"Ayooo kejar Ranggaa... Tendaaang..!! Hahha.. kamu hebat juga..!" Mohzan menyoraki Rangga yang sedang bermain dilapangan bola. Rangga yang baru saja berhasil menjebol gawang lawan nampak tertawa bahagia. Ia mengacungkan jempol tangannya kepada Mohzan yang terus memberi semangat dipinggir lapangan. Anak itu baru berumur 13 tahun, kemampuannya bermain bola sudah diatas rata-rata teman sebayanya.
Kesebelasan Rangga nampak berpelukan ditengah lapangan. Wasit meniup pluit dan permainan bola kembali dimulai.
Sekarang bola dikuasai oleh adit kesebelasan lawan. Adit mengoper kepada Ryan."Oper kembali ke Adit Yaaan...! Ya ya begitu.... Tendang Diiiit...!!! Hahhaha gooool...!!!" Mohzan berteriak senang melihat adik-adik angkatnya bermain.Kedua kesebelasan bermain penuh semangat. Keringat membanjiri tubuh kecil mereka. Mohzan kemudian memberi isyarat untuk menyudahi permainan. Anak-anak dari kedua kesebelasan itu membubarkan diri dan berlari mengerumuni Mohzan yang nampak membagikan minuman.
"Kalian semakin hebat..!" Puji Mohzan pada mereka.
"Iyalah.. adik siapa dulu..!" Sahut Jery menepuk dada sambil mulutnya di monyongkan kearah Mohzan."Adik siapa..?" Tanya Mohzan"Ya adik Bang Mohzan lah.." Jawab mereka hampir serempak.Mohzan tertawa senang. Ia bahagia melihat anak-anak yang tidak punya keluarga itu nampak begitu akur dan kompak."Udah pada makan ?" Tanya Mohzan.
Mendapat pertanyaan seperti ini sontak membuat wajah mereka berseri. Itu tandanya abang mereka akan membelikan makanan atau setidaknya kue."Belum Baang..!" Jawab mereka lagi-lagi kompak.
"Ooh." Jawab Mohzan pendek."Lho Abang kok jawabnya oooh doang ?" Si kecil Yuda bertanya sambil menatap harap pada Mohzan."Lha Abang kan cuma nanya." Jawab Mohzan menggoda mereka semua."Abaang..!! Ayolah beli makanan Bang. Kami laper nih.. Tapi Abang Mohzan ada duit gak..?" Riuh rendah pertanyaan dan pernyataan anak-anak itu datang bersahutan.Mohzan kembali melebarkan senyumannya.
"Ya Abang ada duitlah." Jawab Mohzan sekenanya terus menggoda para anak jalanan yang tiada berayah ibu itu."Kalau gitu kita beli bakso ya Bang.., tuh disana baksonya enak banget Baaang..!" Adit merayu Mohzan dengan gayanya yang lucu."Ya udah, abang kesana dulu makan baksonya. Kalian tunggu disini ya !" Sahut Mohzan yang belum puas menggoda mereka."Nah loh, Abang kok makan baksonya sendirian..?" Tanya Adit sambil menahan air liurnya yang sudah mulai menetes. Kenikmatan bakso sudah menggoda lidahnya."Kan Abang mau nyobain, apa bener bakso disana enak." Jawab Mohzan masih berkilah."Trus Abang balik lagi kesini..?" Tanya Yuda polos."Abang langsung pulang." Jawab Mohzan mulai cekikikan."Abang jahaaat..!" Seru mereka bersamaan. Mohzan kembali tertawa senang melihat tingkah manja mereka.
"Hahaha..., Ya udah, sekarang kita beli bakso ya..!" Ujar Mohzan akhirnya menyudahi gurauannya pada anak-anak itu."Horeeeee...!!!" Anak-anak itu bersorak sambil menari-nari."Eit, tapi ada syarat...!" Mohzan memainkan telunjuk didepan wajahnya.
"Udah tahuuuu..!" Sahut mereka kembali serempak."Apa..?" Jawab Mohzan memasang wajah pura-pura serius."Pertama bagi anak yang muslim tidak boleh meninggalkan sholat dan yang beragama lain beribadah menurut keyakinan masing-masing..!" Ujar Rangga lancar dan tegas seperti membaca Pancasila."Terus..?" Tanya Mohzan."Kedua abis makan harus belajar..!" Giliran Egi yang buka suara."Hahahaha... Kalian memang adik-adik Abang yang pintar..!" Seru Mohzan."Ya iyalah, adik siapa dulu...!" Jery kembali membusungkan dadanya."Adik siapa..?" Mohzan kembali bertanya."Aah.... Abang nanya nya muter-muter mulu.. makan baksonya kapan Bang !" Seru Yuda kecil mulai merengek memegang lengan Mohzan. Bajunya yang kotor menodai lengan baju Mohzan. Tapi Mohzan sudah terbiasa dengan semua itu. Cinta kasihnya pada anak gelandangan melebihi apapun. Maka dari itu ia tidak pernah marah kalaupun anak-anak itu mengotori bajunya.
"Hahaaha.., ayo sekarang kita makan bakso !" Teriak Mohzan kemudian. Ia kasihan terlalu lama menggoda anak-anak yang nampak mulai sudah tidak sabaran.
Mohzan mulai melangkah diiringi puluhan anak-anak yang bersorak riang gembira dibelakangnya. Bagaikan orang yang mau berangkat melakukan demontrasi, mereka tidak hentinya bersorak dan kadang berorasi. Tawa cekikikan mereka terdengar lepas tanpa beban. Rombongan mereka jadi perhatian orang yang lalu lalang dijalan itu. Tapi mereka tetap tertawa dan bergembira.
Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah ruko yang bertuliskan "Bakso Mas Kumis". Mereka langsung merengsek masuk kedalam ruko dan berebut menduduki kursi. Suara mereka yang bising menjadi perhatian beberapa tamu yang sedang menikmati bakso disana.
Seorang laki-laki yang sepertinya adalah penjaga usaha bakso itu nampak kaget melihat puluhan anak-anak jalanan sudah memenuhi ruko tempat usaha bakso yang dijaganya. Sebagian besar mereka tidak mendapat tempat duduk dan memilih duduk dilantai.
Lelaki itu bergegas memberi tahu Bosnya yang berada dilantai atas ruko tersebut."Pak, ada puluhan anak jalanan menyerbu kesini !" Ia melapor.
"Puluhan anak jalanan..? Mau apa mereka ?" Jawab lelaki berkumis dan berbadan sedikit tambun yang ternyata pemilik usaha bakso bertanya heran."Katanya mau beli bakso Pak. Tapi saya khawatir nanti mereka tidak mampu bayar. Makanya saya bertanya kepada Bapak dulu. Jumlahnya puluhan orang Pak." Lapor si lelaki penjaga usaha bakso nampak khawatir.Pak Kumis nampak gusar. Ia bergegas turun kelantai bawah tempat usaha baksonya berada.
"Ada apa ini..?" Tanya Pak Kumis alias Bos bakso nampak semakin gusar melihat begitu banyak anak jalanan disana. Mereka semua nampak memenuhi ruangan tempat usahanya."Kami mau beli bakso Paaaaak..!!!!" Teriak mereka lagi-lagi serempak. Suara mereka bagaikan paduan suara yang sudah terlatih.
"Eh tidak...tidak... Pergi kalian semua dari sini..!" Bentak si Kumis mengusir."Nah loh, kami kok diusir.. kami mau beli Pak. Bukannya mau minta atau nodong!" Protes Arya yang paling besar diantara mereka. Arya berumur sekitar 16 tahun. Ia tidak terima mereka diperlakukan seperti itu."Anak jalanan busuk dekil, aku tidak butuh uang kalian. Pergi... Pergiiii.! Teriak si Kumis mulai mendorong mereka satu persatu keluar.
"Pak, anak-anak ini mau makan bakso, mengapa diusir ?" Mohzan bangkit dari duduknya lalu mendekati si Kumis dan mengajukan protes. Lelaki berkumis menoleh kepada orang yang barusan bicara padanya.
"Apakah orang kaya saja yang boleh makan disini..?" Sambung Mohzan.
"Eh.. ka kaamu Nak Mohzan." Ujar Pak Kumis gugup begitu ia beradu pandang dengan Mohzan. Ia mengenali Mohzan karena kepopulerannya yang terkenal sebagai manusia komputer. Kedua putrinya juga menjadi salah satu pelajar yang selalu datang berguru kepada remaja yang kini berdiri tepat dihadapannya itu."Jangan begitu Pak, kasihanilah mereka. Mereka tidak punya orang tua dan sanak saudara. Berikanlah apa yang mereka pinta. Saya yang akan membayarnya !" Ujar Mohzan tegas tapi sopan.
"Iii iya... Silahkan duduk..!" Pak Kumis nampak malu karena sikapnya yang telah merendahkan anak-anak jalanan. Dirinya merasa tertampar oleh sosok muda yang mempunyai jiwa pengasih melebihi dirinya yang lebih tua.
"Maafkan Bapak..!" Ujar Pak Kumis sportif.Mohzan mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia memanggil kembali sebagian anak-anak yang sudah berdiri diluar ruko karena tadi diusir oleh Pak Kumis. Ada sekitar tiga puluhan anak kemudian menerima masing-masing semangkuk bakso. Mereka nampak makan dengan lahap. Mohzan berada diantara mereka ikut menikmati bakso bersama. Canda tawa mereka riuh rendah dan menjadi perhatian para tamu lain di ruko itu.
Lelaki berkumis memandang dengan haru. Air matanya tergenang melihat ketulusan dan kesabaran Mohzan melayani anak-anak terlantar itu.
"Pantas Allah memberinya banyak kelebihan. Itu karena ia mempunyai hati yang sangat penyayang." Desahnya dalam keharuan hatinya.
Setelah selesai menyantap semangkuk bakso, anak-anak itu nampak puas dan kenyang. Suara sendawa mereka terdengar bersahutan.
"Sudah selesai semua..?" Tanya Mohzan."Sudah Baaang...!!" Suara paduan suara kembali bergema."Ya sudah, sekarang bubar dan keluar dengan tertib. Tunggu Abang diluar." Mohzan memberi komando. Anak-anak itu mematuhi perintah Mohzan. Mereka beriringan keluar dan berkumpul dihalaman ruko.Mohzan mendekati kasir dan bermaksud membayar semua harga bakso yang telah dimakan oleh adik-adik angkatnya.
Kasir mulai menghitung kemudian membacakan sebuah angka total uang yang harus dibayar. Mohzan merogoh tas kecil yang terselempang didadanya. Dia lalu menyodorkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada kasir.
"Potong separo saja. Yang separo lagi biar Bapak yang bayar." Ujar seorang Bapak yang antri persis dibelakang Mohzan. Mohzan menoleh kepada Bapak itu, dan Bapak itu mengangguk sambil tersenyum. "Izinkan Bapak ikut berpartisipasi !" Ujar Bapak itu yang ternyata adalah salah satu tamu yang juga sedang makan bakso disana bersama istri dan seorang putri mereka. Si Bapak tersentuh hatinya melihat apa yang dilakukan Mohzan kepada anak-anak jalanan itu.
"Terima kasih Pak..!" Ujar Mohzan sambil menundukkan kepalanya memberi hormat. Bapak itu tersenyum haru membalas sikap santun Mohzan. Tangannya lalu meraba dan sedikit mengusap kepala Mohzan dan dengan suara serak ia berkata " kamu baik sekali Nak. Semoga rejekimu melimpah dan selalu dalam lindungan Allah."
"Terima kasih Pak. Semoga Bapak dan seluruh keluarga juga selalu bahagia." Mohzan membalas doa Bapak yang baik hati itu.Setelah menerima kembalian uang Mohzan segera pergi meninggalkan ruko itu diikuti anak-anak jalanan yang terus saja bersorak dibelakangnya.
Beberapa pasang mata berlinang mengiringi langkah Mohzan dan tiga puluhan orang anak jalanan yang mengikutinya dari belakang.
Sikap Mohzan telah mengetuk banyak pintu hati.*********
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama