Share

Bara yang Selalu Tersakiti

Semenjak kedatangan Bara ke kedai siang tadi, seketika pintu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang untuk membeli. Benar-benar keuntungan double buat Salim. Ya, meskipun kadang, Bara datang dengan membawa topik yang diulang-ulang dan terdengar membosankan, yakni tentang dirinya yang suka di-PHP-in cewek—kasihan ganteng-ganteng kena PHP, tetapi setidaknya, lelaki itu bersedia membayar lebih dan mendatangkan keuntungan lain lewat fans-fans yang modus mau ngelihat sosok artis yang lagi tenar itu sedang makan.

“Bara … Bara, kagak bosen, ya, lo. Setiap kali ke sini, cerita topiknya sama melulu? Kuping gue, nih, aja udah hafal sampe titik, koma, tanda tanya cerita lo itu, tau!” Salim menggerutu sembari menyuguhkan minuman yang dipesan sahabatnya itu.

Bara menghela napasnya. “Jahat banget lo, Lim. Sama sahabat sendiri begitu amat.”

Salim terkekeh. Merasa kepanasan karena ledekan sahabatnya itu, Bara pun buru-buru mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Fotogram, salah satu media yang menjadi tempat orang-orang membagikan momen berupa foto dan video. Ia mencari nama akun media sosial sang idaman hati lalu menunjukkannya pada Salim.

“Tuh, lihat postingan doi yang ini. Lihat komentarnya!” Bara menunjukkan sebuah komentar berupa emotikon berbentuk hati yang dikirim oleh seorang lelaki yang tidak ia kenali. “Berarti, sia-sia usaha gue ngedeketin dia selama enam bulan ini, Man! Sakit banget hati gue. Tahu-tahu dia udah sama yang lain.”

Salim malah semakin tergelak sambil men-scroll beranda milik Tsani, seorang model yang sedang digebet Bara itu. Sambil asyik scrolling, Salim bertanya, “Jadi, udah fiks pacaran ini?”

Bara cemberut melihat Salim yang tersenyum meledeknya. Salim begitu karena ia betul-betul sudah bosan mendengar opini Bara yang nyaris tidak pernah menjadi kenyataan itu. Bara selalu bilang, “Tsani pasti udah jadian sama yang lain!”

Padahal, lelaki itu sebenarnya tak pernah tahu dan bertanya apakah Tsani masih sendiri atau sudah memiliki kekasih.

“Lagian, udah gue bilangin dari dulu, langsung tembak aja itu anak pasti terima, dah! Secara, lo ganteng, berbakat, setia, mana mungkin ada cewek yang nolak pesona lo, Bro?” Salim masih asyik memeriksa foto-foto di akun I*******m Tsani.

Sampai ketika ia terhenti di sebuah foto.

“Waktu itu aja gue ditolak cewek.” Bara menyeletuk, kebetulan ia melihat foto yang saat ini terpampang di layar ponselnya. Sebuah foto yang sedang Salim amati sedikit lebih lama daripada foto-foto lainnya. “Nah, ini foto pas lawan main gue si Nia. Waktu itu Tsani dateng, tuh.”

“Iya, gue tau dia.” Salim masih fokus dengan wajah Nia yang tersenyum penuh antusias di depan kamera itu. Di dalam foto, ada sosok lelaki yang asyik merangkul mesra pinggang Nia. Ia yakin, lelaki itu pastilah kekasihnya.

“Nah, waktu itu cowok Nia juga dateng. Akhirnya, gue tau alesan Nia nolak gue apa.”

“Nia nolak lo?” Salim melongo tidak percaya. Bukan karena Nia menolak Bara, melainkan tidak percaya bahwa sahabatnya itu ternyata pernah nembak cewek sebelumnya. “Lo pernah nembak Nia? Kok, lo gak cerita?!”

Bara mengangguk. “Dua bulan sebelum gue dipasangin dalam film sama itu anak, gue nembak dia, tapi ditolak. Katanya, dia gak suka hubungan yang terlalu terburu-buru dan dipaksakan. Setahu gue, cowoknya sekarang emang sahabatnya dari kecil. Dan … gue gak cerita ke lo itu karena gue gengsi, takut ditolak terus lo ledekin akhirnya.”

Mendengar alasan Bara, Salim tertawa lagi. Ujung-ujungnya diledekin juga, kan?

“Oh … jadi, gara-gara lo ditolak karena katanya Nia gak suka hubungan yang terburu-buru, makanya lo ngegantungin Tsani karena takut ditolak dengan alasan yang sama kayak waktu lo nembak Nia?” Salim mencoba mengutarakan opininya berdasarkan cerita Bara.

Bara mengangguk mantap. Akhirnya, ia betulan merasa sedang berkonsultasi dengan pakar cinta. Biasanya, mah Salim kalo di-curhat-in kerjaannya menggerutu saja. “Pinter!” kata Bara sambil mengacungkan ibu jari.

“Iya, emang gue pinter. Elo yang bego!” Salim menjitak kepala Bara setelah mengunci ponsel milik sahabatnya itu. “Cewek itu beda-beda, Bara! Gak semuanya suka lama-lama dan gak semuanya mau nungguin digantung lama-lama, Man! Bego banget, sih, kenapa lo ngukur semua cewek sama kayak Nia. Jelas-jelas Nia itu beda!”

Ups! Salim keceplosan. Ia tanpa sengaja berucap sesuatu yang mungkin terdengar ambigu. Namun, untungnya Bara tidak pandai menganalisis. Jadi, sepertinya, sahabat Salim itu tidak akan menyadari kalimat Salim barusan.

“Beda apanya, ya, Lim?”

Salim tertegun. Begitu tahu ternyata Bara merasakan ada yang janggal dalam kalimat Salim. “Beda … beda, ya, beda itu, Bar! Jelas, bedalah! Orang mana ada yang sama, Bar?”

Bisa juga Salim mengeles. Meski cara bicaranya jadi gagu, beruntungnya Bara tidak menyadari itu. Sebetulnya, Salim juga tidak tahu apa yang membuat sosok gadis bernama Alenia itu terlihat berbeda di matanya. Semacam, suatu ketertarikan akan sesuatu tanpa disertai alasan tertentu.

“Iya, sih, tapi ngomong-ngomong, Nia sekarang mesra banget sama cowoknya. Jadi envy deh. Harusnya, kan dia mesra-mesraan gitu sama gue. Andaikata waktu itu gue diterima.”

Mendengar curhat colongan Bara, Salim lagi-lagi menjitak kepala sahabatnya itu.

***

“Hachim!” Nia tiba-tiba bersin ketika sedang menyantap nasi kotaknya di lokasi syuting. Ali menyodorkan sekotak tisu untuk mengusap hidung gadis itu. “Aduh … ada yang ngerumpiin gue, nih, pasti.”

Ali terkekeh sambil menyeruput es tehnya. “Gede rasa amat lo jadi manusia.”

“Ya, bukannya gitu. Kata mbak gue, Li, kalo kita bersin tiba-tiba waktu gak ada angin gak ada hujan, itu tandanya ada yang ngerumpiin kita di belakang.” Nia bicara seolah yakin dengan pemikiran mitologinya itu.

Ali hanya mencibir sambil melanjutkan makan siangnya. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya sosok pria bertopi yang sepertinya kebingungan mencari seseorang, Ali tahu siapa dia. Itu sebabnya, Ali menyeletuk, “Ini yang disebut gak ada angin gak ada hujan, main dateng aja. Mengacaukan suasana, deh!”

Nia mengernyit. “Siapa yang dateng?”

Ali menunjuk ke belakang tubuh Nia. “Itu!”

Nia menoleh ke belakang. Dilihatnya, Daren sedang memandangi sekeliling lokasi. Nia menjitak kepala Ali lalu berkata, “Sembarangan lo! Cowok gue itu.”

Tanpa menanti tanggapan Ali, Nia beranjak menemui sang kekasih yang tersenyum hangat padanya. Nia bertanya dalam hati, “Tumben?”

Akan tetapi, ketika itu, sesungguhnya pertanyaan Nia yang ia tujukan pada Daren ialah, “Kok, udah ke sini? Acaranya sudah selesai?”

“Kok, nanya gitu? Gak kangen emangnya?” Daren bertanya dengan ekspresi sok imut, membuat Nia gemas secara tidak sadar.

“Kangen, dong!” Nia berkata sambil tersenyum penuh antusias.

Daren melentangkan kedua tangannya lalu berkata, “Peluklah!”

Padahal, baru beberapa jam mereka tak berjumpa, Daren tiba-tiba berubah sebegitu romantisnya. Nia tak melihat Daren memegang kamera atau mikrofon. Ia juga tak membawa asisten atau kameramennya ke lokasi.

Tanpa basa-basi, Nia menghambur ke dalam pelukan lelaki itu. Meski dengan perasaan setengah tidak percaya, juga hati yang bertanya-tanya. Ada apa dengan Daren sebenarnya?

Namun, tak apalah. Setidaknya, Nia jadi merasa benar-benar memiliki seorang kekasih. Akhirnya ia menemukan sosok lelaki yang perhatian dan romantis padanya. Hal yang sangat Nia impikan sejak sebelum berpacaran dengan Daren.

I love you,” bisik Daren.

Nia mengangguk sembari membalas bisikannya, “Ya … me too.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status