertanyaan itu yang akan dilontarkan semua makhluk. Tidakkah kau, kalian, berpikir bahwa dalam rasa aman yang ada hanyalah rayuan? Padahal, kapan saja kau bisa tersandung kerikil kecil dan terluka karenanya. Padahal, dalam sebuah tidur panjang siapa saja bisa menghadapi kematian. Paddahal, dalam setiap makanan bisa jadi menimbulkan penyakit bukan?Lihatlah para makhluk penghuni lipatan dimensi, ketika kesepuluh pilar itu telah berkumpul, akan kutunjukkan siapa Aku!

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Elang dan Landak Hari ini Bersahabat

    Para pemburu yang mengincar kami pun mulai bergumam. Setidaknya, ada beberapa suara yang kudengar penuh keraguan. Rasa menyerah sudah meracuni pikiran mereka. Harapan mendapat hadiah besar hanyalah mimpi kolot yang mungkin lebih baik dihindari, setidaknya untuk hari itu, saat itu, momen itu – ketika mereka merasakan kesia-siaan menghadapi kami hanya bermodalkan kekuatan yang setengah-setengah. Spang... percikan besi yang memantul di udara seeperti pertemuan baja dengan batu api. Seorang pemburu dengan nekat menerjang bebarisan pemburu yang sudah ragu-ragu. Tatapan matanya yang tajam membuat barisan keraguan di belakangnya semakin tenggelam dalam keputusasaan. Beberapa dari mereka memilih untuk berpaling dan pergi. Namun, banyak juga dari mereka yang justru menunggui kami sebagai tontonan akhir pekan.&nbs

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Para Pemburu yang Membisu, Para Pemburu yang Menyeringai

    Suara itu membangunkan kesadaranku, meski ragaku masih terlelap. Aku tahu Camelia sedang mengusahakan segala yang ia bisa agar perjalanan pertama kami tak berisi kekacauan. Namun, sepertinya kami berdua adalah anak badai. Berhadapan dengan kami, bahkan sejak pertama bertemu adalah pertikaian. Apakah sudah saatnya aku tersadar dan mengagetkannya. Ia mungkin akan merasa menjadi guru paling berhasil sebab dengan cepat seorang amatir telah sejajar dengannya. Atau, kalau ia seorang perempuan pencemburu, dan sepertinya menyenangkan melihat wajahnya yang terlipat – aku harus lebih berhati-hati dalam menunjukkan kemampuanku.Aku harus bangun pelan-pelan seperti kukang yang enggan melepaskan batang pohon. Mataku harus terbuka pelan-pelan dan dengan sebuah usaha, kurasa bisa kujalarkan urat-urat di bola mataku untuk memerah. Ia akan melihatku seperti manusia pada umumnya, makhluk yang membutuhkan wkatu untuk sekedar bangkit dari keterlelapannya. Ta

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Lentara di Persimpangan Jalan

    Kaki kami melangkah hampir bersamaan, hampir sejajar. Dengan wajah yang tak lagi tertunduk, aku kembali menatap matanya dengan kemantapan. Lelaki itu, Mas Gavin, sebaliknya memberiku senyum yang begitu ringan. Seolah hanya dengan membalas senyumannya segala yang berat pun terangkat.“Bisa melompati waktu, bisa berpindah ruang, bahkan bisa silat, tak akan cukup Mas!” terangku kepadanya dengan senyum simpul untuk mengatakan yang sejujurnya.“Ya... aku paham, mengatasi tingakatan pasukan zirah saja sudah sangat menyulitkan. Kurasa, di sini kita yang menjadi buron bukan? Menjadi sasaran tidak bisa hanya dengan modal sembarang lari saja,” ucapnya sangat startegis dan memang begitulah yang hendak kukatakan kepadanya.Lampu kelap-kelip di Angkringan Pak Darmadi sayup-sayup kami tinggalkan dengan sepuluh langkah kemudian. Ketika siulan penyanyi di angkringan tersebut masih bersahutan dengan suara alap-alap kami mengambil segenggam kekuatan yang h

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Dari Sini Kita Baru Benar-Benar Melangkah

    Sangkar besi beterbangan. Bentuknya yang kubus dengan mulut menganga menangkap cambukan petir di ruang antara sebelum kami sampai di tujuan. Hidup menjadi sebuah pelarian kecil di antara perih yang lama terlupakan. Aku yang pernah terperangkap dalam keagungan imajinasi dan tak sanggup keluar dari cengkraman besinya, keculia oleh uluran tangan perempuan yang bahkan belum kukenal. Serpihan ruang antara ini samar-samar memperkenalkanku dengannya."Kurasa, kita pernah bertemu sebelumnya Cam!" Kataku dengan kelirisan."Aku juga merasa begitu Mas," ucapnya dengan tatapan yang serupaku - penuh tanda tanya dan mencari jawaban atasnya."Apakah mungkin?" Aku sebenarnya tak tahu harus berkata apa, hanya saja nadaku berhenti pada tanda tanya yang tak berujung."Mungkiiiin?" Ia membalasku dengan ketakberujungan lain.Pelan kami berjalan melewati setiap cambukan petir yang enggan menyentuh kami. Pelan. Pelan. Dan, tahu-tahu pintu keluar sudah di depan kami. Inil

  • LANGIT KABUT CAMELIA   Deja Vu

    Sudah kedua kalinya aku menonton pertunjukan teater, namun melihat nuansa yang terbangun dari Bahari-haru memang sangat menakjubkan. Aku tak pernah membayangkan alat musik gamelan bisa menciptakan nuansa elektrik imajiner. Seolah gamelan itu menjadi nada apik yang akan terus mengalir sampai ke masa depan. Dengan setiap ketukannya itu, gendhing Jawa memukul langit-langit kekolotan manusia di mas ini untuk lebih megenal masa depannya. Kenyataanya, manusia yang kutemui memang terlalu sibuk mencari masa lalunya daripada menciptakan jalan masa depan.“Cam!” sayup-sayup suara yang kuabaikan berpadu dengan setiap ketukan bonang. Suara ketiga penyanyi yang hidup sebagai ruh mengalirkan ingatan lara dari ketiga anak-anak yang kehilangan ibunya. Sementara aku, di sini termenung, bagaimana setiap gesekan biloa di antara bonang itu mengalir bagaikan sungai, merajut kehidupan yang mempertemukan segala masa.“Cam!” suara itu mu

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status