Tanpa terasa yunish mereka sudah melintasi kota Mercendia yang padat dan saat ini tengah melaju menembus perbatasan yang rimba. Ada beberapa bangunan yang berdiri di sekitar jalanan, namun jumlahnya tak sepadat di Mercendia. Jalanan yang mereka lalui masih jauh lagi. Meski Luxavar tak seluas benua-benua yang ada di daratan, tempat ini nyaris menyamai luas suatu negara.
Langit sudah kembali cerah saat mereka memasuki kawasan pedesaan yang dikatakan Fibrela sebagai Echinops ritro. Ladang-ladang dengan deretan rumah penduduk terlihat lebih jarang di tempat ini. Ada biri-biri berwarna coklat tengah memilah sarapannya di lapangan yang luas itu.
“Itu kambing?” tanya Nod.
Fibrela hanya tertawa. Dia mengiyakan pertanyaan Nod. Terserah Nod mau menganggapnya apa. Sebentar lagi Luxavar tak akan menjadi bagian dari hidup mereka.
“Mungkin sejenisnya. Kau akan merindukan mereka nanti,” jawab Fibrela.
Nod memelotot tak rela.
<“Nod!” seru Fibrela sebelum matahari benar-benar bersinar.Nod terbangun dan mendapati ketiga temannya sudah bersiap dengan tas pikulnya.“Kita harus bergegas. Semua Cerecza di Luzav sudah terbius dan semuanya sekarang terkapar bagai bangkai femus.” Brevis berkata penuh semangat.Nod turun dari buaian yang masih tergantung di antara dua batang pohon tersebut. Brevis melepaskan tiang pancang tadi dan melipatnya hingga menjadi seukuran tongkat pendaki.Dipimpin oleh Brevis, mereka beriringan menembus hutan lebat menuju ke mulut lorong sebagai titik awal jalur masuk ke Luzav. Untungnya sepanjang perjalanan, mereka tidak menemukan adanya hewan buas. Fibrela bilang kalau tempat ini sudah menjadi tempat yang tak terjamah oleh makhluk hidup sejak ratusan tahun lalu.Kabut pagi mulai bergeser menjauhi puncak gunung. Matahari Luxavar yang terik menerangi pucuk pohon berdaun lebar yang menaungi mereka dari ketinggian. Nod bisa merasak
Hampir keseluruhan tubuh Nod telah tergenangi air. Kepalanya bahkan sudah menyentuh langit-langit goa. Likos tengah menyibak permukaan air dengan gelisah. Dahinya berulang kali terantuk langit goa yang keras. Lengannya diangkat untuk mencegah tubuhnya terbentur lebih keras.“Tunggu!” Nod berdesis ke arah Likos. Hal tadi membuat Likos diam sejenak.Jemari Nod menyentuh langit-langit goa yang gelap di atasnya. Dia memukul langit-langit tadi dengan cukup keras. Fibrela dan Brevis yang sejak tadi hanya memeriksa dinding goa akhirnya mengikuti tindakan Nod. Mereka tahu bagian atas goa ini merupakan ruangan kosong.“Awas!” pinta Brevis. Dia mengacungkan senjata yang baru saja dipasang ke pergelangan tangannya.Tembakan keras menggelegar di tangah-tengah mereka. Brevis melakukannya berulang kali hingga dinding tadi merekah. Ternyata benar, dinding yang mereka sangka berupa batu itu ternyata hanya lantai dari sebuah ruangan.Semua d
Wajah Brevis tampak begitu serius. Bibirnya pucat dan Fibrela bisa mendengar suara laju napasnya begitu kencang. Dia seperti baru saja mengalami kejadian mengerikan. Fibrela memandangnya penuh tanya.“Kita harus bergegas. Para Cerecza mulai bangun.” Brevis mewartakan informasi tadi dengan cepat.Fibrela menarik tangan Nod keluar dari sel tadi. Mereka kembali ke tangga yang sebelumnya mereka naiki. Sudah ada puluhan orang menanti mereka.“Bagaimana dengan yang lain?” Salah satu laki-laki bertubuh kekar maju menghadang jalan Fibrela.“Kita tidak bisa menyelamatkan semuanya.”“Berikan senjata kalian,” katanya lagi. “Biar aku yang mengeluarkan mereka. Silakan kalian keluar dari tempat ini.”Brevis berhenti melangkah. Dia menoleh tajam ke arah laki-laki berotot tebal itu. Dia merogoh sebuah senjata yang disebut pucle itu dari sakunya dan menyerahkan benda tadi kepada manusia dar
Likos dan Brevis terpencar dengan Fibrela dan Nod sekarang. Mereka masih terjebak di dalam Luzav yang mencekam. Kematian yang mereka akibatkan dari misi ini lebih banyak ketimbang jumlah orang yang mereka selamatkan. Brevis menghela napasnya sambil bersandar pada tembok di bilik yang dikelilingi tiga tahanan yang sudah tak bernyawa. Likos berdiri tak jauh darinya dengan wajah dilumuri darah. “Apakah kita akan mati?” Likos berbisik pelan. Brevis menyeringai ke lorong penjara bersiap dengan senapan kecil di tangannya. “Sst, ada seseorang datang.” Likos mengelap darah di kepalanya. Dengan jijik dia mencium darah yang sudah mengental tadi. Itu bukan darah miliknya. Langkah kaki secara teratur mendekati mereka. Brevis mengintip dari balik jeruji yang sudah dibobol para tahanan sebelumnya. “Regan?” Likos berdesah terkesima. Dia nyaris tak berkedip saat menyaksikan perempuan itu berjalan tanpa ekspresi mendekati mereka. Brevis langsung menari
Fibrela tergeletak di atas tanah kering kemerahan. Tubuhnya utuh, tapi sebagian bersimbah darah. Beberapa tembakan melukai punggung dan wajahnya. Untungnya itu hanya luka bakar kecil. “Sial! Barang rongsokan!” umpatnya gusar. Fibrela berusaha menegakkan punggungnya sambil melempar tas kaltornya. Ternyata dia masih punya cukup tenaga untuk melempar benda rusak itu. Nod turun selang beberapa detik kemudian. Dia langsung berlari ke arah Fibrela. Gerakan semak di sekeliling Fibrela dan sisa asap dari tas kaltor tersebut segera dikenali Nod. Dia menghampiri Fibrela yang duduk mengenaskan di atas tanah. Kekhawatirannya memuncak ketika melihat kepala dan kaki Fibrela bercucuran darah. Nod memperhatikan mata Fibrela yang masih meringis menahan sakit. Fibrela membalas tatapan tadi dan langsung memarahi Nod, “Kenapa kau turun? Kan sudah kubilang pergi!” Bahkan Fibrela masih cukup kuat untuk memarahi orang. Tapi Nod tidak menggubris makian Fibrela. Dia segera me
Nod terengah-engah mencoba meraup oksigen dari sekelilingnya. Paru-parunya kembang-kempis dengan cepat memekik kelelahan.“Kau bohong!” ujar Nod yang masih terengap dan mencoba berkata-kata.Fibrela didudukan pada gundukan batu di pinggir jalanan. Matanya sibuk memadangi jalan yang sepi dan suram itu.“Aku tidak bohong.”“Kau bilang kita akan menemukan jalannya setelah bukit itu,” kata Nod. “Itu bukan bukit. Itu gunung.”Senyum kecil tersembul dari wajahnya yang pucat. Dia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk tergelak.“Tapi caraku manjur, kan?” dalih Fibrela. “Paling tidak itu memotivasimu untuk berjalan lebih cepat.”Nod menghembuskan napasnya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Kau ini,” katanya sebal, “benar-benar menyebalkan.”Fibrela menatap sepanjang jalan utama beraspal itu sayu. Mereka sudah sampai di pinggir jalan, tetapi sej
“Kau sudah menerima kabar dari mereka?” tanya Brevis. “Semua akses dari dan menuju ke Luxavar ditutup. Mereka terjebak di Luxavar. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada mereka,” jawab Likos seraya membanting tubuhnya ke sofa teras depan rumahnya. “Apakah kita harus kembali ke Luxavar?” tanya Brevis. “Bagaimana caranya?” tanya Likos. “Kita bisa menghubungi Louie?” tanya Brevis. “Ah, rokern bodoh itu. Dia tak berguna. Fibrela dan Nod tidak mungkin berada di dekat mereka,” kata Likos. “Kita hanya bisa menunggu dan berharap mereka bisa selamat.” “Ya, mudah-mudahan mereka bisa selamat,” kata Brevis. “Dan kita akhirnya harus terjebak di sini.” “Hei, ini bukan terjebak,” kata Likos. “Kita bebas.” “Kau yang bebas,” kata Brevis. “Aku seperti makhluk asing di sini.” Likos tertawa. “Baiklah, aku ajari kau biar tidak jadi makhluk asing di sini.” “Tidak berminat,” kata Brevis. “Kau tidak tertarik dengan orang
Saat terbangun, Fibrela mendapati kedua tangannya masih terikat. Kakinya tak bisa banyak bergerak karena memang sudah patah. Dia bisa melihat tempat ini berbentuk kubus dengan seluruh dinding berwarna putih. Tidak ada jendela yang bisa menempel di dindingnya. Bahkan Fibrela gagal mengidentifikasi pintu tempat para atlic itu masuk. Seorang pria berjalan pelan mendekati Fibrela. Dia mengambil tempat di dekat Fibrela. Wajahnya licin dengan rambut yang tersisir rapi. Kulitnya yang gelap kontras dengan ruangan yang tengah ditempati Fibrela sekarang. Dia mengenakan kemeja hitam dengan puluhan lencana yang menempel di dada kanannya. “Kau salah satu orang yang kupercayai di Luxavar. Tetapi kau melakukan hal ini. Kebodohan macam apa yang sudah merasukimu, Greinthlen?” Dua orang atlic datang lagi mendekatinya. Agrenta salah satu di antaranya. Laki-laki bertubuh jangkung berjalan di belakang Agrenta dengan memegang alat seperti stempel besar. Fibrela menyipitkan kedua m