Home / All / MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA / 4. Pertemuan Pertama

Share

4. Pertemuan Pertama

last update Last Updated: 2022-01-18 12:09:24

Pria bermata elang itu menatapku dingin. Ada belahan pada dagunya yang lumayan runcing. Warna kulitnya yang tan menambah kesan seksi. Ahhh ... kenapa aku melantur begini?

 

Tidak seperti yang lain, penampilan lelaki yang dipanggil bos besar itu terlihat lebih rapi. Kemeja putih yang melekat pas di badan, ia gulung hingga ke siku. Rambutnya pun ia pangkas dengan rapi.

 

"Maju!" Dia menyuruh dengan menggerakkan telunjuknya. Manik cokelatnya masih menatapku dingin.

 

Dengan keberanian yang dipaksakan aku pun mengikuti perintahnya. Maju tiga langkah. Berdiri di depan si plontos. 

 

"Kamu anaknya Bambang?" tanya dia sembari membuka bungkus sigaret. Menaruhnya di bibir dan mulai menyalakan korek.

 

"Eum ... iya." Aku mengangguk pelan.

 

"Tahu bapakmu punya hutang banyak padaku?" Dia kembali bertanya usai mengisap batang putih tersebut. Membuat dipenuhi asap.

 

"Tahu." Aku menyahut singkat.

 

"Bagus." Dia kembali menyesap sigaretnya, "asal kamu tahu selain hutang delapan puluh juta, Bambang juga menjadikan kamu barang taruhannya."

 

Walau pun sudah mengetahui tetap saja hatiku sakit mendengarnya.

 

"Itu berarti sekarang kamu adalah milikku," tegasnya dengan menatapku serius.

 

Kuterima kenyataan itu dengan anggukan lemah. 

 

"Bawa dia ke belakang, Gor!" titah pria itu pada si plontos.

 

"Baik." Si plontos mengangguk, "ayuk!" Dia mengajakku meninggalkan ruangan.

 

"Tunggu." Aku menginterupsi. Lelaki itu dan si plontos menatapku serius. "Ada hal yang ingin aku sampaikan," ujarku sambil mengumpulkan keberanian.

 

"Memang kamu ngomong apa?" Si plontos yang bertanya.

 

"Eum ... Bapakku masuk rumah sakit."

 

"Ahhh ... kami tidak peduli. Kalo dia tidak berkelit dan berbohong tentu kami tidak akan menghajarnya," tukas plontos terlihat geram. "Makanya kalo miskin itu gak usah sok-sokan. Tahu sendiri akibatnya," lanjutnya merendahkan Bapak.

 

"Biarkan dia melanjutkan ucapannya, Gor!" Pria itu menegur anak buahnya dengan tenang. Si plontos mengangguk pelan karenanya.

 

"Selain luka babak belur, bapakku juga terkena penyakit liver yang cukup serius." Aku bercerita dengan menggigit bibir. Melihat keadaan Bapak yang tergolek lemah di brankar rumah sakit kemarin, rasa benci pada lelaki itu berangsur lenyap.

 

"Terus kamu mau apa?" Pria itu menatapku serius.

 

"Tolong pinjami kami uang untuk pengobatan bapak. Bapakku perlu dioperasi untuk menyelamatkan hidupnya."

 

"Hutang kemarin saja belum dibayar." Si plontos menyindir.

 

"Aku tahu ini lancang, tapi bapakku butuh segera penanganan. Jika tidak ...." Aku tidak mampu meneruskan perkataan. Membayangkan bapak terbujur kaku dengan kain kafan membuat tubuhku bergetar.

 

"Jika tidak apa?" Pria itu menyahut dengan tajam.

 

"Bapak ... Bapak aku bisa mati." Aku menunduk sedih.

 

"Bambang mau mati atau tidak itu bukan urusan kami--"

 

"Tolonglah!" Aku langsung bersimpuh di kaki pria dingin itu.

 

"Nggak untungnya buat aku--"

 

"Aku siap jadi budakmu jika kamu tolongin kami," selaku dengan bersungguh-sungguh.

 

Pria itu menatapku dalam-dalam. "Kamu serius mau menjadi budakku termasuk teman tidurku?"

 

Aku tergagap. Detik berikutnya menunduk pelan. "Boleh jadi teman tidur tetapi setelah resmi--"

 

"Gak ada kamus dihalalin dalam hidup Rain. Ha ... ha ... ha!" Pria plontos itu tergelak geli.

 

"Tigor, diaaam!"

 

Seketika pria plontos itu menutup mulut.

Cukup lama pria itu menatapku. Sesekali rokok di jemarinya ia hisap, lalu mengebulkan asapnya membentuk bulatan-bulatan di udara.

 

"Baiklah ... aku akan membantumu." Akhirnya dia memutuskan. 

 

Aku sendiri menarik napas lega mendengarnya.

 

Pria itu menarik laci mejanya. Selembar cek ia keluarkan, lalu mulai menulis jumlah uang. Terakhir dia membubuhkan tanda tangan pada kertas tersebut.

 

"Gunakan uang itu untuk perawatan bapakmu," suruhnya sembari mengulurkan cek tersebut padaku.

 

"Terima kasih." Aku menerimanya dengan melengkungkan bibir. Ketika kulirik tertera angka delapan puluh juta pada cek itu.

 

"Gor, antar dia ke rumah sakit!"

 

"Baik, Rain." Si plontos mengangguk sambil menyebut nama pria itu. "Ayuk!" Kini si plontos pinggangku. Risih membuatku menyingkirkan tangannya. "Gosah jual mahal begitu! Kamu itu cuma pelayan di sini. Budak!" bentaknya terlihat kesal.

 

"Walau pun hanya sekedar pelayan, tapi tolong hargai aku," tuturku memberanikan diri.

 

"Banyak bicara gadis ini ya?" Si plontos kian meradang.

 

"Tigor!" Pria bernama Rain itu menegur. "Jaga sikapmu!" 

 

Lelaki itu bernama Tigor itu menganga. Sepertinya dia terkaget mendengar perintah itu. Namun, detik berikutnya dirinya mengangguk pelan.

 

"Awasi gadis ini! Jangan sampai dia kabur setelah membawa uang dari kita." Dia menitah lagi.

 

"Siap."

 

Rain pun mengibaskan tangan. Aku dan Tigor lekas melangkah pergi. Suitan nakal terdengar ketika aku dan Tigor melewati teras. 

 

"Bang, ceweknya lumayan bening nih. Buat gue dong!" celetuk pemuda bertopi yang masih memegang tongkat biliard.

 

"Ambil aja kalo lu mau dipuntir sama Rain," sahut Tigor cuek.

 

Tigor lalu mengeluarkan sepeda motor besarnya. Dia menepuk jok belakang. Sigap aku langsung membonceng padanya.

 

Saat dalam perjalanan kami memilih untuk diam. Di tengah perjalanan aku menyuruh Tigor untuk berhenti di sebuah bank. Aku mau mencairkan cek ini.

 

Tigor menurut. Kami berhenti di sebuah bank yang mencetak cek tersebut. Setelah menunggu antrian selama satu jam, nomor antrianku pun dipanggil. Hanya sekitar setengah jam transaksi sudah selesai.

 

Kumasukkan uang senilai delapan puluh juta itu ke tas selempang yang kubawa. Setelah itu kembali menemui Tigor untuk melanjutkan perjalanan. Karena Tigor melajukan motornya dengan ngebut, kami pun tiba dengan cepat di rumah sakit. Turun dari motor, kakiku mengayun menuju kamar Bapak dengan setengah berlari. Membuat Tigor tergesa mengikuti.

 

Betapa kagetnya aku karena ternyata Bapak sudah tidak ada lagi di kamarnya. Ketika kutanya suster, ternyata Bapak sudah dipindah ke ruang ICU karena kondisinya ngedrop. Tanpa bicara lagi aku bergegas menuju kamar gawat darurat tersebut.

 

"Bu ...." Ibu yang sedang menekuri lantai di bangku tunggu, langsung bangkit berdiri begitu melihatku. Wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam. "Bagaimana keadaan Bapak?" tanyaku cemas. Lewat kaca aku mengintip pria yang terbaring lemah di dalam sana. 

 

Kemarin-kemarin aku menginginkan pria itu untuk lekas mati. Supaya tidak menambah beban Ibu. Nyatanya, melihat tubuh Bapak yang dipenuhi selang, hatiku didera rasa khawatir.

 

"Bapakmu harus segera dioperasi, Ran," ujar Ibu dengan bibir pucatnya.

 

"Aku bawa uangnya, Bu." Kutunjukkan tas berisi uang pemberian dari Rain. "Ya sudah ... aku temui dokter dulu. Ibu yang tenang di sini ya?"

 

Begitu mendapatkan anggukan setuju dari Ibu, kakiku menuju ruang kerja dokter yang menangani Bapak. Kusampaikan pada lelaki berjas putih itu jika kami pihak keluarga sudah bersedia  Bapak dioperasi.

 

Dokter berambut sedikit botak itu mengulurkan berkas. Menjelaskan prosedur. Aku yang tidak paham tentang bahasa kedokteran hanya mampu mengangguk. Ketika disuruh tanda tangan pun aku setuju.

 

"Sekarang silakan ke bagian administrasi," suruh dokter ramah.

 

Aku menurut. Tidak membuang waktu lagi aku melangkah menuju bagian administrasi. Petugas menunjukkan jumlah tagihan biaya operasi Bapak. Aku langsung membayarnya.

 

Maka setelah pembayaran selesai dilakukan, Bapak pun segera dibawa ke ruang operasi. Aku dan Ibu menunggu di luar dengan perasaan was-was. Sambil menunggu Ibu mengajakku untuk bermunajat pada Allah.

 

Ada sekitar satu jam aku dan Ibu menghabiskan waktu di masjid rumah sakit ini. Kami berdoa bersungguh-sungguh agar Allah memberikan kesembuhan pada Bapak. 

 

Dua jam setelahnya, operasi Bapak telah selesai dilakukan. Lelaki itu kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan.

 

*

Bapak hanya satu hari berada di ruang pemulihan. Lelaki itu sudah berpindah ke ruang inap biasa. Keadaannya mulai terlihat membaik setelah dioperasi tiga hari lalu.

Tepat di hari ketujuh Bapak sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.

 

Kami sekeluarga tentu saja merasa bahagia. Apalagi ketika sampai di rumah, Bapak berjanji pada kami.

 

"Bapak gak akan main judi lagi. Apalagi mabuk." Bapak berikrar dengan bersungguh-sungguh. "Sudah cukup kejadian kemarin menggugah kesadaran Bapak. Bapak gak mau mati muda," tuturnya serius.

 

"Beruntung Allah masih memberikan kesempatan padamu untuk bertobat, Bang." Ibu berujar dengan haru.

 

Bapak mengangguk sedih.

 

"Sudah jangan sedih-sedih!" Aku turut berbicara, "untuk merayakan kesembuhan Bapak, bagaimana kalo kita mengadakan syukuran," tawarku tulus.

 

"Memang kamu masih pegang uang, Ran?" Ibu bertanya dengan serius.

 

Aku mengangguk pasti. Total biaya pengobatan Bapak mencapai angka lima puluh juta. Masih tersisa tiga puluh juta uang pemberian dari Rain.

Mengingat Rain, tiba-tiba hatiku kembali diliputi perasaan takut dan sedih. 

 

Takut jika nanti aku harus hidup menjadi pelayannya. Serta sedih karena harus berpisah dengan keluarga tercinta.

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status