Share

5. Permintaan Bapak

Penulis: Yenika Koesrini
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-18 12:10:25

"Memangnya berapa orang itu memberimu uang, Ran?" tanya Ibu terlihat penasaran. 

 

Sebab total biaya rumah sakit Bapak itu saja sudah sangat mahal. Mungkin Ibu berpikir bagaimana bisa aku masih memegang uang.

 

"Delapan puluh juta, Bu," jawabku jujur.

 

"Delapan puluh juta?" Ibu tampak terperanjat. Itu wajar. Karena seumur hidup baru pertama kali bagi kami melihat uang sebanyak itu.

 

"Sebenarnya orang itu tidak memberikan, tapi ... aku yang minta pinjaman padanya," tuturku berterus terang.

 

Ibu tampak tertegun lagi. "Lalu ... bagaimana kamu akan melunasinya, Ran? Kita sendiri tidak punya tabungan."

 

Aku tersenyum getir. "Bukankah aku sudah jadikan jaminan oleh Bapak dalam taruhannya?" 

 

Ibu bergeming mendengarkan.

 

"Sisa uang ini akan aku berikan untuk Ibu. Gunakan saja untuk kebutuhan sehari-hari, biaya chek up Bapak, biaya sekolah Gadis dan Bintang juga."

 

"Kiran ...."

 

"Setelah acara syukuran Bapak nanti, aku harus kembali ke rumah besar itu," tuturku sendu, "aku akan menjadi pelayan bagi mereka."

 

"Sampai kapan, Mbak?" Tiba-tiba Gadis masuk ke kamarku. Rupanya anak itu ikut mendengar pembicaraan aku dan Ibu.

 

Aku menarik napas perlahan. "Sampai waktu yang tidak ditentukan."

 

"Maafkan ibu, Ran." Ibu merengkuh tubuhku. Mengusap rambutku perlahan. "Maafkan ibu yang telah mengorbankan kamu," ucapnya terdengar bergetar. Saat aku mengurai pelukan, pipi Ibu sudah basah oleh air mata.

 

"Sudahlah, Bu ...." Aku menggeleng pelan. Mencegah Ibu agar tidak terlarut rasa bersalah terus-menerus. "Sudah kewajibanku untuk menolong kalian. Apalagi aku anak sulung," tuturku berusaha tegar.

 

"Kiran."

 

Aku, Ibu, dan Gadis berpaling ke pintu. Bapak dengan wajah pucatnya mendekat. Pria itu melangkah perlahan, lantas mendekap tubuhku.

 

"Maafkan bapak yang selalu menyusahkan kamu." Sama seperti Ibu, suara Bapak pun terdengar bergetar. "Bapak memang lelaki brengsek. Seharusnya saat sekarat kemarin, kalian tidak perlu menolong bapak."

 

"Dengan Bapak mati pun, aku akan tetap menjadi budak preman itu," sahutku datar. 

 

Aku memang sudah memaafkan Bapak. Namun, rasa kesal tentu saja tidak akan secepat itu lenyap dari hati. Sehingga omonganku sedikit terdengar kasar dengan menyebut kata 'mati', bukan meninggal.

 

Sama seperti Ibu, Bapak pun tidak mampu berkata-kata. Mungkin merasa masih lemah, pria itu memilih duduk di tepi ranjang.

 

"Yang terjadi biarlah terjadi." Aku mencoba tegar, "terpenting sekarang Bapak benar-benar menyadari kesalahan Bapak selama ini," tuturku sembari menatap Bapak serius.

 

"Bapak benar-benar menyesal, Ran." Bapak menyembunyikan wajah pada telapak tangannya. Dia terdengar tergugu dalam tangis. Seumur hidup baru kudengar Bapak menangis.

 

"Sudahlah!" Aku menepuk pelan pundak Bapak. "Sekarang Bapak istirahat yang cukup. Teratur minum obat dan makan biar lekas sembuh. Setelah itu carilah pekerjaan, karena setelah ini aku sudah tidak bisa membantu kalian.

 

Bapak menghapus air matanya dengan punggung tangan. Kemudian dirinya meraih tanganku, lantas menggegamnya kuat. "Terima kasih sudah menjadi tulang punggung dan anak yang baik buat kami."

 

"Itu sudah menjadi kewajibanku," balasku tegar.

 

*

Esok harinya sesuai keinginanku, kami mengadakan syukuran atas kesembuhan Bapak. Aku, Ibu, dibantu Gadis membuat banyak makanan. Malam harinya kami mengundang para tetangga.

 

Ibu tampak menangis haru melihat Bapak duduk bersanding dengan para tetangga. Sudah lama Bapak tidak pernah berinteraksi dengan lingkungan. Makanya kemarin-kemarin saat terjadi keributan antara Bapak dan Ibu, tetangga sudah enggan peduli.

 

Pagi harinya saat tengah berbenah rumah, terdengar bunyi raungan motor di luar. Sepertinya lebih dari satu kendaraan. Aku tertegun mendengarnya. Siapa kira-kira yang datang?

 

Pintu kamarku diketuk dari luar. Ketika kubuka, muncul wajah Ibu. Guratnya menyiratkan kekhawatiran.

 

"Siapa, Bu?" tanyaku ingin tahu.

 

Ibu menatapku haru. "Mereka datang."

 

Mereka? Mungkinkah para preman itu? Tidak mau menduga-duga, gegas aku menghambur keluar. Di kursi tamu, duduk Tigor bersama kedua anak buahnya.

 

"Nah ... ini dia orangnya," sambut Bang Tigor begitu melihatku. "Gimana kamu udah siap? Janjinya seminggu, ini udah mau sepuluh hari," semburnya ketus.

 

"Eum ... aku ambil baju dulu," balasku lesu.

 

Tentu saja aku tidak semangat. Karena sebentar lagi aku berpisah dengan keluarga tercinta. Sambil memasukkan beberapa pakaian, hatiku merapal. Semoga tidak terjadi apa-apa padaku.

 

Tas ransel berisi barang keperluan lekas kugendong. Ketika aku keluar dari kamar, Ibu, Gadis, dan Bintang menghadang. Mereka mengerubutiku.

 

"Andai Ibu punya uang lebih, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini," sesal Ibu tersedu.

 

"Sudahlah, Bu. Gak ada yang perlu disesali." Aku membesarkan hati Ibu. "Doakan saja supaya orang-orang di sana dilembutkan hatinya. Agar mereka memperlakukan aku dengan baik."

 

"Pasti. Ibu pasti akan mendoakan kamu." Ibu lantas berjinjit untuk mengecup keningku.

 

Setelah dirasa cukup berpamitan, aku menemui Bang Tigor lagi. Tidak disangka, Bapak ikut mengantar. Walau sudah dilarang olehku dan Bang Tigor, tetap saja dirinya bersikeras. 

 

"Aku ingin bertemu Rain, Gor," ujar Bapak memberikan alasan. "Ada hal yang ingin kusampaikan padanya."

 

"Ya sudah kalo kamu memaksa." Tigor mengizinkan walau dengan suara kasar.

 

Kami berlima keluar rumah. Ibu, Gadis, dan Bintang ikut mengantar sampai teras. Ketika akan membonceng si gondrong, Bintang menghambur memelukku.

 

"Bintang jaga diri baik-baik ya?" pesanku lembut seraya mengusap kepala bocah itu.

 

"Mbak Kiran sering pulang ke rumah ya," pinta Bintang dengan mata berkaca-kaca. Pada bocah itu aku beralasan akan pergi kerja ke luar kota.

 

"Pasti." Aku mengangguk yakin, "kalo Mbak sibuk pasti pulang buat jenguk kamu." Untuk membesarkan hati Bintang, sengaja aku berjanji demikian. Walau ada keraguan apa nanti bisa memenuhi janji itu.

 

Usai menepuk pipi Bintang, aku lekas membonceng si gondrong. Tiga motor pun melaju. Para preman ini mengendarai motornya dengan kecang. 

 

Apalagi si gondrong. Sepertinya dia sengaja memancing ketakutanku. Benar aku merasa deg-degan. Namun, tangan ini tetap tidak sudi untuk memeluk si gondrong.

 

Setengah jam perjalanan, sampailah kami di rumah besar itu. Si keriting turun dari motor untuk membuka pintu gerbang. Kami melewati halaman rumah yang cukup luas ini.

 

Ketika akan menuju teras, keluar tiga orang laki-laki. Dua di antaranya memapah seseorang yang mukanya babak belur. Melihat hidung dan bibirnya yang mengeluarkan darah, bulu kudukku meremang. 

 

Bapak yang menyadari kekhawatiran pada wajahku langsung merangkul. Dia membimbingku memasuki rumah yang sepertinya dijadikan basecamp bagi para preman itu. 

 

Gondrong dan keriting tidak ikut masuk. Keduanya bergabung dengan teman-temannya di teras. Seperti biasa, Bang Tigorlah yang membawa kami menemui bosnya.

 

Sama seperti kemarin, lelaki yang bernama Rain itu tengah duduk sendiri di ruangan kerjanya. Namun, kali ini kulihat ada gurat kemarahan pada parasnya.

 

"Bambang datang, Rain." Tigor memberi tahu.

 

Rain hanya mengangguk. Kemudian dia mengibaskan tangannya. Tigor yang paham, lekas keluar ruangan.

 

"Ada apa kamu ikut datang ke sini?" tanya Rain tenang dengan pandangan tertuju pada Bapak.

 

"Aku ke sini selain untuk mengantarkan putriku, juga ada yang ingin kusampaikan sama kamu," jawab Bapak juga terlihat tenang.

 

"Apa?" Rain sama sekali tidak menatapku.

 

"Aku tahu putriku sudah menjadi milikmu, tapi aku mohon perlakuan dia dengan baik," pinta Bapak sembari merangkulku kembali.

 

Rain hanya menyeringai tipis.

 

"Aku tahu kamu pria yang baik, Rain," ucap Bapak terdengar bergetar. Tiba-tiba dia mendekati kursi Rain. Tidak disangka Bapak bersimpuh di kaki lelaki itu. "Tolong jangan sentuh dia sebelum, kamu resmi menikahinya."

 

Baik aku maupun Rain sama-sama tercengang mendengar permintaan Bapak.

 

Next 

 

Jan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   68. Kirei

    Rain dan Kirani sendiri langsung menuju kamar. Sementara Iqbal memilih bergabung dengan teman-temannya di gazebo belakang rumah. Anak-anak sedang main gitar dan bakar-bakar."Aduuuh!" Kirani mengaduh saat memasuki kamar."Nendang lagi?" tanya Rain melihat istrinya mengernyit menahan nyeri. Pria itu membimbing Kirani duduk di tepi ranjang."Kayaknya gak nendang lagi, tapi lagi koprol deh," balas Kirani menyandarkan tubuhnya pada headbed.Rain tersenyum mendengar jawaban lucu sang istri. Mata menangkap ada pergerakan pada perut buncit istrinya. Tangannya tergerak untuk mengelus.Tidak puas mengelus, Rain ingin mengecup permukaan perut Kirani. Dirinya ingin mengajak calon bayinya berbincang. Namun, saat ia membuka baju atas, tangan istrinya mencegah."Kenapa?" tanya Rain bingung.Kirani menggeleng lemah. "Malu."

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   67. Pertemuan Keluarga

    Lima bulan kemudian.Rain dan Nathan baru saja pulang dari kantor. Semenjak melamar Shila di rumah sakit dulu, Nathan memutuskan untuk tinggal di markas. Karena rasanya tidak etis jika harus seatap bersama Shila padahal keduanya belum sah. Walau pun ada si Bibik di antara mereka.Nathan dan Shila tidak segera melangsungkan pernikahan karena banyak banget agenda yang menunggu di depan mata. Di antaranya adalah menghadiri sidang kasusnya Ingga dan Tama. Baik Rain, Nathan, Shila, Kirani, dan Iqbal datang untuk memberikan kesaksian tentang kelakuan busuk sejoli itu.Setelah melewati beberapa kali sidang, akhirnya hakim memutuskan jika Tama dan Ingga dijatuhi vonis dua puluh tahun penjara. Keduanya divonis bersalah telah melakukan percobaan pembunuhan.Selain kasus, ada agenda lain yang membuat Nathan dan Shila menunda hari bahagia mereka yakni tentangpenyerahan aset. Shila sudah ditemukan. Rain dengan kesadaran diri menyerahkan hak milik gad

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   66. Kebahagiaan

    Shila tidak menjawab. Dia hanya menghambur pada dada yang terlapis baju khusus rumah sakit berwarna hijau tersebut. Gadis itu menyembunyikan wajahnya pada dada Nathan."Lho-lho ... kok udah main peluk-pelukan begini?"Tiba-tiba Rain datang sembarim merangkul pundak Kirani. Sementara tangan sang wanita memegang kue tart dengan beberapa lilin kecil. Lalu ada Ayon, Iqbal, Gadis, dan Ibu Sakina di belakang mereka. Melihat ada banyak orang yang masuk tentu saja Shila melerai pelukannya."Lho ... siapa yang ulang tahun, Ran?" tanya Shila bingung melihat kue yang dibawa istri sahabatnya itu."Kamu, Mit, eum maksud aku Shila." Kiran menjawab usai mendekati sahabatnya.Shila menyipit. Gadis itu tampak berpikir sejenak. Dia tengah mencoba mengingat sesuatu.Peristiwa terbenturnya kepala akibat pendorongan yang dilakukan Tama tempo hari membuat ingatan Shila sedikit demi sedikit kembali. Gadis itu memejam. Tiba-tiba kenangan akan sweet seve

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   65. Jawaban Untuk Nathan

    "Eum ... kata dokter bayi kita ....""Apa?" potong Kirani tidak sabaran. Rain terdiam. Pria itu mendongak, lantas menarik napas perlahan. "Kak, jawab! Jangan buat aku mati penasaran!" Kirani mengguncang lengan suaminya. Ketakutan membuatnya super panik."Tenang, Kiran," pinta Rain pelan. Tangannya mengusap lembut rambut sang istri."Gimana aku bisa tenang kalo kamu lama ngejawabnya?" sergah Kirani kasar. Hal yang belum pernah ia lakukan selama hidup dengan Rain. "Aku inget banget, tadi siang perutku sakitnya kayak ditusuk-tusuk pisau. Aku ... aku takut dia gak selamat." Tangis Kirani pecah.Rain memeluk istrinya. "Husst ... gak ngomong yang buruk-buruk! Gak baik itu." Dia menasihati sang istri."Tapi, aku takut, Kak." Kirani merengek.Rain mengusap air mata yang membasahi pipi istrinya. "Gak ada yang perlu ditakutkan, kamu hanya butuh bedrest total saja," terangnya kalem.Kirani menatap suaminya dengan serius. "Maksudnya bedrest aja b

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   64. Nasib Kirani

    Dia merasa ada banyak tangan yang meremas perutnya. Ketika rasa sakit itu kian menggigit, maka wanita itu akan mencengkeram kuat lengan Rain."Sabar, Sayang. Demi anak kita," ujar Rain lembut. "Tolong tambah kecepatan, Bal!" titah Rain panik."Iya, Bang. Ini juga ngebut kok," balas Iqbal di depan.Rain terus saja menyuruh Iqbal untuk menambah laju mobilnya. Apalagi saat dia merasa cengkeraman kuat dari sang istri. Hatinya benar-benar dilanda takut.Rain bahkan mengumpat kesal saat lampu merah menyala. Dia tidak tega mendengar suara kesakitan sang istri. Andai bisa diwakilkan, Rain memilih dia saja yang merasakan sakit itu.Akhirnya setelah melewati jalanan macet dan beberapa lampu merah, Iqbal telah berhasil mencapai parkiran rumah sakit. Pemuda itu membantu membukakan pintu mobil.Rain keluar dengan hati-hati. Dirinya membopong tubuh sang istri

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   63. Perjalanan Ke Rumah Sakit

    Shila terus saja tersedu menangisi kondisi Nathan yang tidak sadarkan diri. Wanita itu takut jika Nathan tidak bangun lagi untuk selamanya. Kepedulian dan perhatian Nathan selama beberapa hari terakhir begitu membekas di hatinya. Sementara hari ini dengan mata kepalanya sendiri, Shila melihat kesungguhan dalam diri Nathan.Nathan begitu tulus menjaganya agar tidak lecet sedikit pun. Bahkan pemuda itu rela berkorban nyawa demi dirinya. Melihat itu mata hati Shila terbuka lebar.Sekarang gadis itu tidak meragukan lagi keseriusan ucapan Nathan. Dalam hati Shila bertekad jika nanti Nathan sembuh dia akan lekas menjawab ungkapan hati pemuda itu tempo hari.Tidak jauh dari Shila dan Nathan berdiri Kirani. Dia dan sang suami tengah menunggu kedatangan ambulans untuk mengangkut Nathan ke rumah sakit. Tadinya Rain akan membawanya pulang saat komplotan Tama berhasil dibekuk oleh Komandan Bumi dan pasukannya. Namun, Kirani menolak dengan dalih ingin menemani Sh

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   62. Takluknya Gembong Mafia

    Tama memuntahkan isi pistolnya. Nathan sempat menghindar dengan melengoskan tubuh. Namun, timah panas tersebut tetap mengenai lengan atasnya."Nathaaan!" Shila dan Kirani menjerit bersamaan melihat bisep pemuda itu sudah berlumuran darah. Shila langsung memdekap Nathan.*Satu jam sebelum kejadian di apartemen Tama.Di rumah sakit, Ijong tengah menjenguk Iqbal. Keduanya tengah asyik berbincang. Sementara di brankar sebelahnya Gadis asyik bermain game di gadget untuk menghilangkan jenuh.Dalam hati, Gadis merutuk kedatangan Ijong. Karena moment mengobrolnya dengan Iqbal jadi tertunda. Apalagi kedua lelaki itu berbicara topik yang tidak dipahami oleh Gadis. Pokok tentang dunia bisnis dan mafia.Ketika tengah asyik berbincang, ponsel Ijong bergetar. Pemuda setengah gondrong itu melihat siapa yang menghubungi. Ternyata Ayon."Ada apa, Yon?" tany

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   61. Nathan Tameng Shila

    Tama bergegas menarik Shila kembali begitu mendengar peringatan dari polisi. Dia menjadikan Shila sebagai tawanan. Pistol di tangannya ia arahkan pada kepala Shila.Tentu saja gadis itu ketakutan. Tubuh Shila sampai bergetar saking ngerinya. Bibirnya merintih takut.Didan pun memperlakukan Kirani sama seperti bosnya. Wanita itu ia sekap. Moncong senjatanya ia arahkan pada pelipis istri dari Rain.Berbeda dengan Shila yang gemetar ketakutan, Kirani terlihat sedikit tenang. Bukan karena dia berani. Namun, keadaan ini sudah pernah ia alami sebelumnya. Dia memilih diam sembari memikirkan jalan keluar."Sekali kami peringatkan untuk membuka pintu apartemen ini atau kami buka paksa!" Suara Kapten Bumi terdengar lebih keras doorbell interkom.Tama mendekat pintu. Lewat layar LCD tujuh inchi dia bisa melihat keadaan di luar. Ada Komandan Bumi berserta anak buahnya dan

  • MALAM PERTAMA DENGAN BOS MAFIA   60. Bertarung Melawan Tama

    Tangannya bergerak cepat menarik pistol dari dalam persembunyian. Gegas ia todongkan senjata tersebut pada Rain.Kirani yang ngeri memekik keras. Dia masih trauma dengan insiden beberapa bulan lalu yang merenggut nyawa bapaknya."Tetap tenang dan terus berada di belakang aku," ujar Rain memenangkan hati sang istri. Dia menggenggam kuat tangan Kirani."Tama, buka pintunyaaa!" Sementara di atas Shila terus berteriak dan menggedor pintu. "Taaam!"Teriakan keras dari Shila sedikit mengalihkan perhatian Tama. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Rain. Ketika Tama tengah mendongak, tangannya langsung menampik senjata yang tengah dipegang oleh Tama.Senjata api itu terjatuh ke lantai. Tama terkesiap. Lagi-lagi Rain tidak melewatkan kesempatan. Kakinya bergerak cepat menendang perut Tama hingga lelaki itu terjatuh.Rain dengan sigap meraih pistol Tama dengan kakinya. Setelah dapat dia mengarahkan senjata tersebut pada Tama."Kiran, kamu kel

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status