“Sayang, hari ini aku gak bisa jemput kamu, ya. Ada meeting dadakan sama anak-anak YouTube, mau ngadain collab besar-besaran.”
Nia yang mendengar itu langsung terperanjat, senang bukan main. Setelah berbulan-bulan, akhirnya ia bisa bebas keluar main, tanpa harus diikuti lelaki manipulatif itu. Ah, sepertinya bahasa Nia terlalu kasar.
“Jangan lupa senang-senang, ya,” ucap Nia dengan nada yang tersendat-sendat, saking senangnya.
“Wah … pacarku kayaknya ngambek.” Daren bicara seolah ada orang lain di dekatnya. Nia tau itu karena kalau tidak ada orang, sudah pasti nada bicaranya berbeda. “Gak jadi ngumpul, deh!”
Yah, jangan gitu, dong! Baru juga Nia mau seneng.
“Eh, aku gak marah ….” Nia bicara dengan nada memohon. Ya, memohon agar lelaki itu menyingkir biarpun hanya sehari.
“He he … ya udah, ya, Sayang. Aku lagi di jalan sama anak-anak, nih. Sampai ketemu besok, ya. Dah ….”
Nia membalas ucapan penutup dari Daren. Dia sungguh tidak peduli mau Daren lagi di mana, ngapain, sama anak-anak mana, anak siapa juga Nia gak peduli. Dia cuma pengin bebas sehari.
Sebuah telepon datang dan suara itu mengingatkan Nia untuk bersiap pergi syuting.
***
Sungguh mimpi indah … dan bangun indah.Nia duduk di mobil pribadinya yang sudah berbulan-bulan tak dipakai gara-gara tidak dibolehkan sang pacar untuk bepergian sendiri. Papa juga begitu, melarang Nia untuk pergi naik mobil sendiri semenjak Daren hadir sebagai sosok pahlawan dalam dunianya.
Gadis itu menyetir dengan kecepatan santai karena ia bersiap kepagian tadi. Begitu ia melewati salah satu kedai minuman, ya, kedai yang kemarin, Nia berhenti. Dia menghela napas sambil bergumam, akhirnya ia kembali bisa merasakan kebebasan.
Seorang lelaki sedang membuang sampah di tong. Nia ingin menyapa, tetapi ia lupa, siapa namanya?
Ah, asal panggil saja. Kalau salah, kan nanti dia benerin.
“Salman!” Nia memanggilnya setengah berteriak.
Lelaki itu bereaksi. Memandang ke arah Nia yang melambaikan tangannya sambil senyum-senyum. Memandang juga ke arah lain untuk memastikan, adakah orang lain yang memiliki kemungkinan dipanggil olehnya.
“Gue manggil elo, Salman.” Nia berkata seolah tanpa dosa, mengganti nama orang sembarangan.
Lelaki itu tersenyum. Senyuman yang masih terngiang jelas di kepala Nia. Ia menghampiri Nia ke mobilnya. “Gue mirip artis India, Salman Khan, ya?”
Nia membalas tanggapan lelaki itu dengan sebuah cengiran. “Gue salah panggil pasti. Nama lo siapa, sih? Gue lupa,” katanya.
“Mendekati nama yang lo sebutin tadi.”
“Salman? Salma?”
“Bukanlah!” Ia terkekeh. “Salim!”
Nia meng-oh panjang kemudian memeriksa jam di tangannya. Salim berbasa-basi, “Gak turun? Di kedai sudah ada nasi uduk, siapa tau mau sarapan?”
Nah, strategi marketing yang sangat baik. Tepat waktu!
Kebetulan, Nia sedang lapar di tengah rasa senang. Ia tak sempat sarapan di rumah karena ingin berangkat ke lokasi syuting pagi-pagi sekali. Padahal, sebelum berangkat, papanya sudah berpesan agar ia sarapan di rumah bersamanya. Namun, Nia menolak.
“Boleh!” Nia menerima tawaran dari Salim.
Di dalam kedai, Salim melayani pelanggan pertamanya hari ini itu dengan antusias. Nia melihat, di kedai itu ada dua orang karyawan berseragam yang bertugas di tempat mereka masing-masing.
Satu di dapur, satu lagi berkeliling bersih-bersih.
Salim menyuguhkan nasi uduk dengan lauk-pauk sederhana seperti, irisan telur gulung, sambal tempe dan teri, mi, dan tentu saja kerupuk. Minumannya air putih, sesuai permintaan Nia.
Gadis itu menerima sarapannya dengan antusias. Sementara Salim berujar, “Kalau kurang, gak usah sungkan mau nambah.”
“Bayarannya nambah juga, dong?”
Salim melebarkan senyum dan menggeleng, “Enggaklah … lo pelanggan pertama gue hari ini. Anggaplah pembuka rezeki, bukti bahwa rezeki gue gak dipatok ayam soalnya bangun agak kesiangan tadi.”
Nia tertawa. Cukup terkesan dengan lelucon yang diciptakan Salim.
Baru kali ini rasanya, setelah sekian lama, akhirnya ia bisa tertawa sedikit lebih lepas dari biasanya. Namun, sayangnya tawa itu bukan karena Daren. Bukan karena kehidupannya, bukan karena orang-orang terdekatnya, bukan karena fans-fans-nya, melainkan karena sosok asing yang baru kemarin dikenalnya. Orang asing yang awalnya ia kira seorang supir taksi online. Hi hi hi ….
Di sela sarapan paginya, Nia baru menyadari sebuah fakta bahwa dirinya adalah sosok yang cukup dikenal terutama di seantero Jakarta. Orang-orang yang menonton serial drama yang dibintangi olehnya pasti sudah tahu dan bahkan mengorek-ngorek akun media sosialnya.
Dan satu hal yang paling digemari sebagian dari fans-nya adalah tentang hubungan asmara antara dirinya dan sang kekasih. Tentu saja itu Daren, bukan Salim.
Itu sebabnya sekarang, wajar saja bila orang-orang yang mulai berdatangan pada sibuk memperhatikan mereka berdua. Salim tidak menyadari itu, tetapi semuanya terasa bagi Nia. Gadis itu mulai membayangkan jika beberapa menit lagi, akab ada akun-akun gosip di media sosial yang membahas tentang 'Pemeran utama Series Asmara Citra terciduk sedang makan berdua dengan seorang pemilik kedai minuman. Sudah putus dengan Daren Sanjaya?'
Dengan foto-foto ketika Nia dan Salim sedang tertawa sambil makan bersama.
Ah, sudah pasti akan banyak orang yang mengamuk jika sampai itu terjadi.
Orang pertama dan utama, sudah pasti itu adalah Daren sendiri. Selama Nia tidak macam-macam saja, Daren sudah sering mengamuk tanpa alasan. Apalagi jika lelaki itu sudah dapat alasannya.
Orang kedua, itu adalah Firza, papa Nia. Hampir tidak pernah ada yang tahu betapa selama ini papa sudah sangat mengatur bahkan mengendalikan hidupnya.
Orang ketiga dan tak terhingga, itu adalah para fans, shipper hubungan mereka, termasuk tentu saja fans Daren. Akan banyak cacian dan hujatan yang ia terima jika saja bayangan buruknya itu benar-benar terjadi. Duh, jangan sampai!
Salim menyadari perubahan sikap Nia itu. Merasa tak enak hati, ia pun bertanya dengan hati-hati, “Kenapa, Nia?”
Nia mengode agar mengikutinya ke luar kedai. Di sana, Nia membayar biaya nasi uduknya kemudian meminta maaf dan berpamit pergi. Salim mencoba mengerti sambil bergumam dalam hati, “Andai perempuan itu bukan selebritis.”
Suara mobil Nia sudah tidak lagi terdengar dengungnya. Tinggallah Salim sendiri dan hendak melanjutkan aktivitasnya di kedai. Setelah itu, ia akan mengunjungi cabang-cabang kedainya yang lain.
Seperti yang pernah Salim katakan pada Nia sebelumnya, ia sebetulnya kenal dan tahu serial-serial yang dibintangi oleh gadis itu. Namun, hanya sebatas itu, tak lebih apalagi sampai mengorek kehidupan pribadinya.
Itulah sebabnya, Salim agak kaget begitu mendengar Nia berkata, “Sorry, ya, gue harus pergi dari kedai lo sekarang juga. Soalnya, di dalam udah banyak yang ngelihatin kita. Gue takut nanti ada gosip yang enggak-enggak, terus cowok gue marah!”
Itu artinya, gadis itu sudah memiliki seorang kekasih. Wajar jika ia terlihat khawatir sejak pengunjung mulai berdatangan. Sudah ada pawang rupanya.
Salim hanya bisa menghela napas, memasuki kedai dengan perasaan … canggung(?)
Sebab hampir semua pasang mata yang ada di sana tidak berhenti memperhatikannya. Bahkan ada dari mereka yang berbisik dengan teman semejanya. Seolah-olah mereka sedang membicarakan seleb baru. Ish … padahal, Salim sama sekali tidak ingin menjadi seleb. Meski lingkaran pertemanannya kebanyakan orang-orang yang berkecimpung di dunia entertain.
Salim memutuskan untuk pergi mengunjungi cabang kedainya yang lain. Daripada dia jadi sasaran hangat penggosip gratisan!
Semenjak kedatangan Bara ke kedai siang tadi, seketika pintu mulai dipenuhi orang-orang yang berlalu-lalang untuk membeli. Benar-benar keuntungan double buat Salim. Ya, meskipun kadang, Bara datang dengan membawa topik yang diulang-ulang dan terdengar membosankan, yakni tentang dirinya yang suka di-PHP-in cewek—kasihan ganteng-ganteng kena PHP, tetapi setidaknya, lelaki itu bersedia membayar lebih dan mendatangkan keuntungan lain lewat fans-fans yang modus mau ngelihat sosok artis yang lagi tenar itu sedang makan.“Bara … Bara, kagak bosen, ya, lo. Setiap kali ke sini, cerita topiknya sama melulu? Kuping gue, nih, aja udah hafal sampe titik, koma, tanda tanya cerita lo itu, tau!” Salim menggerutu sembari menyuguhkan minuman yang dipesan sahabatnya itu.Bara menghela napasnya. “Jahat banget lo, Lim. Sama sahabat sendiri begitu amat.”Salim terkekeh. Merasa kepanasan karena ledekan sahabatnya itu, Bara pun buru-buru me
Entah kesambet apa Daren malam ini. Lelaki itu membawa Nia ke apartemennya. Mengajaknya memasak makan malam untuk disantap berdua. Ketika Nia bertanya, Daren hanya menjawab, “Gak apa-apa, biar romantis.”Kedua sejoli itu telah menyelesaikan sesi masak berdua. Meski hanya spaghetti instan, tetapi itu akan merealisasikan makan malam romantis yang diniat-niatkan oleh Daren sejak siang tadi.Nia menyajikan spaghetti itu di piring miliknya dan milik Daren, sementara sang kekasih sibuk mempotret dirinya. Awalnya Nia curiga, ini hanya untuk konten. Akan tetapi, Daren berhasil menepis kecurigaannya dengan berkata, “Aku gak mau share foto ini ke medsos. Buat simpanan pribadi aja.”“What? Tumben?” Nia bertanya sambil mengembalikan peralatan masak itu ke tempat cuci piring.Tanpa Nia sadari, Daren mengikuti langkahnya dari belakang. Nia semakin merasa keheranan. Lelaki itu tersenyum padanya, senyuman yang begitu
Di perjalanan, hanya keheningan yang terjadi. Tidak ada lagi kalimat basa-basi antara dua sejoli itu. Hanya ada dentingan piano sebagai intro sebuah lagu yang akan terputar saat itu.Nia merasa bersalah begitu tahu bahwa Daren tahu tentang kegiatan sarapan itu. Sekaligus merasa tidak enak hati begitu memahami keromantisan yang sedang dijalani Daren adalah sebuah taktik, tujuannya apa, Nia tidak tahu.“Alenia ….” Daren memanggil seraya fokus menyetir.“Apa?”“Aku di sini sedang kamu anggap apa?”Tidak ada yang bisa Nia jawab untuk pertanyaan Daren barusan itu selain, “Hah?”Daren tersenyum dan menolehkan kepala. “Ya, aku ini kamu anggap apa sekarang? Pacar? Patung? Atau … supir taksi? Kok, dicuekin?”Nia meng-oh panjang. Ternyata itu maksudnya. Ah, semenjak ia menyelesaikan analisisnya terhadap perubahan sikap Daren akhir-akhir ini,
“Nia, mau pesan apa?” Ali menawarkan traktiran siang ini. Kebetulan, ia sedang mengadakan syukuran kecil-kecilan atas lahirnya keponakan pertama. Anak dari kakak perempuannya.“Untuk makan siang.” Ali menegaskannya kalau Nia tidak mengerti. “Gue traktir,” tambahnya.Nia meng-oh pendek. “Apa, ya? Geprek, deh!” katanya yang sebetulnya sudah bisa ditebak Ali. “Level rendah aja, lo tau gue sekuat apa.”Ali tersenyum. Ia beralih tempat untuk menawari teman-temannya yang lain.Satu jam kemudian, seseorang datang ke lokasi syuting dan membantu Ali membagikan kotak makan siang pesanan Ali. Nia sudah tidak asing dengan si pengantar pesanan, tentu saja ia ingat. Ia tak akan memanggilnya dengan nama yang salah untuk kedua kali.“Salim!” panggil Nia tanpa ragu.Orang yang kaget bukan Salim, melinkan Ali. Ia terkejut waktu tahu Nia sudah mengenal temannya, si pemilik kedai yang sedan
Mari memasuki hari pertama di mana Nia harus memikirkan soal tawaran Daren untuk menikah. Seperti yang telah dibicarakan kemarin, Daren tidak memberi kesempatan untuk mengatakan 'tidak'. Hanya ada "ya" atau "nanti".Memikirkan hal ini saja, sudah membuat Nia menjadi pusing bukan kepalang.Ia teringat masa itu, beberapa waktu lalu, ketika ia terpaksa menerima cinta Daren hanya karena permintaan papa. Hanya karena papa ingin membalas budi atas kebaikan lelaki itu selama ini, terhadap keluarganya. Entah kebaikan apa itu.Namun, untuk menikah, Nia tentu saja tidak bisa memikirkan hal itu dengan buru-buru. Ini menyangkut masa depan yang akan Nia jalani.Nia tidak mauㅡtidak mungkin mau hidup bersama lelaki yang tidak pas dengannya, di masa depan. Nia tidak bisa menghabiskan sisa hidup dengan lelaki yang tidak asyik bila diajak berbicara. Tidak memahami candaannya. Tak pandai bersenda gurau dengannya. Tidak mampu memahami dirinya.Nia ingin mengakui bahwa
“Ini, Nia.” Papa menyodorkan laptop pada Nia ketika mereka berdua tengah asyik menyantap sarapan di meja makan. Sebentar lagi, Nia akan berangkat ke lokasi syuting dan ngomong-ngomong, ini adalah hari kedua ia harus berpikir soal jawabannya.“Maaf, butuh waktu yang sangat lama untuk papa mengetik kata-kata ini.”Nia tersenyum hangat. “It’s okay, Papa. Nanti malam, kita ngobrol, yuk!” ajaknya untuk membesarkan hati sang papa. “Udah lama kita nggak ngobrol lama, ya, Pa?”Papa mengangguk. Tangannya sambil berusaha tegap untuk mempaskan posisi bibir cangkir itu di mulutnya. Dengan sigap, Nia membantu sang papa untuk meminum susu hangat favoritnya.Nia menghela napasnya. Sebisa mungkin, ia menyembunyikan segala kekhawatiran yang hadir di kepalanya. Ia sedih melihat kondisi sang papa yang kian melemah. Bukan kritis, hanya saja, kekuatan yang dahulu selalu papa punya kini nyaris tak terlihat wu
“Gimana?” Jenis kata tanya yang nyaris berulang kali papa Nia ajukan kepada Daren siang itu. Sejak pagi, Daren mampir ke rumah sang calon mertua untuk membicarakan pasal pernikahan yang ia yakini akan terjadi itu. Namun, Virza mempertanyakan sesuatu yang bersifat meragukan. Ada begitu banyak pertanyaan yang apabila Daren tangkap, maksudnya hanya satu, “Siapkah Daren menerima Nia dengan segala sifat alaminya?” Berkali-kali, Daren mengatakan ya, ia menerima itu dengan sepenuh hati. Akan tetapi, selalu saja ada celah di mana Virza ragu akan jawaban Daren. Atau ia ragu, Daren akan menerima itu sampain kelak, sampai tua. Ia terlalu khawatir pria itu akan meninggalkan putrinya suatu saat nanti karena tidak tahan dengan sifatnya. “Apa yang ingin papa pastikan lagi?” “Kamu betul-betul menerimanya, bukan hanya menekannya agar mau menerirmamu.” Begitu jawaban Virza. Lama kelamaan, Daren sendiri yang meragu. “Sebaiknya kamu pikirkan dulu, biarkan putriku
“Better?” Salim bertanya setelah Nia sudah siap memasang sabuk pengaman. Mereka akan segera berangkat. Nia sudah duduk mantap di kursi kemudi, sementara Salim berdiri dari luar jendea mobil.“Sebenernya kalau lo masih butuh supir, gue bersedia, lho,” kata Salim lagi.Nia menggelengkan kepala tiga kali. “Enggak perlu, Salim, anaknya Nyonya Salma. Gue bisa nyetir sendiri dan tau jalan pulang, kok.”Salim menangkupkan kedua telapak tangannya lantas mengangguk. “Baik, Nona. Sampai jumpa dan hati-hati di jalan.”“Terima kasih, Abang.”Salim tertawa begitu mendengar gadis itu memanggilnya abang. Nia melenggang pergi menjauhi area perumahan tempat tinggal Salim. Mereka harus berpisah setelah beberapa menit bersama. Hari ini menyenangkan bagi keduanya.Namun, sayangnya, Nia sendiri tidak bisa memungkiri bahwa setelah hari ini, hanya tinggal kurang dari 30 jam waktunya memutuskan ak