Share

Daren Ingin Membuktikan

Entah kesambet apa Daren malam ini. Lelaki itu membawa Nia ke apartemennya. Mengajaknya memasak makan malam untuk disantap berdua. Ketika Nia bertanya, Daren hanya menjawab, “Gak apa-apa, biar romantis.”

Kedua sejoli itu telah menyelesaikan sesi masak berdua. Meski hanya spaghetti instan, tetapi itu akan merealisasikan makan malam romantis yang diniat-niatkan oleh Daren sejak siang tadi.

Nia menyajikan spaghetti itu di piring miliknya dan milik Daren, sementara sang kekasih sibuk mempotret dirinya. Awalnya Nia curiga, ini hanya untuk konten. Akan tetapi, Daren berhasil menepis kecurigaannya dengan berkata, “Aku gak mau share foto ini ke medsos. Buat simpanan pribadi aja.”

What? Tumben?” Nia bertanya sambil mengembalikan peralatan masak itu ke tempat cuci piring.

Tanpa Nia sadari, Daren mengikuti langkahnya dari belakang. Nia semakin merasa keheranan. Lelaki itu tersenyum padanya, senyuman yang begitu berbeda dari biasanya. Oleh karena itu, Nia lagi-lagi bertanya, “Kamu kenapa, sih, hari ini? Kenapa foto-fotonya gak pengin kamu share? Tumben banget.”

I want to prove to you that I love you whether it's in front of the camera or behind it.” Daren mendekatkan bibirnya ke telinga Nia. Dengan bisikan romantis, ia melanjutkan kalimatnya, “I love you … more than I said in any caption on our photo on social media.”

Nia menutup mulutnya. Dengan hati setengah tidak percaya, ia bertanya, “Really?”

“Ya … aku beneran cinta kamu, Sayang.”

Nia terkekeh. Ia menarik tangan Daren menuju meja makan. “Nanti spaghetti-nya keburu dingin.”

Daren menahan tangan Nia, menariknya ke dalam pelukannya. Malam terasa begitu indah. Sudah lama sekali, sejak terakhir kali Nia berbagi pelukan hangat dengan sosok lelaki yang betul-betul disayanginya itu. Sosok sahabat yang kini menjadi kekasihnya.

 Meski adanya sebuah status kini mengubah jarak di antara mereka. Jarak yang kelihatannya kian mendekat, padahal sebetulnya jauh dan nyaris tidak tergapai satu sama lain. Sebuah jarak yang menjadikan hubungan mereka menjadi sesuatu yang bukan sebetulnya mereka berdua inginkan.

Namun, sepertinya, Daren berniat menghapus jarak tak kasat mata itu.

“Aku gak mau, status ini mengubah kita jadi orang yang berbeda. Aku dan kamu dulu dekat, aku ingin selalu seperti itu.” Daren berkata sembari mendekap erat tubuh mungil Nia itu.

“Begitu juga aku.”

Daren mengecup kening Nia, untuk pertama kalinya kecupan itu terasa tulus dan hangat. “Jangan pernah mencintai lelaki selain aku, ya? Aku gak akan pernah sanggup melepas dan merelakanmu bersama orang lain. Aku takut, jika nanti kamu pergi karena hubungan kita yang seperti ini, karena aku gak peka, juga karena aku gak pernah bisa menunjukkan ketulusanku ke kamu sehingga membuat kamu sering salah paham.”

Nia mengangguk seraya berkata, “Begitu juga pintaku ke kamu, Daren. Aku juga sayang kamu.”

“Jangan tanya lagi. Aku akan selalu mencintai kamu, pasti ….”

***

Malam berlalu begitu cepat. Ketika Nia membuka mata di pagi hari, ia masih teringat apa yang dilaluinya bersama Daren semalam. Sebuah makan malam sederhana, berdua saja. Kata-kata Daren yang membuat Nia yakin, bahwa lelaki itu betul-betul mencintainya. Tanpa pamrih. Tanpa ujung.

Daren memang bukan lelaki yang sempurna. Bukan seperti yang diidam-idamkan para pengikut setia kanal YouTube-nya. Tidak. Daren jauh dari kesempurnaan itu.

Akan tetapi, dari lubuk hati Nia yang paling dalam, ia tak pernah membenci lelaki itu. Apalagi, sosok Daren yang telah menjadi kawan ngobrol yang baik buat sang papa semenjak kepergian mama. Daren tak pernah tidak datang setiap kali papa merasa kacau dan sendirian.

Daren selalu ada.

Seperti pagi ini, lelaki itu tiba-tiba menyelonong masuk dengan membawakan sebuah nampan berisi sepotong roti isi dan segelas susu. “Sarapan dulu.”

“Sejak kapan di sini?” Nia bertanya sambil menyambut nampan dari kedua tangan Daren.

“Sejak tadi. Aku sudah sarapan bareng papa.” Daren duduk di ranjang, tepat di depan Nia. “Can I have a sweet kiss on my cheek this morning?” tanyanya dengan nada sok manis.

Mendengar itu, Nia tersenyum lalu mengecup pipi Daren. Sesuai yang diminta lelaki itu melalui kalimatnya barusan. “Sudah, sana keluar! Aku mau mandi dan siap-siap berangkat syuting. Kamu ada acara apa hari ini?”

“Ada meeting, tapi nanti bisa antar-jemput, kok.” Daren kemudian berpamit keluar ruangan. Menunggu Nia menghabiskan sarapan dan mempersiapkan kegiatan hari ini.

Ketika Daren menutup pintu kamar Nia dari luar, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari salah satu akun gosip terpercaya di I*******m. Ia tersenyum begitu mengetahui isi pesan yang ditulis oleh admin akun tersebut.

Daren menghubungi Revo, sahabatnya yang bekerja sebagai salah seorang presenter di program infotainment. “Bang, thanks atas saran lo. Beruntung, gue bisa ngeredam berita itu sebelum naik. Kayaknya, cewek gue juga gak tau soal berita di akun gosip itu.”

“Oh, ya? Kok, bisa dia gak tahu?”

“Dia agak kurang update sama berita di media sosial. Baguslah. Lagipula, gue percaya cewek gue gak begitu, kok, orangnya.”

“Gak begitu apa?” Bukan Revo yang menyahut, melainkan Papa Firza yang datang dengan kursi rodanya, dibantu Mbak Uli yang mendorong dari belakang. “Nia kenapa? Dia mencoba mengkhianati kamu, Daren?”

Dengan refleks Daren menggelengkan kepala. Jangan sampai berita ini membuat Papa Firza jadi khawatir dan gelisah. Namun, semua orang tahu seperti apa Firza itu. Jika ia bertanya, maka jawaban dari pertanyaan itu haruslah tepat dan benar. Jika jawaban itu mengambang, maka akan muncul pertanyaan baru, dan akan terus begitu sampai pertanyaan itu terjawab dengan tuntas.

“Bukan begitu, Pa. Ini hanya kesalahpahaman publik. Kemarin, aku gak bisa antar dia ke lokasi syuting. Terus, kayaknya dia sarapan di salah satu kedai yang dekat dengan lokasi, nggak tau gimana ceritanya, dia ketemu sama teman lamanya, cowok, dan mereka ngobrol gitu, Pa. Terus, ada orang yang gak bertanggungjawab, foto-foto mereka dan mengirim ke akun gosip. Akhirnya, foto itu menggiring publik untuk berasumsi macam-macam.”

“Lantas apa yang kamu lakukan? Kamu marahi dia?” Papa Firza bertanya, tetapi tak ada yang tahu, berdiri di pihak mana beliau saat ini.

Daren menggeleng. “Semalam aku ngajak Nia ke apartemen, kami makan malam bareng, Pa. Rencana, sih, mau tanya-tanya soal teman lamanya itu, tapi gak jadi,” katanya sambil meringis.

“Kamu pasti gak sampai hati mau bertanya?”

Daren mengangguk. “Daren coba urus sama pihak akun gosip itu untuk menghapus postingan beritanya, sekarang sudah aman, kok, Pa. Aku dan Nia juga baik-baik aja.”

Papa Firza meraih tangan Daren lalu berterimakasih pada lelaki itu sebab sudah bersikap sabar dalam menghadapi Nia, putri kesayangannya itu. Tidak lama setelah momen haru itu berlangsung, Nia keluar dari kamarnya lalu mencium tangan kanan sang papa yang sudah tak dapat bergerak secara leluasa lagi.

“Nia berangkat dulu, ya? Papa hati-hati di rumah.”

“Ingat kata-kata papa, Nia. Sebagai tokoh yang berpengaruh di masyarakat, kamu gak bisa bertingkah seliar yang kamu inginkan. Sekali kamu mendapat cap buruk di mata publik, akan susah mendapatkan nama baikmu kembali.” Papa berkata dengan nada terbata-bata. Namun, Nia tahu maksudnya adalah agar ia mampu untuk terus menjaga reputasinya sebagai seorang public figure.

“Nia selalu ingat, Pa ….” Gadis itu menjawab dengan nada malas karena bosan, ia terus saja diingatkan tentang semua itu. Apa tidak ada hal lain yang lebih penting?

“Jangan anggap ucapan papa ini gak penting, Nia.” Suara papa yang terdengar cukup berat itu ikut memberatkan langkah Nia keluar rumah.

Beruntung, Daren langsung berbisik, “Sudahlah … jangan kamu jadikan beban. Papa hanya mengatakan hal yang baik untuk kamu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status