“Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.
“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.
“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.
“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya. “Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas tinggal menunggu saja beberapa menit sampai semua barang masuk dalam mobil yang terbuka bagian belakangnya.
Terlihat Andin tengah sibuk dengan boneka- bonekanya, sedang Andita ia hanya menenteng buku gambarnya lengkap dengan spidol berwarna. Kedua senyum mahluk mungil itu terkembang begitu menggemaskan. Namun, ada yang aneh ketika aku menatap ke arah kamar tamu seperti ada yang mengintip dari bawah daun pintu. Aku bisa merasakan hawa berbeda dari dekatku, ah, aku tak ingin berfokus ke sosok yang menyeramkan itu, kuharap ia tetap menjadi penghuni rumah ini.
“Dinda, semua barang sudah berada di mobil. Andin, Andita juga udah di sana,” ucap Beni tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Oh, iya, Sayang.”Tak lama menatap rumah yang menemaniku menjalani hari suka dan duka sampai aku menutup pintu gerbang dan melangkah masuk ke mobil. Sedangkan mobil yang mengangkut barang-barang mengikuti kami dari belakang. Mobil Beni berukuran lumayan luas dan tempat duduknya juga nyaman, sesuai permintaanku waktu kami membelinya. Aku berdua duduk di dekat suamiku sedangkan Andin dan Andita duduk di bangku tengah selain itu bangku belakang kosong hanya berisi beberapa kantong makanan ringan saja untuk pelengkap selagi kami dalam perjalanan.
Dalam mobil, kami terdiam tanpa bicara hanya terdengar musik yang mengalun. Itupun nyanyian kesukaan si kembar. Tanpa terasa perjalanan kami sudah berlalu satu jam, benar saja rasanya seluruh badan terasa kaku dan kepalaku juga mendadak pusing. Beni masih berkonsentrasi melajukan mobil membelah jalan menuju Kota Bogor. Di jalan, terlihat kendaraan lumayan padat hingga kami sempat berhenti di beberapa tempat saking penuhnya yang mengisi jalan hitam itu.
Mobil terus melaju sedang dua putri kembar ku masih bermain dengan bonekanya, begitu juga si gadis kecil yang cuek sibuk menggambar. Aku melirik jam digital di ponselku, di sana sudah menunjukkan pukul 18.00 artinya waktu sudah mulai gelap.
“Kak Andin, pinjam dong bonekanya. Andita bosen gambar terus dari tadi,” pinta Andita pada Kakaknya yang tengah bermain.
“Ih, Kakak belum puas main, tahu.” Andin menolak untuk memberikannya.
“Sebentar aja, Kak!” teriak Andita dengan suara keras, gadis kecil itu geram karena sikap Andin—Kakaknya.
“Ma, Pa. Bilangin sama Kak Andin buat ngasiin bonekanya sebentar buat Andita.” Andita merengek dan mengguncang bahuku.
Kedua putriku beradu mulut saling berebutan boneka. Aku mencoba untuk menengahinya dengan menasehati mereka agar bisa berbagi bonekanya itu. Namun, usahaku tidak berhasil sampai sampai kejadian itu membuat Beni memarahi si kembar dan sekaligus membentaknya. Sayang, kali ini aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong putri-putriku. Akhirnya, keheningan memenuhi ruang kecil dalam mobil yang tengah melaju kencang.
Karena panik, spontan kepalaku menoleh ke belakang bangku yang kosong. Astaga! mataku terbelalak lebar menatap sosok perempuan cantik berbaju putih mengembang duduk diam di dalam mobil. Lantas tubuhku seperti mematung di tempat. Kedua bola matanya begitu sendu dan wajahnya pucat pasi, pias aku dibuatnya.
Aku mencoba tetap diam dengan menahan rasa begidik ngeri disertai takut. Perlahan aku melirik Andin dan Andita yang sudah tetertidur pulas usai berebut boneka. Sedang Beni masih terlihat bermuka masam sembari memutar setir dengan tatapan fokus. Tuhan, kenapa ia masih diam di sana? Pikiran ini tidak tenang dan menerawang ke mana. Sepertinya bukan kebetulan sosok perempuan itu menampakkan dirinya melainkan ada sesuatu yang masih belum aku tahu apa gerangan.
Ah,aku kan, biasa menghadapi situasi seperti ini. Mungkin aku bisa mengalihkan perhatianku dengan pura-pura memainkan game di ponsel yang masih kugenggam ini. Tak peduli dan tak ingin menoleh lebih lama lagi, lalu aku menyalakan benda pipih ini dan memainkan permainannya.
“Mama, Andin haus.” Aku mendengar suara salah satu putriku.
“Udah bangun, Sayang?” tegurku belum menoleh ke belakang.Satu menit jeda, lalu segera kuraih botol minuman dan memberikannya pada Andin. Aku lega, akhirnya sosok perempuan pucat dengan pupuknya yang gelap hilang tak berbekas. Iya, namanya juga mahluk astral jadi mana mungkin ada bekasnya.
“Dinda, aku juga mau minum, Sini!” titah Beni yang kehausan juga.
“Iya, Sayang. Kamu udah nggak marah lagi, kan?” tanyaku ingin memastikan saja sebenarnya.
“Wah … Kita sebentar lagi sampai, Sayang.” Aku mengguncang bahu mungil kedua putriku, membangunkan mereka. Agar nanti ketika sampai di tujuan tidak mengalami pusing mendadak karena kelelahan.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh jalan sebatas penglihatan, terlihat jalan sudah mulai sepi begitu kami memasuki gerbang komplek perumahan Puri Indah. Perlahan Beni memutar setir dan mobil pun berhenti tepat di depan gerbang rumah baru yang akan kami tempati.
Beni membuka kunci pintu mobil dan turun untuk membuka gerbang yang bercat putih itu. Pun mobil supir pengangkut barang—perabotan rumah kami juga ikut mengeluarkan semua isi yang sempat memenuhi ruang belakang.
“Mama, kita udah sampai rumah baru sekarang?” tanya Andita yang tampak ceria dari raut wajahnya.
“Wah, besar banget rumah baru kita, Ma,” timpal Andin yang ikut turun dari mobil dengan mendongak ke arah atap rumah dan depan bangunan yang modelnya mungkin lama tapi menarik.
Di tengah kesibukan masing-masing, aku melangkah beberapa meter ke samping halaman rumah karena rasa penasaran yang ada pikiran. Meski cahaya dari tiga lampu ada di setiap sudut rumah akan tetapi, aku merasa suasana di halaman belakang masih terasa gelap.
Demi ingin membuktikan hawa yang mendadak terasa aneh, aku mencoba berjalan terus ke belakang dan sepertinya ada sesuatu di sana yang menyebabkan daerah sekitar halaman lebih gelap. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat di sana, sebuah pohon besar yang tinggi menjulang. Pantas saja semua jadi gelap, itu semua dipengaruhi oleh tingginya pohon dan ranting juga daun yang dipenuhinya. Hingga menutupi cahaya yang terang benderang di sudut rumah.
Saat aku maju beberapa langkah ke depan, tiba-tiba semilir angin malam yang sangat dingin menyibak beberapa helai rambutku. Sontak, aku mematung dan seketika seluruh tubuhku seolah kaku tanpa bisa bergerak sedikitpun. Astaga! Dia dia berdiri dengan kaki mengambang di belakangku? Sebenarnya ada urusan apa perempuan itu menampakkan dirinya untuk yang kedua kalinya padaku.
Apa? Dia bisa menyentuh bahuku? Sungguh, kaki ini terasa begitu kaku.
Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe
Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada
“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak
"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a
“Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit