🌼🌼🌼🌼
Saat ini, Langit menjadi tersangka. Terlebih, semenjak kotak-kotak ini hadir, dia malah menghilang entah ke mana. Tak sekalipun menunjukkan batang hidungnya. Bukankah hal yang wajar, jika aku mencurigainya?
Langit yang datang tanpa permisi.
Langit yang memaksa masuk ke dalam kehidupanku.
Dan Langit yang menghancurkan kehidupanku juga.
Meski alasanku belum kuat dan tak berdasar. Namun, aku yakin
kehadirannya bukan tanpa tujuan. Karena aku dan Langit tidak saling mengenal. Sejak aku kecil hingga sekarang, tidak ada temanku yang bernama Langit selain Langit Aditya. Pemuda yang tidak tahu asal usulnya itu.
Kehadiran Langit terasa
"Kadang kala masa lalu itu perlu diselesaikan, kadang juga tidak harus. Kalau pun harus, apakah kamu siap terluka kembali dengan cara yang sama? Maafkan dan sudahi. Mari berdamai dan melangkah ke depan."🌼🌼🌼🌼Pelajaran telah usai sejak 10 menit yang lalu. Kelas pun mulai lengang. Hanya ada beberapa orang, itupun yang kebagian piket. Sisanya sudah pulang. Itupun hanya ada aku dan dua teman, karena yang lain memilih kabur. Bukan hal aneh lagi bukan?"Meg, lo masih lama nggak?" Kepala Sani nyembul dari balik pintu.Aku menghela napas sambil menatap ke arahnya. "Lama, nggak usah nunggu.""Kalau nggak lebih dari 15 menit, gue tungguin ya. Kalau lebih ditinggal!""Duluan aja.""Emang bakalan lama banget?""Nggak juga, sih. Cuma gue nggak suka bikin orang nunggu."Sani terlihat terlekeh. "Lo kayak ke siapa aja, Meg. Santai aja kali. Kalau gue bosen gue bakalan ninggalin lo, kok. Tenang aja."Aku menoleh ke ar
"Bertemu denganmu mungkin takdir untukku, entah apa yang semesta rencanakan. Kuharap aku tidak lagi dibuat jatuh cinta dan hancur berantakan kemudian." 🌼🌼🌼🌼 Aku diam di depan ruangan kelas Bahasa. Ya, di depan kelas Langit dengan waswas. Setelah jam sekolah usai, aku langsung melesat ke kelas Langit setelah melewati tiga kelas lain. Tanpa basa basi, langkah kakiku bergerak cepat ke sana. Melaju cepat bak orang yang dikejar-kejar penagih hutang. Seharusnya sudah kulakukan dari dulu untuk bertindak seperti ini! Bukan malah memperlihatkan aku lemah dan ketakutan! Ya, aku tidak lagi lemah. Aku tidak ingin lagi dipermainkan. Masalah kotak itu harus selesai sekarang. Tidak ada besok lusa. Hari ini harus selesai dan Langit harus diberi pelajaran segera. Setelah mendengar rekaman bukti kemarin. Aku semakin percaya jika itu Langit. Rekaman itu sebagai buktinya. Dari awal aku sudah curiga dengan kedatangannya dihidupku.
"Perihal kamu, aku tidak tahu menahu. Apakah kamu datang untuk menyembuhkan atau malah menghancurkan? Jika memang menyembuhkan bantu aku untuk percaya namun jangan hanya sekadar kata-kata. Karena aku perlu tindakan nyata." 🌼🌼🌼🌼 Seharusnya kemarin masalah kotak itu selesai. Ternyata diluar dugaan, permasalahan kotak itu masih belum bisa selesai. Aku benar-benar sudah lelah, kotak hadiah itu sungguh mengganggu. Namun, aku tak mampu berbuat banyak. Bahkan niat ingin memarahi Langit habis-habisan pun urung. Entah mengapa energiku terasa terkuras dan habis. Apa karena aku terlalu banyak berhubungan dengan masa lalu? Kejadian yang paling benci ketika aku bahas bahkan untuk aku ingat. Tubuhku sudah berbaring di atas tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Lelah sudah menyelimuti diriku namun mataku masih belum mau terpejam. Kotak hadiah itu belum muncul kembali. Saat ini jumlahnya tetap s
Tidak ada yang menyenangkan ketika kita kembali ditarik ingatan hanya untuk mengenang sesuatu yang telah lama selesai." 🌼🌼🌼🌼 "Bunda?" Aku menatap Langit yang kini sedang tersenyum lebar. Lantas berdecak pelan. Kenapa Langit suka seenaknya? Bagaimana ini? Meskipun aku tidak suka Langit bukan berarti saat bertemu Bundanya aku bisa berpenampilan urakan seperti ini. Tidak sopan rasanya. Mengingat aku yang belum mandi sore. Ditambah dengan muka yang kusut karena perasaanku yang sedang kacau. Huft! Sialan! Dengan malas aku berdiri dan mulai melangkah menuju pintu. Mau tidak mau aku harus segera membuka pintu. Tidak enak juga membiarkan orang tua menunggu. Nanti aku dikutuk jadi batu lagi, seperti malin kundang karena aku dianggap telah durhaka. Mataku melebar saat pintu dibuka. Deg! "Selamat sore, kak! Saya mau antar pesanan atas nama Langit." Aku bergeming, mataku men
"Ada hal-hal yang memang seharusnya tidak kita ketahui dan ada pula hal-hal yang memang sebaiknya kita simpan sendirian. Tidak semua hal boleh diutarakan. Tidak semua hal boleh dicampuri." 🌼🌼🌼🌼 Sore ini langit tampak cerah. Meski tidak secerah hatiku. Karena jelas hatiku kelabu, penuh abu-abu dengan sembilu sendu. Ah, kok rasanya sedih, ya. Saat ini aku sedang menuju supermarket dekat rumah dengan berjalan kaki, sekalian jalan sore. Kapan lagi aku jalan sore seperti ini. Biasanya aku enggan keluar rumah. Berhubung ini masalah perut jadi mau tidak mau aku harus keluar. Demi kelangsungan hidupku yang berharga. Tak ada yang aneh dengan sore hari ini, sama seperti biasa. Tujuanku ke supermarket untuk membeli beberapa camilan dan es krim. Ya, tiba-tiba aja aku ingin es krim. Cuma karena hal itu. Tapi, tetap saja. Urusan perut semuanya penting kan? Aku memasuki supermarket yang ternyata lumayan ramai. Lantas mengambil
"Kadang kala aku membenci takdir atas diriku. Lain waktu aku bersikukuh ingin menukarnya. Namun hari ini aku ingin berdamai dengan semuanya." 🌼🌼🌼🌼 Kepalaku terasa berdenyut dan pusing. Aku tidak ingat apa-apa selain kata-kata yang diucapkan oleh Mars. Mataku mengerjap pelan-pelan. Seketika cahaya terang menyambutku. "Mega." Mataku masih menyipit belum melihat dengan jelas. Mungkin karena tiba-tiba dibuka. Dia mendekat ke arahku. "Ada yang kerasa sakit nggak?" Aku menoleh ke kanan dan ke kiri yang tampak asing. Ini di mana?Ruangan berwarna putih dengan bau obat yang menguar masuk ke dalam hidungku ini ... rumah sakit! Kenapa aku bisa berada di sini? Bukankah tadi aku sedang duduk di halaman rumah dengan Mars? Apa yang terjadi? Bukankah tadi aku baik-baik saja? "Kenapa gue di sini?" Langit mendaratkan tubuhnya, duduk di kursi tepat di sampingku. "Kamu nggak ingat?"
"Rumah bukan hanya sebuah bangunan. Rumah lebih dari itu; ialah tempat untuk pulang segala resah, sesak juga rindu. Dan mungkin wujudnya ialah kamu." 🌼🌼🌼🌼 "Jrengg! Nyanyi kuy! Sudahi belajarmu mari bergalau bersamaku."Itu Andi, teman sekelasku. Semua orang bersorak saat ia berbicara seperti itu. "Sadboy lo, Ndi!" "Tau tuh!" "Mantan dibuang jangan dikenang!" timpal temanku yang lain. "Wadidaw! Kerad banget ucapanmu." "Nampar nggak Ndi?" Gelak tawa terdengar. Saat ini jam kosong. Sudah bukan hal yang aneh jika di isi dengan hal-hal random. Andi yang ditertawakan terlihat tak terima. "Teman-temanku yang budiman, lebih baik saya sadboy, dibanding dia yang fakboi!" Raden yang mengatakan mantan dibuang, mengumpat ke arah Andi. "Bangsat lo!" Hari ini aku memaksakan diri untuk sekolah. Karena telah absen selama 3 hari. Meski aku akui badanku masih terasa ngilu dan sakit. Menu
"Menemukanmu adalah hal istimewa. Entah bagaimana caranya kamu dikirim semesta. Satu hal yang aku ingin, mengubah hadirmu menjadi takdir."🌼🌼🌼🌼Jalanan di hadapanku tampak lengang. Aku melirik arloji yang melingkar pada pergalangan tangan. Pukul 10 malam. Helaan napas panjang keluar begitu saja tanpa bisa dicegah. Aku menunduk dalam.Sekarang harus pergi ke mana? Sudah 10 menit aku berada di sini.Aku melarikan diri dari rumah. Dengan seragam sekolah yang masih melekat pada tubuh. Tak ada barang yang aku bawa, hanya ponsel dan beberapa lembar uang yang berada di saku. Itupun cuma ada 30 ribu.Apa aku pulang saja?Tapi bagaimana mungkin aku pulang.Tubuhku rasanya lengket dan sakit sekali. Terpaan angin malam pun mampu membuatku menggigil karena hanya berbalut seragam yang tebalnya tak seberapa. Telapak tangan kugosok-gosok demi menciptakan sedikit kehangatan."Mega?"Aku menoleh menatap seseorang yang berada tiga met