Dunia Adinda hancur berkeping-keping saat menemukan putri kembarnya terbujur kaku bersimbah darah. Tanpa tangan dan leher yang nyaris putus dengan mengalirkan darah segar yang siapa saja melihatnya bisa mengancam nyawa sama sepertinya. Tanpa tahu siapa pelakunya dan apa alasan ia melakukan perbuatas sadis itu. Apa yang akan dilakukan Adinda demi mengungkap pembunuhan? Baca sekarang dan ikutlah menyelami dunia kegelapan bersama Adinda.
Lihat lebih banyak“Adinda, tolong kamu kamu cek lagi file yang bertanda tangan saya,” ucap Pak Beni yang sempat membuatku kaget.
“I-iya, Pak.” Aku bahkan menjawabnya dengan nada bicara yang membuatku gugup.
Aku berharap Pak Beni tidak menyadari kalau pikiran gugup selalu melanda setiap kali masuk ke ruangannya. Entah, beberapa hari ini bayangan rambut belah sampingnya selalu saja terlintas dalam benakku.
Benar saja, wanita berumur dua puluh delapan tahun sepertiku ini sudah bukan hal yang aneh jika mengalami perasaan menyukai seseorang.
Aku juga tidak mengerti setiap ada pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya malah aku yang selalu jadi sasaran lelaki tampan itu.
Meski terlihat seperti tidak peduli tetapi, sesekali aku ikut mencuri pandang kala ia sedang menatap ke arahku walau akhirnya ia menoleh ke arah lain. Sebenarnya, aku mulai menyadari kalau selama ini diam-diam Pak Beni memerhatikan setiap gerak gerikku. Ah, biar saja. Aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin dan keluar dari ruangan yang tiba-tiba suasananya jadi panas persis sepanas hatiku.
“Sudah selesai, Dinda?” Astaga sekarang malah Pak Beni berdiri di hadapanku. Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, mendadak tanganku menjadi dingin dan aku terpaksa menggigit bibirku lagi.
“Ma-maaf … belum, Pak,” jawabku gugup.
“Ya, sudah. Sini, saya bantu,” lanjut Pak Beni yang nyaris membuat mulutku seakan terbungkam seketika.Aku bisa melihat betapa berwibawanya sosok yang ada di hadapanku saat ini. Bahkan posisiku saat ini begitu berdekatan dengan Pak Beni sehingga wewangian dari parfum yang ia pakai begitu menusuk ke indra penciumanku. Dan saat ini mata kami saling bersitatap, aku merasa tersipu lalu aku menunduk dan menatap lembaran putih di atas meja.
“Oke, selesai semuanya.” Lagi-lagi gerakan bola matanya menuju ke arahku.
“Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu,” balasku yang langsung beranjak dari tempat dudukku.
Sesaat aku berjalan menuju pintu, tiba-tiba suara Pak Beni menghentikan langkahku, “Pulang kantor, saya antar, ya, Adinda.”
Apa aku tidak salah mendengar kalau Pak Beni mau mengantar aku pulang? Tapi, syukurlah setidaknya saat mendekati magrib nanti keadaan jadi aman artinya aku tidak perlu diganggu sama mahluk-mduduk tak kasat mata itu.
Karena ia akan terasa hadir bila aku seorang diri tanpa teman yang menemani. Kalau tidak, aku akan terus berurusan dengan mereka.
Rasanya sudah tidak sabar menunggu waktu pulang kantor.
Akhirnya semua pekerjaan telah kuselesaikan dan jam pulang pun sudah tiba. Aku meraih tas dan juga ponsel dan segera berjalan ke depan. Terlihat satu persatu karyawan sudah meninggalkan kantor sedang aku masih berdiri di sofa ruang tunggu.
Saat jemariku menari lincah di atas layar saking bosannya menunggu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sepatu hitam mengkilap yang sudah berdiri di depan. Ternyata Pak Beni sudah berdiri beberapa detik menungguku.
“Yuk!” Pak beni mengajakku dengan memegang erat tanganku dan berjalan beriringan dengannya. Kali ini jantungku normal tidak seperti biasanya bahkan, aku nyaman berada di dekatnya.
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada dalam mobil mewah yang suasanya sejuk dan nyaman.
Sejak tiga bulan aku bekerja dan bertemu lelaki dengan rambut belah samping, hari-hariku di kantor semakin menyenangkan terlebih saat beberapa kali Pak Beni kepergok sedang mencuri pandang padaku. Entah, mungkin aku mulai jatuh cinta padanya dan percaya bahwa ia lelaki yang baik.
Aku melirih rambut belah tengahnya, menyusuri lekuk garis di wajahnya. Ah, ia cukup membuat diri ini terpesona.
“Adinda, sebenarnya saya ingin mengajak kamu makan malam dengan saya. Apa kamu keberatan?” ucap Pak Beni membuat diriku tidak dapat menolak ajakannya.
“Boleh juga, Pak,” jawabku singkat dan tidak berani menatap wajahnya.
“Mulai sekarang kamu nggak usah panggil saya dengan sebutan ‘Pak Beni’ lagi. Panggil saja Beni, Oke.”
Astaga, kenapa ia menatapku lagi! Sumpah, aku malu.
“Iya, Pak, eh … Beni,” jawabku masih dengan nada kaku.
Tanpa terasa kenyamanan menghentikan kendaraan beroda empat itu di sebuah restoran mewah di tengah kota.
Aku kaget ketika Beni membukakan pintu untukku dan memperlakukan diriku seperti putri dari kerajaan.
Dari jauh beberapa meter kami berjalan, tampak ruangan sedang dengan temaram cahaya lampu yang dihiasi bunga mawar di atas meja.
Pemandangan yang sungguh indah. Aku baru sadar ternyata Beni membawaku ke tempat makan malam yang romantis. Lagi, tatapannya tidak berkedip sedikitpun ke arahku.
Kami duduk berhadapan dengan dipenuhi menu makan malam yang istimewa pastinya.
“Kamu suka, Adinda?” tanya Beni tersenyum kecil padaku.“Suka banget, Beni,” jawabku ikut membalas senyumnya juga.
Tanpa menunggu lama, kami akhirnya menikmati makan malam di suasana hangat ini bersama dan saling mencuri pandang.
Keheningan seolah menjadi saksi pertemuan indah ini. Setelah selesai aku meraih tisu bermaksud mengelap sisa makanan yang menempel di mulut hingga dengan gerakan cepat tangan Beni menghilangkan noda di sana dengan sentuhannya yang lembut.
“Sejak pertama melihatmu, saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, Adinda.” Beni meraih jemariku dan menatapku lekat-lekat.
Oh, Tuhan. Jadi, Beni punya perasaan yang sama denganku?
“Kamu, mau kan jadi istri saya, Adinda?” Beni menaruh satu tangannya lagi di atas punggung tanganku.
Tanpa bersuara, aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum pada lelaki dengan rambut belah samping yang baru saja melamarku.
“Saya janji akan menjadi suami yang baik buat kamu.” Beni menarik tanganku hingga saat ini berdiri di hadapannya. Terasa hangat saat bibirnya menyentuh tepat di keningku. Lantas tubuhnya mendekapku seolah tak terlepas lagi.
Dan malam itu menjadi malam terindah dalam hidupku. Satu minggu kami mempersiapkan pernikahan kami hingga akhirnya kami sah menjadi suami istri.
Kutatap Beni—suamiku dengan menggoda hingga langkahnya seketika berhambur ke pelukanku dan bibirnya berpautan dengan bibirku. Hangat.
Malam pertama kami lalui dengan penuh cinta dan sentuhan mesra. Memiliki Beni adalah hal terindah di setiap episode kehidupanku esok dan seterusnya.
“Sayang, kita ambil cuti dulu berapa hari, Oke? Kan kita lagi bulan madu,” ucapku selagi mengolesi selai coklat di roti untuk kami sarapan pagi.
“Iya, Sayang,” jawab suamiku seraya melingkari tangannya ke pinggangku. Iya, Beni semakin agresif setelah kami menikah.
Selesai sarapan, kami berangkat ke kantor bersama. Terkadang saking mesranya sampai-sampai sebutan panggilan ‘pengantin baru’ selalu terdengar saat kami di kantor dan bertemu dengan siapa saja karyawan di sana.
Sekarang, Beni tidak memperkerjakan sekretarisnya lagi melainkan aku memintanya untuk menggantikan seluruh pekerjaanya. Itu semua kulakukan agar bisa selalu dekat dengan suami tersayangku.
Rasanya sehari saja tak bertemu dengan lelaki rambut belah samping itu hidupku sepertinya ada yang kurang.
“Sayang, kamu jangan terlalu banyak bekerja dong, kan, kamu sekarang sudah jadi isrti seorang direktur perusahaan. Jadi, santai sajalah, ya? Aku nggak mau nanti kamu sakit dan kecapean,” ucap Beni penuh perhatian dengan ikut membereskan dan membantu pekerjaanku.
“Iya, Sayang. Makasih banget, jadi makin sayang, deh,” lanjutku menggodanya dengan satu kedipan mata.
Tanpa terasa satu bulan telah berlalu, aku masih setia membantu suamiku menyelesaikan pekerjaannya.Aku merasa hari ini sangat melelahkan dan kepalaku mendadak ikut pusing sepertinya. Perlahan aku mencari kursi untuk menopang tubuhku yang lemah ini.
Aku tidak ingin memberitahu Beni takut nantinya malah mengganggu pekerjannya. Aku pulang lebih awal sore tadi sedang suamiku ada rapat penting yang harus ia hadiri.
Entah kenapa bulu kudukku terasa meremang sepertinya hawa juga mulai dingin dan angin perlahan mengibas rambutku.
Astaga! Kenapa harus malam ini aku merasakan kehadiran mereka? Benar saja, malam ini suamiku tidak ada di rumah.
Tiba-tiba isi dalam perutku seperti diaduk-aduk dan lama –lama semakin menjadi. Dan membuat langkah ini meluncur hingga ke kamar mandi dan saat itu juga aku menumpahkan segala isinya ke dalam kloset.
Akhirnya aku merasa lega dan tenang, lantas aku melangkah menuju ke kamar dan beristirahat.
Benar saja, aku lagi- lagi merasakan aura kahadiran mahluk tak kasat mata itu. Namun, seperti biasa aku tak ingin menghiraukannya apa lagi mengganggunya. Kuputuskan untuk menarik selimut dan terlelap sejenak.
Aku terbangun saat mendengar deru mesin dari arah luar. Sepertinya suamiku pulang dan kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 malam.
Perlahan kuturuni anak tangga satu per satu untuk membukakan pintu kepulangan suamiku.
“Sayang, kamu belum tidur?” tanya Beni usai memberikan jas dan ponselnya padaku.
“Udah sih, tadi sebentar, Sayang.”
Akhirnya aku lega karena hawa yang menyengat itu menghilang dalam sekejap sesaat suamiku tidur di sebelahku.
Esok paginya, kembali aku merasakan nyeri di lambungku. Iya, aku mual-mual hingga aku sadar bahwa sebulan sudah aku terlambat haid.
Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe
Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada
“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak
"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a
“Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen