Share

Ada Apa dengan Daren?

Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.

Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.

“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.

“Apa?”

“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”

Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”

Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”

Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini, ia jadinya  tidak bersemangat lagi. Namun, sebetulnya ini bisa jadi kesempatan untuk Nia untuk bertanya sesuatu pada Daren.

“Daren, dari mana kamu tau kalau aku sarapan di kedai milik temanku?” Pertanyaan itu mencelos begitu saja. Membuat Daren kesulitan mencerna dan mengatur jawabannya. Sekali lagi, Daren tidak ingin hal 'itu' terbongkar.

“Tau aja. Ada temenku cerita.”

“Dia cerita gimana?” Nia penasaran. Bahaya kalau teman Daren cerita yang macam-macam, mengingat bagaimana situasi di kedai Salim waktu itu.

“Ya, gitu. Dia bilang, Nia sedang makan bareng cowok, pemilik kedai. Aku, ya, diam aja. Gak peduli mau itu siapa karena yang jelas, aku percaya ke kamu. Kalian hanya berteman, aku tau.”

Nia mengangguk. Ia kira, Daren akan marah begitu mengetahui ini. Sepanjang pengetahuannya tentang Daren, lelaki itu adalah tipe orang yang suka iri dan cemburuan melihat Nia melakukan sesauatu bersama pria lain.

Namun, perbedaan itu membuat Nia jadi tidak nyaman dan curiga. Ia berusaha untuk terhanyut dan melupakan resahnya karena itu sangat tidak masuk akal. Namun, ia tetap tidak bisa.

“Kamu gak marah?”

Itulah pertanyaan selanjutnya. Pertanyaan yang sangat dihindari Daren karena itu yang menjadi alasan mengapa ia melakukan perubahan. Namun, ia terlalu gengsi mengakuinya.

“Enggak.”

“Tapi kenapa?”

“Memangnya kamu mau aku marah?”

Pertanyaan yang dilontarkan Daren dengan nada datar itu membuat Nia akhirnya menutup mulut dan memilih untuk menggeleng dengan cepat. Lelaki itu lantas tersenyum.

“Ngomong-ngomong, aku pengin ninggalin aktivitasku membuat vlog … dan mengerjakan sesuatu yang lebih berguna.”

Apa lagi itu? Nia sudah kehabisan akal untuk memahami jalan pikir lelaki itu. Kenapa tiba-tiba?

How?” tanya Daren. “Kamu setuju?”

“Aku gak ada hak untuk setuju atau enggak setuju,” kata Nia. Dia benar, tetapi bukan itu jawaban yang ingin Daren dengar. Ia ingin melhat Nia senang dengan keputusan yang ia pilih, tetapi gadis itu tak menunjukkan tanda sama sekali.

Hingga tibalah mereka tepat di area lokasi syuting Nia. Ada satu pertanyaan yang tertahan di tenggorokan Nia, tak mungkin ia ajukan sekarang karena waktu sudah sangat mepet. Jika sempat, ia ingin bertanya, apa yang akan Daren kerjakan kelak setelah meninggalkan hobi--pekerjaannya?

Sejauh pengetahuan Nia, Daren meninggalkan semua pekerjaannya demi menjadi seorang vlogger. Demi menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan dan melakukan hal-hal yang membuang uang karena katanya, uang yang terbuang itu akan kembali mendatangi dompetnya.

Lalu bagaimana dengan karirnya?

“Gimana pendapat kamu soal niat aku?” Daren mengulangi pertanyaannya lagi sebelum Nia memilih turun dari mobil.

“Selama menurutmu itu baik, ya, lakuin aja.”

Nia membuka pintu mobil secara mandiri. Sementara ia melangkah turun, Daren memukul setir mobilnya sehingga suara klakson tanpa sengaja berbunyi dengan cukup keras, cukup mengagetkan. Nia tersentak.

“Kenapa tadi?”

Daren hanya memberi cengiran yang tidak menjawab apapun. Nia memutuskan untuk pergi.

***

“Hai, Citra … kesayangan semua orang!” Ali menyapa Nia dengan sebutan tokoh utama dalam film. Akan tetapi, Nia hanya membalasnya dengan seringai serta lambaian tangan.

Ali berlari dan lantas duduk di sofa yang kebetulan juga sedang diduduki Nia. “Ada apa, sih, Cit?”

“Citra lagi kesal!” Nia bicara sambil mendengus sebal. “Kesal sama Nia. Kenapa dia gak pernah bisa baca pikiran pacarnya?”

Suasana hati Nia semakin memburuk waktu melihat Ali yang bukannya bersimpati, tetapi malah menertawakannya. “Ah, udahlah! Bima emang nggak pernah peka!”

Ali mengernyit. “Ye … malah Bima disalahin!”

“Kan di cerita, Bima emang selalu salah,” kata Nia.

Tanpa Nia sadari, oleh karena ucapannya membuat mereka jadi tergelak bersama. Cukup melegakan dan bisa melipur perasaan gundah Nia yang disebabkan oleh Daren. Ralat, bukan Daren penyebabnya melainkan oleh sebab pemikirannya sendiri.

“Daren kenapa lagi, sih?” Setelah gelakan itu usai, Ali bertanya dengan penuh rasa tulus. Meski ia tak yakin bisa membantu Nia keluar dari masalahnya.

“Gak tau kenapa, tiba-tiba dia pengin berhenti nge-vlog.” Nia bercerita dengan suara serak, dia sedikit kurang minum.

Daren beranjak untuk mengambil sebotol air mineral dalam ranselnya lalu menyerahkannya pada Nia. “Gue kaget denger berita lo. Padahal, gue baru aja mau mulai bikin channel. Pengin ngajakin dia collab juga. Eh, malah mau udahan. Kenapa itu, Ni?”

Nia menggidikkan bahu, tidak tahu. “Dia cuma bilang, dia pengin berhenti dan malah minta persetujuan aku. Aku kan gak berhak untuk menyetujui atau tidak tentang pilihan hidupnya, ya?”

Lagi-lagi, Ali tertawa karenanya. Temannya satu ini benar-benar polos sampai tidak tahu apa maksud Daren mengajukan pertanyaan itu padanya. “Dia kan pacar lo, Ni. Ya, menurut gue wajar aja dia minta masukan dari lo sebagai partner. Itulah gunanya pacar.”

Nia menggeleng-gelengkan kepalanya. Pernyataan Ali terlalu membulat untuk membuatnya mengerti apa arti kekasih dalam hidup setiap manusia. Meski ia sering menerima perlakuan yang terkesan mengatur dan mengekang, tetapi ia tidak setuju dan tidak berkenan melakukan hal seperti itu pada orang lain.

“Huh ….” Nia hanya bisa menghela napas ketika memandangi skrip yang baru saja ia keluarkan dari dalam  ransel merah muda kesayangannya. “Udah, ah! Gue mau ngehafalin skrip aja.”

***

Salim sedang mengorak-arik telur di atas teflon ketika ponsel yang ia letakkan di atas galon itu bergetar. Salim tak buru-buru mengangkatnya sebab harus memperhatikan telur itu agar tidak gosong.

Setelah matang, ia meletakkan telur orak-arik itu ke atas piring berisi nasi goreng yang ia buat dengan bumbu sesuai feeling. Begitu yang dahulu mamanya ajarkan sewaktu kecil. Kebetulan, ketika Salim memeriksa ponselnya, nama sang mama tertera di layar.

Tanpa menyadarinya, lelaki itu tersenyum seraya menggeser layar untuk mengangkat telepon itu. “Selamat pagi, Ibu Salma ….”

Terdengar suara kekehan seorang wanita di seberang telepon. “Apa kabar, Le?”

“Baik, Bu Salma ….” Salim memang kerap memanggil mamanya dengan sebutan Ibu Salma atau kadang-kadang Nyonya Salma, untuk bercanda. “Kangen sama Thole, ya, Bu?”

“Mama pengin ke rumah kamu besok, mau dibawain apa dari Jogja?”

“Apa aja yang penting masakan mama.” Ucapan Salim terdengar sangat tulus. Siapa pun yang mendengarnya, pastilah akan dibuat meleleh. Sama seperti perasaan sang mama di seberang telepon sana.

“Udah ada yang perlu mama temuin belum, nih?” tanya mama yang jujur saja, tidak bisa dimengerti Salim.

Lelaki itu memilih untuk berbicara sambil duduk dan menyantap sarapannya. “Maksud mama gimana?”

“Kura-kura dalam tempurung ….” Mama meledek lewat telepon sambil tertawa kecil.

“Perahu, Ma ….” Salim menyanggah, mama langsung meralat. “Salim beneran gak ngerti, kok. Emangnya mama mau nemuin siapa?”

“Calon mantu … he he he ….”

“Heh, belum ada lah!”

Setelah itu, obrolan tentang calon mantu terus berlanjut sampai jam dinding menunjuk angka sembilan tepat. Para karyawannya mengirim pesan meminta izin untuk membuka kedai. Ia pun berpamit pada sang mama untuk mengerjakan kegiatan sehari-harinya.

Mama memberi kecupan jarak jauh lewat telepon. Salim tanpa ragu membalas kiss bye mamanya sambil berkata, “I love you, Bu Salma.”

I love me too.” Mama tertawa setelah membalas ucapan Salim.

“Ih, Mama mah … mama nggak sayang Salim apa?”

“Mama sayang papa.” Mendengar itu, Salim berdecak lesu. “Dan anaknya tentu saja.”

Salim jadi tersenyum begitu mendengar ucapan cinta dari mamanya. Meski Bu Salma sedikit menyebalkan, dalam artian suka iseng, wanita itu masih dan akan selalu menjadi satu-satunya cinta dalam hati Salim. Sebelum ia menemukan seorang perempuan yang mamanya begitu ingin temui.

Santiara Mardan

Selamat membaca part 6 dan semoga masih tetap menyukai karyaku, teman-teman! Salam.

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status