Home / Lahat / MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA / 1. Bapak yang Menyusahkan

Share

MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA
MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA
Author: Yenika Koesrini

1. Bapak yang Menyusahkan

last update Huling Na-update: 2022-01-18 12:06:16

PRANK!

 

Aku yang tengah menyisir rambut sehabis mandi sore, terkaget mendengar suara benda kaca terjatuh.

 

"Jangan, Bang! Itu uang buat bayar sekolahnya Gadis dan beli tasnya Bintang." Suara Ibu terdengar memohon.

 

"Berisik!"

 

BRUGH!

 

"Akhhh!"

 

Seketika aku menghambur keluar kamar. Tampak Ibu tengah tersungkur dengan mengernyit. Sepertinya Ibu sedang menahan sakit.

 

"Bang, kasihan Gadis sudah nunggak SPP-nya, Bintang pun tasnya sudah robek-robek," mohon Ibu dengan suara memelas. 

 

Wanita itu mencoba bangkit, lalu bergerak menyusul Bapak yang sudah mencapai pintu. Ibu berusaha merebut kembali uangnya. Namun, tangan Bapak menampiknya dengan kasar. Membuat Ibu kembali terhalau.

 

"Bapaaak!" Aku berteriak geram. Kaki ini menderap cepat untuk menghentikan langkah Bapak. "Kembalikan uang Ibu!" suruhku berani.

 

Bapak menatapku datar. "Gak usah berisik! Bapak cuma pinjam sebentar, nanti pasti bapak ganti," ujarnya sedikit berjanji dengan suara pelan.

 

Setelahnya Bapak pun berlalu. Tidak percaya dengan omongan pria empat puluh lima tahun itu, aku kembali mencegah kepergian Bapak. Pasalnya uang itu pasti akan digunakan Bapak untuk berjudi.

 

"Jangan buat bapak marah, Kiran!" gertak Bapak saat aku berdiri di depannya untuk menghalangi. Tatapannya cukup dingin. Namun, aku tidak gentar sedikitpun.

 

"Kembalikan uangnya ibu!" Aku mengulangi perintah. Tidak peduli pada tetangga sekitar. Mereka sudah hapal pada suara keributan di rumah ini. Bapak memang kerap kali kasar pada Ibu dan anak-anaknya jika tengah kalut.

 

"Kamu mau jadi anak yang durhaka dengan melawan bapak?" Suara Bapak masih cukup tenang. Matanya menyapu sekitar.

 

"Melawan bapak yang lalim itu bukan durhaka."

 

Bapak tidak membalas. Dia hanya melangkah maju. Tangannya menarik lenganku. Lalu menghempaskan tubuhku dengan keras ke lantai teras. Selanjutnya pria yang teramat kubenci itu beranjak pergi dengan langkah yang panjang-panjang.

 

"Kamu baik-baik saja, Ran?" tanya Ibu memapahku berdiri. 

 

"Aku gak papa, Bu," balasku menenangkan kekhawatiran Ibu. Namun, rasa sakit pada pinggang membuat aku mendesis kecil.

 

"Sudah berapa kali ibu bilang jangan melawan bapakmu," nasihat Ibu sembari membimbingku duduk di kursi teras.

 

"Tetapi orang macam bapak memang harus dilawan, Bu," tukasku cepat. "Bapak sudah keterlaluan. Tidak terhitung berapa kali tangan kotornya memukul kita," lanjutku menahan geram.

 

"Sabar, Kiran," saran Ibu lembut. Wanita berbego cokelat itu mengusap rambutku lembut.

 

"Mau sampai kapan, Bu? Bapak sudah terlalu semena-mena sama kita," sahutku menggebu-gebu karena emosi yang menghimpit dada ini. "Andai Ibu mengizinkan, seharusnya sudah lama ba ji ngan itu membusuk di penjara."

 

"Kiran, jaga bicaramu!" Ibu menegur dengan tegas, "ingat tanpa dia, kamu tidak akan ada di dunia ini."

 

"Andai bisa memilih, aku tidak mau menjadi anaknya."

 

Ibu menarik napas dalam-dalam. "Setiap orang punya ujian hidup masing-masing. Mungkin ujian kita adalah bapakmu, Nak. Jadi bersabarlah! Mohon pada Gusti Allah untuk melembutkan hati bapakmu di setiap sujudmu," wejang Ibu bersungguh-sungguh.

 

"Aku gak sekuat Ibu," balasku sambil berdiri. "Kalo aku punya suami kasar kayak bapak, mending minta cerai saja. Daripada makan hati setiap hari." 

 

Ibu hanya terdiam. Wanita itu kembali menghirup napas yang sesak.

 

"Ada banyak hal yang mesti ibu pertimbangkan jika harus bercerai dari bapakmu," kilah Ibu lirih. "Terutama kalian." Wanita itu menatapku lurus.

 

Kaki ini aku yang menghela napas. Kucondongkan badan untuk memegang kedua pundak Ibu. "Aku, Gadis, dan Bintang akan sangat bahagia jika Ibu bisa lepas dari jeratan lelaki jahat itu," tuturku serius. "Pikirkan kondisi Ibu! Jangan sampai Ibu jatuh sakit karena tekanan batin."

 

Usai berkata seperti itu, aku masuk ke rumah kembali. Kaki ini menuju kamar. Penat hati dan pikiran membuatku melempar tubuh ini ke ranjang. 

 

Ada sebersit rasa penyesalan menyergap dada. Andai uang gaji tadi sore tidak langsung kubagi ke Ibu. Seharusnya langsung saja kubelikan sepatu buat Bintang dan kasih ke Gadis. Sehingga Bapak tidak akan merampas uang hasil jerih payahku itu.

 

Huffff!

 

Aku menghela napas berat. Menyesal benar-benar menyesal. Andai aku punya banyak waktu luang. Akan kuajak Bintang ke pasar untuk memilih sendiri sepatu yang ia mau. 

 

Sayang hari-hariku sudah penuh dengan pekerjaan. Berangkat pagi pulang petang. Bahkan kadang sampai malam jika lemburan tengah banyak.

 

Usiaku baru menginjak dua puluh tahun bulan lalu. Masih cukup muda. Namun, kehidupan menempaku tumbuh lebih cepat dewasa dari teman-teman sebaya.

 

Sedari umur sembilan tahun aku sudah terbiasa membantu Ibu mencari nafkah. Ibu bukan seorang janda. Namun, kehidupannya tidak berbeda jauh dari seorang wanita tanpa suami.

 

Bapak memang bekerja sebagai buruh pabrik sama sepertiku. Namun, tabiatnya yang suka main judi membuat kami sekeluarga sengsara. Lalu ketika aku sudah bisa menghasilkan uang, Bapak benar-benar lepas tangan.

 

Lelaki itu justru ikut menambah beban. Setiap hari harus dibelikan rokok. Jika tidak maka Ibu akan kena tangan. 

 

Untuk pria macam itu apakah aku harus tetap hormat?

 

***

 

Semalaman Bapak tidak pulang. Itu sudah biasa. Paling pria itu tengah menghabiskan uang rampasan dariku di tempat hiburan.

 

Namun, sudah tiga hari ini Bapak tidak pulang. Biasanya lelaki itu akan pulang di pagi hari dengan badan bau minuman. Hal ini tentu saja mencemaskan hati Ibu.

 

"Ibu takut bapakmu kenapa-kenapa, Ran," ujar Ibu cemas sembari sesekali melongok pintu.

 

Kami sedang duduk santai bersama. Aku dan Gadis asyik bermain ponsel. Sedang Ibu dan Bintang menonton televisi.

 

"Biarin sajalah, Bu. Mungkin bapak menang judi jadi lupa pulang," sahutku acuh. Mata ini fokus pada ponsel. Hari Minggu seperti ini kugunakan waktu untuk bersantai. "Nanti kalo uangnya sudah habis pasti juga balik," lanjutku asyik men-scroll time-line media sosial.

 

TOK TOK TOK!

 

"Ahhh ... itu mungkin bapak," tebak Ibu dengan senyum semringah. Wanita kalem itu berlalu menuju pintu.

 

"MANA BAMBANG!"

 

Aku terkaget mendengar bentakan keras itu. Begitu juga dengan Gadis dan Bintang. Gegas kami bertiga menyusul Ibu ke depan.

 

"Suami saya belum pulang dari tiga hari lalu," jawab Ibu sedikit ketakutan. Tentu saja ada tiga pria orang berbadan kekar mencari Bapak.

 

"JANGAN BOHONG!" bentak si gondrong.

 

"Buat apa saya bohong." Ibu kembali berujar.

 

"Bagaimana, Bos?" Pria gondrong itu mengerling ke lelaki botak yang lebih pendek darinya itu.

 

"Geledah!" titah pria plontos yang lengannya penuh dengan tato itu.

 

"Siap, Bos!"

 

"Tungguuu!" Kami semua menoleh ke pintu. Bapak dengan pakaian lusuh mendekat.

 

"Ke mana saja kamu selama ini, Bambang?!" gertak teman si gondrong langsung menyeret tubuh Bapak.

 

"Maaf ... saya belum dapat uangnya," ucap Bapak tampak sedikit takut.

 

"Alahhhh ... alasan!"

 

Tanpa bicara lagi kedua orang pria berbadan besar itu langsung meng ha jar Bapak. Tak ayal tubuh Bapak langsung terjungkal mendapat se rang mendadak seperti itu. Kesempatan itu digunakan oleh keduanya untuk me nen dangi Bapak.

 

"Hentikaaan!" jerit Ibu ketakutan.

 

Namun, kedua preman itu tidak juga mengindahkan teriakan Ibu. Keduanya asyik me mu kul Bapak sampai pria itu berdarah-darah.

 

"Sudah-sudah! Tolong hentikan!" Ibu memohon. Wanita itu telungkup melindungi tubuh lemah Bapak. "Memangnya utang suami saya nyampai berapa?" tanya Ibu dengan air mata berurai.

 

"Delapan puluh juta." Si plontos berbicara.

 

"Apaaah?" Aku dan Ibu ternganga tidak percaya. Sementara Gadis terus memeluk Bintang yang menangis ketakutan.

 

"Ya. Dan Bambang sudah berjanji hari ini akan melunasinya. Kalo tidak bisa maka ...." Si plontos menjeda ucapannya. Pria pendek buncit itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. "Bambang harus menyerahkan anak gadisnya yang sudah ia jadikan sebagai jaminan," tuturnya dengan seringai menyeramkan.

 

Aku sendiri membeku mendengar penuturan itu.

 

Lanjut?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
gemblung bapake. kalah judi anak segala dijaminin ......
goodnovel comment avatar
Widya Resthu Salam
sangat menyedihkan ......
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status