Share

Ruang Masa I: Kamar Kos dan Bayang-Bayang

Satu-satunya kamar yang masih bersinar malam ini hanyalah kamar kosku saja. Semua lelah pikiran dari para penghuni kos lainnya menjelma gelap tanpa bayang-bayang. Entah, kurasa sudah hampir tiga jam aku berbaring dalam diam, menatap langit-langit kamarku yang berisi bayangannya. Siluet jam pasir itu sudah menjelma keyakinan dalam dadaku. Namun, harus seperti apa aku memberitahunya. Masa’ aku yang ngomong kalau ia adalah lelaki yang ditakdirkan untukku? Bukankah perempuan-perempuan di masa ini hanyalah manusia-manusia pemalu yang memilih menunggu dan terdahului daripada segera melangkah dan mendapatkan. Ah, kenapa aku galau begini? Bukankah aku bukan perempuan dari zaman ini? Bahkan, aku sendiri bukanlah penghuni dimensi ini.

“Arrrrrghhhhhhh... apa sih yang kulakukan?” sekejap aku sudah bangun dari keterbaringanku. Kutatap wajahku di depan cermin yang tergantung di sebelah pintu. Merah mukaku seperti seorang badut yang terlalu banyak memakai blause on. “Arghhhhhhhhhh... apa ini? Kenapa aku memikirkannya seperti ini?” kugoyang-goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri.

Aku melompat-lompat berusha mengeluarkan keringat agar segala rona merah di wajahku yang terpusat di pipi menjadi rata, agar seteelah rata keringat itu pun membasuh merah di mukaku sehingga kembali seperti semula. Kata kebanyakan orang yang kenal denganku, mukaku adalah kuning-langsatnya orang Sunda. Padahal, orang Sunda kan kebanyakan terlihat putih. Kurasa, mereka menyebutku begitu sebab aku sudah lama tinggal di Sunda padahal lukisan wajahku lebih dekat dengan orang Jawa. Kan, Gavin orang Jawa kan ya? Lagi-lagi aku memikirkannya dan melompat-lompat. Tidak sadar, getaran dari hentakan kakiku membuat suasana di kamarku seolah sedang gempa. Lampu-lampu yang sudah padam di kamar-kamar lainnya pun dalam nada petikan yang hampir bersamaan, pun menyala beriringan.

Kulihat pancaran sinar-sinar lampu itu dengan membuka sedikit celah di jendela kamarku. Senyumku menggariskan kebingungan dan kekhawatiran. Kucoba meengusik perasaan itu dan kembali bermuka seolah tak tahu apa-apa. Setidaknya, sedikit pelajaran teater dari Mas Kurnia bisalah kupakai di saat begini.

“Eh gempa ya?”

“Di kamarku kerasa kecil sih!”

“Kita lari keluar gak nih?”

“Apa gak kita tunggu dulu! Jangan-jangan cuma lindu[1]

“Jangan begitulah, kalau gempa susulannya datang gimana?”

“Iya juga sih, kan kalau di Jogja ada gempa, kan gawat kan?”

Berusaha membuka pintu dengan cepat seolah mengagetkan, aku pun ikut nimbrung dalam celoteh para penghuni kos yang kebanyakan bicara daripada bertindak – yah bagaimanapun semua penghuni kos ini kan hanya perempuan. “Ayo cepat kita keluar!” katau sembari berlari. Seperti sekawanan bebek yang akhirnya memiliki pawang, celoteh mereka pun berhenti dan berganti dengan langkah cepat setengah berlari.

Gelap. Hanya tersisa lampu-lampu kecil sebagai penerang jalanan kampung. Dalam sebaris ke barat kami sama-sama melihat rumah-rumah kos yang begitu tenang. Nyala redup lampu teras mereka tak tergoyahkan sedikitpun oleh keributanku. Atau, gempa yang penghuni kosku takutkan. Dengan arahan tanpa suara, kami menoleh ke timur, kosong, jalanan sunyi tanpa suara dan hanya menyisakan angkringan-angkringan tanpa pelanggan. Suasana khawatir akan kematian karena gempa beerubah menjadi mencekam dan menakutkan.

“Kok sepi ya?” Rini, salah satu penghuni kos, seorang yang kamarnya berjarak dua kamar di barat kamarku mengelus-elus bahunya, “Bulu kudukku kok pada berdiri ya!”

“Jangan aneh-aneh deh Rin!” Yona, salah satu penghuni kos yang letak kamarnya paling ujung timur.

“Eh, sudah-sudah, mungkin karena cuma lindu semua orang masih gak kerasa dan nyaman-nyaman tidur aja! Ini kayaknya udah 10 menitan kita di sini. Mungkin, gak akan ada gempa susulan sih!” jelasku berusaha mendinginkan suasana mencekam yang hampir-hampir membuatku ikut ketakutan. Dengan nada setuju dan rumpian yang terus berlanjut. Kami pun melangkah kembali ke kamar kos.

Aduh... Mas Gavin.., baru mikiran kami aja udah gempa begini! Memang sudah takdir untuk kita ya... hmmm... entah, bagaimana aku harus cerita kepadamu. Entah, kamu akan menerima ceritaku atau tidak urusan nanti.

[1] Diambil dari bahasa Jawa yang berarti “gempa kecil”.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status