Share

Ruang Masa II: Retakan Ingatan

Siapa sebenarnya perempuan itu? Aku tak pernah melihatnya. Tapi, rasa-rasanya aku pernah mengenalnya.

Seperti malam-malam biasanya, waktu senggangku adalah masa ketika seseduh kopi susu membangunkan jemariku. Mengawali tahun 2017 dengan menjadi seorang Pimpinan Produksi Teater tak pernah menjadi bayanganku sebelumnya. Ya... Sejak setahun lalu aku pernah bicara pada kawan lamaku, Jana, kalau aku sudah benar-benar rindu kuliah. Dalam bayanganku, segala penelitian yang dua tahun ini kumatikan secara suri akan bisa kubangunkan lagi.

Angin dingin menyelimuti bangku besi berwarna hitam. Ceracas para aktivis yang berteman malam enggan membangunkan rumput yang terlanjur lelap. Namun, kepulan asap yang berembus dari mulut-mulut hitam mereka terlanjur merambat ke hidung para satpam kampus. Tidak butuh waktu lebih dari 5 menit, mereka pun akan terusir dari kampus dan dipaksalah mereka terdiam di kamar, sendirian sebagai nokturnal.

Kadang kala aku salah satu dari mereka, hanya tanpa kepulan asap. Soda berada kopi menjadi pengganti kehangatan dari sehirup asap rokok itu. Nostalgia, adalah kata lain dari ceracas itu.

Anehnya, ketika yang kunostalgiakan justru melompat pada pengalaman yang tak akan kusangka sebelumnya. Juga, tentang pertemuanku dengannya, perumpuam ber-jumpsuit yang mendatangkan terpaan angin di penghujung senja.

"Ahhhh... Apa sih!" Daripada terbanam dalam lamunan, aku pun beranjak. Kunyalakan mesin motor agar suaranya membuyarkan segala yang tak perlu. Aku melaju, membiarkan diriku sunyi di antara kerlap-kerlip lampu kota yang tak akan redup sebelum kokok ayam pertama.

Tanpa kusangka, aku sudah sampai di Alun-Alun utara. Kuparkirkan motor di dekat para tukang becak yang tertidur. Tentu saja, kukunci kemudinya agar tak lenyap begitu saja. Aku berjalan di atas jalan pafing yang memaksa siapa saja untuk memantapkan langkah, menuju dua beringin yang tampak mencekam. Dari balik bola mataku, seolah kekeh tawa melengking bisa saja menjadi nada yang menakutkan. Atau, kaki raksasa berbulu hitam akan tiba-taba keluar dari salah satu sulur gantungnya.

Ah, tidak. Kakiku tak peduli dengan hal itu. Derap langkahku sepi, tak perlu kuberikan gesekan. Namun entah, kresak-krusuk, nada yang keluar dari gesekan dedaunan beringin. Akar gantungnya melambai padaku - menyusuhku bersegera bertatapan dengannya. Saat itulah, gerak-gerik akar gantung mencambuk kehampaan. Malam yang sunyi membuat refleksi di balik bola mataku.

Tak ada yang terlihat di depan mataku. Tapi, seolah sebuah gulungan film diputar di langit-langit kepalaku. Seorang gadis bermata sipit yang dibalut warna kuning langsat pelipisnya. Rambutnya terurai, berkibas memperlihatkan lentik jemarinya. Kelentikan itu bergerak ke arah jam pasir yang mengambang di depan matanya.

Langkah kakiku reda bersama malam yang surut oleh kokok ayam pertama. Masa yang entah dari mana, aku tak tahu siapa pemilik rambut itu. Tapi tatapan matanya itu tak berbeda dengan Camelia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status