Share

Salah Orang

“Sesuai aplikasi, ya, Mas!” Nia berujar untuk yang kedua kalinya karena supir taksi tersebut tidak juga bergerak menginjak pedal gasnya.

“Mas! Ayo, dong, cepetan! Ini saya lagi menghindari orang jahat, nih. Saya lagi dalam bahaya,” ujar Nia dengan suara tergesa-gesa. Berharap supir itu langsung mengerti dan membawa mobilnya pergi dari sana.

Supir itu mengegas lurus. Ia tau, ada kesalahpahaman di sini. Akan tetapi, ia belum berani menanyakan hal itu karena ia merasa perempuan yang duduk di jok belakangnya itu sedang khawatir.

Di tengah perjalanan, barulah Nia menyadari bahwa si supir taksinya ini membawanya ke jalan yang salah. Nia protes. “Mas, tau jalannya, nggak, sih?” tanyanya dengan nada kesal.

“Maaf, Mbak, tapi saya ....”

“Untung aja udah jauh dari kedai dan saya gak dilihat sama orang itu. Ya udah, sekarang jalan langsung ke tujuan aja!” perintah Nia sambil membuka kunci ponselnya dan mendapati delapan panggilan tak terjawab dari Daren.

Dan satu panggilan dari Ali.

“Halo, Li? Kenapa? Daren lihat lo?” tembaknya selepas mengangkat telepon.

“Enggak. Lo di mana, sih, udah dipesenin taksi bukannya naik malah minggat. Supirnya nungguin, nih!” Ali menggerutu di seberang telepon.

Ha? Taksi? Ini Nia sudah duduk aman di jok mobil taksi.

“Ini gue udah naik,” ucapnya.

“Hah? Lo naik taksi mana?” Ali bertanya kaget.

Nia memelotot. “Jadi, maksud lo gue salah naik taksi?” tanyanya. Ia langsung tahu karena tak mungkin Ali bicara begitu kalau keadaannya aman-aman saja. Nia pun memutuskan sambungan telepon dengan Ali.

“Mas,” sapa Nia dari belakang. “Mas tukang taksi online bukan, ya?”

Mendengar pertanyaan Nia yang bernada ragu itu, si supir tertawa. Hanya tertawa sambil memfokuskan pandangannya ke jalan raya.

“Mas, jawab, dong! Malah ketawa,” gerutu Nia.

Bukannya menjawab pertanyaan Nia, lelaki itu malah berkata, “Sekarang, kamu kasih tau dulu ke mana tujuanmu itu. Nanti saya kasih tau siapa saya.”

Nia menggeleng dan menyuruh supir tersebut untuk setop. “Kamu kalo tau saya salah naik, ya, ngomong, dong! Malah bawa saya ke mana ini, gak tau. Setop!”

Lelaki itu menepikan mobilnya di depan minimarket pinggir jalan. Mengunci mobilnya ketika Nia hendak keluar. “Tunggu dulu, kamu sudah menganggap saya supir taksi, bayar biayanya dulu sebelum pergi!” katanya.

Nia mengembuskan napasnya kemudian merogoh tas, mencari beberapa lembar uang cash untuk membayar biaya taksi tersebut. Namun, lagi-lagi lelaki itu tertawa. “Saya cuma bercanda. Saya berniat mengantar kamu ke tempat tujuan karena tanggung, saya sudah melenggang jauh dari tempat tujuan saya sebelumnya.”

Nia diam. Ia kembali memasukkan uang ke dalam tas dan menutupnya kembali. “Mau ke rumah.”

“Kasih tahu saya alamatmu, biar saya antar.”

“Boleh gak kalau ngomongnya lo-gue aja? Gak biasa gue ngobrol pakai saya-kamu.” Nia berujar dengan nada seenaknya. “Kalau gak bisa, ya, udah ... rumah saya—”

“Bisa. Sebutin aja!”

Nia menyebutkan alamat rumahnya dengan tepat dan lelaki itu menyanggupi. Akhirnya mereka pergi ke tempat yang disebut Nia, dengan santai asalkan sampai. Ya, sudah sampai.

Nia berterimakasih dan bermaksud mengajak lelaki itu singgah. Mbak Uli pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk makan siang. Namun, begitu ia turun, sebuah mobil juga kebetulan tiba dengan seorang supir yang turun dan menyerahkan paket makan siang yang tadi dipesannya bersama Ali. Ia berterimakasih lalu memberi supir itu tip.

Sementara lelaki yang menyetir mobil tadi ikut turun dan entah mengapa malah menghampiri Nia. Perasaan, Nia belum bicara mengenai tawaran makan siang, deh.

“Pesan makan di Ngopie, ya?” Lelaki itu bertanya sambil menunjuk kantong kresek yang dipegang Nia.

“Iya.”

“Suka makan di sana?”

Nia diam sambil bergidik bahu. “Em ... belum bisa jawab, sih. Soalnya baru pertama kali makan.”

Lelaki itu meng-oh panjang. Barulah ia teringat bahwa mereka belum saling mengenal satu sama lain. Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya dan berujar, “Gue Salim.”

Nia mengangguk dan menjabat tangan lelaki di hadapannya itu. “Ya, salam kenal, Salim.”

“Dan lo?”

Nia mengernyit begitu mendengar Salim menanyakan namanya. “Mohon maaf, nih. Emangnya, lo gak kenal gue? Gak pernah lewat gitu di TV atau Media Sosial lo?” tanyanya merasa aneh.

Masa ada yang tidak mengenal namanya?

Alenia Firta Anjaya. Nia, lho!

Salim tertawa kecil melihat kebingungan di wajah gadis itu. “Bercanda ... tau, kok. Pemain, kan?”

Maksudnya, pemain film. Nia mengangguk lega.

“Siapa, sih, yang gak kenal Alenia yang lagi viral series-nya?” goda Salim. Nia tersipu.

“Kali aja lo gak tau.”

“Tau lah ... lo pernah jadi lawan mainnya sahabat gue.” Salim bicara sambil menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. “Si Bara.”

Mulut Nia membulat seketika. “Oh, astaga ... lo pemilik kedai Ngopie?” Nia memastikan apakah ucapan Ali tadi benar dan dapat dipercaya atau tidak. “Malah gue kira supir taksi!”

Salim malah mengernyit keheranan. “Kenapa lo bisa tau kalau gue ....”

“Dari Ali.”

Salim tak heran akan hal itu. Semenjak Bara mempromosikan dagangannya, kedainya jadi viral seketika di kalangan artis. Ini keuntungan buat Salim dan ia sangat bersyukur karena hal itu. “Makasih sudah pesan di kedai Ngopie,” ucap Salim.

Nia mengangguk. “Makasihnya ke Ali, gue aja masih ngutang duit dia soalnya tadi buru-buru.”

Salim hanya mengiakan lalu segera pamit pulang. Ia tak tahan mendengar permintaan maaf dari Nia yang berterusan gara-gara mengira dirinya adalah supir taksi. Di sepanjang perjalanan meninggalkan rumah gadis itu, Salim hanya bisa tertawa sendiri. Tertawa karena memang lucu.

Dari awal, dari ketika gadis itu memasuki mobil dan bertingkah selayaknya seorang bos memerintah bawahannya. Selanjutnya sewaktu gadis itu menyadari bahwa dirinya salah, dan berulangkali meminta maaf meski disertai rasa gengsi. Hal itu terasa lucu jika ditayang ulang di kepala Salim.

Akan tetapi, kira-kira hal apa yang membuat gadis itu terlihat khawatir dan ingin buru-buru pergi?

***

Mobil Daren tiba di rumah Nia yang artinya akan ada bencana terjadi di kamar gadis itu. Daren akan marah karena teleponnya tidak diangkat. Daren akan mengamuk karena Nia tidak pulang bersamanya.

Seperti biasa, sesampainya di rumah, Daren menyapa papa Nia yang sedang melamun di teras. Berjemur meski waktunya tak sesuai.

“Pa,” sapanya.

Firza Adinata, papa Nia yang sedang terduduk kaku di kursi itu hanya bisa tersenyum lega. Melihat sosok yang sudah dianggapnya seperti putra sendiri itu tiba, meluangkan waktu bersama putri kandungnya. Putri kesayangannya.

“Izin ngobrol sama Nia, ya, Pa.”

Firza mengangguk.

Daren melangkah. Mengetuk kamar Nia, menunggu gadis itu entah melakukan apa hingga harus menghabiskan waktu lama untuk membukakan pintu.

Nia nongol. “Sabar, sih ....”

“Kenapa bukanya lama?” Daren bertanya sambil memperhatikan sekeliling kamar Nia. “Nyembunyiin apa dari aku?”

“Gila kamu! Curigaan mulu sama aku,” celetuk Nia sambil berjalan mundur. Ia duduk dan kembali membuka laptopnya yang tadi ia tinggal untuk pergi ke toilet. “Dari toilet aku.”

Daren meng-oh pendek. “Kenapa pulang duluan? Pulang sama siapa?”

“Taksi online.”

“Supirnya cewek atau cowok?”

Nia mengernyit keheranan sekaligus tidak percaya dengan pertanyaan Daren itu. “Astaga, Sayang. Itu hanya supir taksi ....”

Daren menggidikkan bahu. “Aku gak peduli. Kalo dia cowok, ya, gak boleh. Kamu, kan pacarku.”

Nia mengembuskan napasnya kasar lalu bergumam dengan suara kecil, “Ya, kalo bukan atas permintaan papa juga aku gak mau jadi pacar kamu.”

Daren menata sebuah meja di salah satu dinding Nia yang kosong. Tempat yang sering dijadikan background oleh Daren untuk video di kanal YouTube-nya. Ya, Nia sudah hafal, jika Daren melakukan itu pasti untuk membuat konten.

Konten yang itu-itu saja.

“Ngonten apa?” tanya Nia dengan nada malas.

“QnA,” jawab Daren sambil tersenyum seenaknya. Ia merapikan beberapa bingkai foto Nia yang dapat terlihat di belakang punggungnya.

“Lagi?!” Nia membelalak.

Daren mengangguk. “Iya lah. Kamu gak lihat InstaStory aku? Banyak banget pertanyaan buat QnA. Mereka suka aku bikin QnA bareng kamu.”

“Dan sekarang bareng aku lagi?” Nia bertanya enggan.

“Iya, dong! Tapi kamu gak nongol di kamera juga gak apa-apa. Kamu kayaknya lagi badmood, ya?” Daren bicara seolah melihat ekspresi Nia padahal lelaki itu sedang sibuk menata kamera.

“Hmm ....” Nia hanya berdeham.

It’s okay ... penontonku bakalan tetep lega, deh, soalnya aku bikin video di rumah kamu. Walaupun kamu gak ikut.”

Nia hanya memutar bola matanya. Malas menanggapi tingkah Daren. Lelaki itu pun ber-opening.

“Hello, Guys! Welcome back to my channel. Gue Daren Sanjaya dan hari ini, gue akan jawab pertanyaan-pertanyaan yang udah kalian ajuin di Question Box di Instastory gue.”

Diam-diam, Nia mencibir kekasihnya itu.

“Seperti yang kalian tau, gue lagi ada di rumah pacar gue. Alenia. Mau lihat dia? Anaknya lagi badmood, tuh!” Daren memutar kameranya dan menyoroti Nia yang sedang menatap layar laptop sambil cemberut. “Lagi ngambek, kayaknya, tapi tetep ngegemesin, kan? Iyalah, pacar gue gitu, lho.”

Nia rasanya ingin muntah. Bulshit sekali si Daren itu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status