Share

Lie of Life
Lie of Life
Penulis: Santiara Mardan

Sesuai Aplikasi, Ya

“Non Nia, bangun … telepon Non bunyi ….”

Begitu cara halus Mbak Uli membangunkan Nia setiap pagi.

Terbayang betapa susahnya Nia terbangun karena suara Mbak Uli lebih mirip nada bicara seseorang yang menyuruh tidur. Padahal, Nia harus bangun saat itu juga.

“Non Nia ….” Mbak Uli membangunkan gadis yang sedang menikmati waktu ngebo-nya itu sekali lagi. Barulah ia terbangun ketika mendengar Mbak Uli menyebut nama Daren, kekasih hatinya.

“Non Nia, Mas Daren video call,” begitu katanya.

Tentu Nia langsung memelotot, tercengang. Daren? Menelepon pagi-pagi begini?

“Pagi, Sayang?” tanya Nia dengan nada lesu sehabis bangun tidur. “Kamu lagi di mana?”

Daren dengan senyuman manisnya itu menjawab, “Aku lagi di kamar, nih. Lagi ngonten. Dapet challenge disuruh nelepon cewek tersayang, ya, aku nelepon kamu.”

Barangkali, setiap gadis yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Daren, mereka akan melting. Merasa perlakuan Daren itu manis sekali. Ditambah lagi, wajah tampan nan epic yang dimilikinya sungguh menunjang tingkat kebaperan bagi siapapun yang mendengar gombalannya.

Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Nia, sang kekasih.

Tidak. Nia tidak mengharapkan perlakuan manis itu di depan kamera ataupun penonton setia kanal YouTube dengan nama Daren Sanjaya, lelaki Jawa yang dalam penamaannya, sang ibu terinspirasi dari film FTV dengan tokoh utama bernama Daren. Sanjaya adalah nama keluarga.

Nia sungguh tidak mengharapkan itu. Ia hanya ingin kesenangan sederhana yang Daren berikan padanya, tanpa harus ada yang mengetahui. Termasuk Darens, begitu nama fansbase-nya.

Daren mengernyit curiga. “Ih … kok, wajahnya ditekuk gitu? Lagi capek banget, ya, Sayang?”

Nia mengangguk. Dalam hati, ia ingin bilang bahwa ya, gue capek dengan semua perlakuan lo yang sok sweet itu. Ya, sebetulnya, Nia mengakui bahwa Daren adalah orang yang sangat baik dan cukup perhatian. Namun, seringnya lelaki itu bersikap tegas dan hampir layak disebut kasar, daripada bersikap manis seperti yang ditunjukkannya pada orang-orang di setiap konten.

Nia muak. Ia pun berujar, “Eh, udah, ya … aku mau mandi, mau berangkat shooting.”

Daren mengangguk. “Oke, kita lanjut nanti, ya, Sayang. Love you ….”

“Me too,” balasnya kemudian mematikan telepon video itu. Ia pun menyerahkan ponselnya pada Mbak Uli untuk di-charge selagi ia bergerak mandi dan bersiap berangkat ke lokasi shooting.

***

Seorang perempuan yang sedang berjalan terburu-buru di luar sebuah kedai minuman, tanpa sengaja menumpahkan minumannya hingga mengenai apron yang dikenakan oleh Salim. Namun, bukannya marah, lelaki itu malah tersenyum pada si pelaku. Ia lantas berkata, “Maaf, saya nggak sengaja menumpahkan minuman Kakak. Nanti saya ganti yang baru, ya.”

Namun, sebelum Salim melangkah ke dalam kedai, si pelaku menyetop lelaki itu. “Gak. It’s okay, ini bukan salah kamu. Aku yang lagi buru-buru, makanya gak lihat kamu lagi sibuk melayani pelanggan.”

Salim tersenyum. “Gak apa-apa, biar saya ganti, Kak.”

“Eh, gak usah. Nanti kamu diomelin atasanmu, lho. Gak apa-apa, biar saya nanti beli lagi aja,” kata perempuan itu menolak.

Salim mengangguk sopan. “Kalau memang Kakak sedang buru-buru, saya kasih voucher minum gratis aja, ya. Sebagai ganti minuman Kakak yang tumpah karena saya. Gak apa-apa, Kak, terima aja. Semoga Kakak senang membeli minuman di tempat kami,” katanya dengan suara khasnya yang terdengar manis itu.

Si perempuan pun mengangguk. “Oke, makasih, Mas. Nanti dan besok-besok, saya pasti mampir ke Ngopie,” ujar perempuan itu penuh antusias lalu pergi.

Benar, kedai itu bernama Ngopie. Tidak ada kepanjangan ataupun filosofi, kebetulan tercetus saja dalam pemikiran sang pendiri. Ngopie.

Salim kembali ke dalam kedai dan menemui seorang lelaki yang sebetulnya adalah pegawai di kedai. Ya, sebetulnya dia lah pemilik kedai yang sudah membuka empat cabang di Jakarta itu. Sayangnya, dengan penampilan sederhana dan apron yang kerap dipakainya setiap kali melayani pelanggan, orang-orang jadi banyak tidak tahu bahwa dia merupakan pendiri kedai.

“Jon, nanti gue ke kedai di Jaksel sampai malam. Lo rencana mau tutup jam berapa?”

Jon si pegawai yang ditanyai itu pun terkekeh. “Lo itu atasan paling aneh yang pernah gue temui, tau?”

Salim tidak mengerti maksud teman sekolahnya itu hanya menanggapi dengan pertanyaan, “Ngomong ape, sih, lo?”

“Di mana-mana, seorang atasan itu yang menentukan waktu buka dan tutup kedainya. Kami para pegawai tinggal nurut. Nah, elo nggak gitu, Bro. Lo justru nanya ke pegawai, mau nutup jam berapa. Kan aneh?!”

Kini giliran Salim yang terkekeh karena perkataan Jon. Ia hanya bergeleng kemudian berpamit pergi, tanpa menanggapi opini Jon tentang keanehan dirinya sebagai seorang atasan atau pemilik kedai.

Lagipula, itu hanya candaan Jon yang sebetulnya memang nyaman bekerja dengan seorang atasan yang sejatinya, sudah dikenalnya sejak lama. Jon meneruskan pekerjaannya membuat beberapa minuman pesanan pelanggan.

Seperti katanya tadi, Salim memang akan pergi ke salah satu cabang kedai yang ada di daerah Jakarta Selatan. Lelaki itu akan mengevaluasi pendapatan di kedai tersebut selama sebulan terakhir.

***

“Aku gak tau gimana harus ngejelasinnya ke kamu, Citra! Mama sudah tiada!” tegas seorang lelaki pada perempuannya yang terkulai lemas sehabis menangis histeris karena tidak terima kenyataan bahwa sang ibunda meninggal dunia.

“Mama masih ada, Bim! Mama masih senyum ke aku semalam. Mama masih bicara sama aku sebelum tidur. Mama masih ada!” tegas Citra yang energinya seketika kembali untuk membantah tudingan Bima, sang kekasih.

“Ini sudah takdir, Citra … ini takdir. Kita gak bisa menentukan kehidupan. Apa yang terjadi, itu sudah ketentuan Tuhan!” Bima tak henti-hentinya mengingatkan Citra untuk mengikhlaskan kepergian mama.

“Kenapa kamu tega bohongin aku, sih, Bima? Mama itu masih ada. Jangan ngomong sembarangan, dong, tentang mama!” tegas Citra sekali lagi.

Bima memeluk sang kekasih dengan maksud menenangkan gadis itu. Ia tak sanggup jika melihat orang yang dicintainya hancur seperti ini. Semakin erat Bima mendekapnya seraya berujar, “Semua yang datang pastilah akan pergi, Citra. Jangan buat aku semakin sedih karena sikapmu yang seperti ini. Aku tak kuasa ….”

Cut!” Sutradara menghentikan proses shooting di scene tersebut sambil bertepuk tangan. “Sungguh totalitas” katanya.

Nia sebagai Citra dan sang lawan main itu menghela napas lega setelah scene usai. Ali yang berperan sebagai Bima itu mencoba mengajak Nia yang sedang asyik menyanyi sambil berjalan ke tempat duduk.

“Nia,” sapanya.

Nia menoleh tentunya. Bertanya ada apa, berharap ada hal penting soal pekerjaan yang akan mereka balas saat ini. “Udah makan belum, lo? Makan dulu, yuk!”

Nia menatap arloji di tangannya. Kebetulan, jam menunjukkan pukul dua sore dan mereka belum makan siang. Bolehlah ia mengiakan ajakan Ali pergi mencari makan siang. Lagipula, scene mereka sudah selesai dan tidak ada tanda-tanda Daren akan menjemput. Ia pun setuju.

Ali membawa Nia ke sebuah kedai kopi. Nia tentu mengernyit. “Kenapa di sini? Lo ngajak gue makan atau ngopi, Li?” tanyanya.

Ali memberi kerutan di kening. “Hah? Jadi, lo gak tau kedai ini? Ya ampun, Nia … ke mana aja lo?”

Tembakan Ali begitu tepat sasaran. Ia tahu bahwa Nia tidak mengetahui kedai tersebut karena kalau tahu, tidak mungkin Nia menanyakan hal itu.

“Astaga, beneran belum pernah ke sini?” tanya Ali.

Nia menggeleng. “Emangnya enak?”

“Woi … ini kedai ngopi yang lagi tenar di kalangan artis. Masa lo gak tau, sih? Cowok lo gak pernah ngajak ngonten ke sini?” sindir Ali sambil bergegas turun dari mobilnya bersamaan dengan Nia.

Nia menyeringai. Beberapa hari berlalu sejak mereka shooting series bersama, Ali tahu mengenai hubungan Nia yang sebetulnya tidak semanis di media sosial. Ali sering memergoki Nia sedang menggerutu sendirian di ruang wardrobe, menggerutui pacarnya.

“Ngontennya di restoran kalo sama Daren, mah ….” Nia mengikuti alur sindiran Ali. “Lo tau cirri-ciri YouTuber kayak Daren.”

“Lo udah gak nyaman sama dia? Kenapa gak putus aja, sih?” Itu dia pertanyaan yang sangat ingin Ali ajukan sejak lama. Kenapa Nia tidak memilih putus saja?

“Orang udah cinta, Li. Gimana?” katanya sambil menyengir tidak keenakan.

Ali mewajarkan itu karena sedikit yang ia ketahui bahwa memang, Nia dan Daren sudah berpacaran sejak lama. Wajar kalau mereka sudah saling cinta sampai begitunya. Wajar juga, jika perhatian Daren memudar karena mereka sudah lama dan terbiasa bersama, mungkin?

“Mau pesan apa, Ni?” Ali menyodorkan buku menu.

Ada begitu beraneka makanan yang menarik untuk disantap saat makan siang. Salah satunya, Chicken Pok Pok dengan sambal merah. Nia langsung mengiler begitu melihat gambar menu itu. Ia pun memesannya.

“Saya gurame goreng crispy aja, sama sambelnya level tiga!” ujar Ali.

Nia melihat-lihat buku menu lalu berdecak kagum. Ali langsung tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Itu sebabnya ia berujar, “Menu di sini itu sederhana semua, tapi nikmatnya luar biasa. Minumannya juga didesain simple, tapi rasanya bikin kita gak nyangka, tau!” ungkapnya dengan penuh antusias.

Nia mengangguk. “Kok, gue gak tau ini kedai lagi tenar di kalangan artis?”

“Iya, lagi tenar soalnya ini rekomendasi Bara yang ngajakin kita-kita buat beli makanan dan minuman yang didiriin sama sahabatnya dia, tapi gue lupa namanya. Lo tau setenar apa Bara sekarang ini, kan? Makanya kedai ini lagi rame banget!” tutur Ali panjang lebar.

Nia hanya meng-oh pendek, bertepatan ketika ia melihat sosok lelaki yang sedang berdiri di depan pintu. Hendak masuk, tetapi terhenti karena lelaki itu sedang menelepon seseorang. Benar saja, ponsel Nia bergetar seketika.

Terbayang betapa jantung Nia berdegup seketika. Lelaki itu, Daren. Lelaki posesif yang tak suka melihat pacarnya jalan bareng pria lain, meski itu lawan mainnya ketika kerja. “Mati gue!” gumam Nia.

Ali mengernyit heran. “Kenapa lo, Ni?” tanyanya. Tentu saja ia bertanya.

“Ada Daren!” Nia menunjuk ke arah pintu.

“Ya, ajak ke sini, dong!” celetuk Ali dengan seenaknya.

“Ajak ke sini gundulmu!” umpat Nia. “Bisa marah dia kalo ngelihat gue makan bareng lo berdua,” terangnya sambil emosi.

“Ya elah … Daren pasti ngertilah … kita temen kerja, Ni.”

Nia menggeleng. Tidak percaya kata-kata Ali karena ia tahu pasti bahwa Daren tidak akan mau mengerti apapun selain apa yang ada di dalam pikirannya. “Pokoknya gue mau balik. Tolong lo bantu gue ngumpet dulu, jangan sampai dia ngelihat gue!” pintanya sambil berbisik.

Ali menghela napas. Ia pun membantu menutupi wajah dan tubuh Nia dari penglihatan Daren, sembari ia membantu Nia mengorder taksi online untuk pulang.

“Nanti makanan lo gue paketin ke rumah aja, ya.” Ali mengusul.

Nia manut. “Oke, entar duitnya gue ganti.”

Dari tempat persembunyiannya, Nia melihat Daren memasuki kedai dengan perasaan gelisah. Ia langsung ke meja pemesan dan bicara dengan pelayan. Nia meminta Ali membantunya berjalan keluar agar tak diketahui Daren.

Akhirnya, usaha kabur diam-diam itu pun berhasil. Huh. Pacaran dengan Daren benar-benar merepotkan!

Nia berdiri di halaman dekat gerbang kedai. Menanti mobil taksi yang akan menjemput lalu mengantarnya pulang. Pucuk dicinta ulam pun tiba, taksi online pesanan Ali sudah tiba dan berhenti di depan pagar, tempat Nia mencegatnya.

Nia mengetuk pintu tengah agar si supir cepat-cepat membukakan kunci pintu tengah mobil itu. Gadis itu hampir saja marah karena supir begitu lama menanggapi pintaannya. Setelah kunci terbuka, Nia langsung masuk, menyandarkan tubuhnya di jok lalu menghela napas lega. Sembari menutup pintu mobil, Nia berkata, “Sesuai aplikasi, ya, Mas!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status