TIGA TAHUN YANG LALU
"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya.'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongnya ke samping agar bisa masuk ke dalam kelas."Iiiish.. jangan jadi wanita kejam, Kim! Nanti jika kau mulai suka padaku kau akan menyesalinya!"’Ck.. suka padamu? Tidak akan mungkin! Di hatiku tetap hanya Kuda Putihku yang bertahta.’*"Kim, apa lagi yang kurang dari Borne? Kenapa kau selalu menolaknya?"Rea menghampiri meja Kimberly. Dan itu lagi yang selalu ia bahas. Telinga gadis itu sudah bosan mendengar rengekan Rea yang membujuknya agar mau menerima cinta Borne."Sudahlah, Re.. aku malas membahas soal ini. Kau pasti sudah tahu jawabannya, kan?""Kenapa? Kuda putih khayalanmu itu?! Kau terlalu banyak nonton drama kolosal China, Kim! Borne sudah berkali-kali menyatakan cintanya padamu. Tapi kau selalu bersikap angkuh dan menolaknya."Kata 'angkuh' membuat wajah Kimberly menoleh menatap Rea. Padahal sejak tadi gadis itu bersikap acuh dan tak mau menggubris ocehan temannya terlalu serius."Angkuh? Menolak cinta seseorang yang tidak kita cintai kau sebut angkuh, Re? Kau ini lucu. Sudahlah! Aku malas membahas masalah ini lagi. Jangan dekati aku jika kau masih membahas soal Borne lagi," ancam Kimberly."Hh.. dasar gadis angkuh!"Samar-samar masih terdengar umpatan Rea meski ia berbicara pelan. Mungkin pikirnya Kimberly tak akan mendengar karena setelah mengatakannya gadis itu langsung beranjak pergi keluar meninggalkan kelas."Suasana di kelas membuatku malas mengikuti pelajaran. Lebih baik aku menikmati angin semilir di rooftop sekolah," guman Kimberly dengan wajah gusar."Hey, Cupu! Dimana airmatamu, hah? Apa sudah merasa kuat untuk melawanku?! Hahahaha..."Hari ini sepertinya hari sial bagi Kimberly. Gadis itu menyingkir ke rooftop untuk mendapatkan sedikit ketenangan, namun pemandangan Irene dan genknya yang sedang membully seorang gadis membuat Kimberly muak.Irene dan kedua kawannya melirik ke arah Kimberly namun mereka kembali melanjutkan aksi tengilnya karena tahu, gadis itu bukan orang yang senang ikut campur.Kim melangkah melewati gadis-gadis pembully itu, sekilas terlihat si gadis yang di bully melirik ke arah Kimberly. Lirikannya seakan memohon untuk diberikan pertolongan.Kim berdiri di tembok pembatas yang tingginya setengah dari tinggi badannya. Ia mengambil handsfree dari kantong rok dan memasangnya di telinga. Tak ada musik yang didengar, Kim hanya ingin meredam suara tawa para pembully itu."Ayo, lepas pakaiannya!""Hah? Jangan, Ren! Tolong lepaskan aku!""Hei, anak baik! Kau sudah mengotori bajuku. Jadi kau harus dihukum, Sayang..""Hahahahaha....""Wen, pegang tangan kirinya, dan kau Shel, pegangi tangan kanannya. Ini akan jadi pertunjukkan yang hebat!"Kimberly menjadi penasaran karena mendengar suara bising gadis-gadis tengil itu. Tampak seringai jahat di wajah Irene yang tengah menyiapkan ponselnya. Sepertinya gadis itu akan memotret atau malah memvideokan si gadis malang dengan pose tanpa busana.Seperti ada gaya tarik menarik di hati Kimberly. Ingin menghentikan aksi Irene yang sudah kelewat batas tapi ada rasa malas mencari perkara dengan genk Irene. Bukan takut, Kim hanya malas ikut campur urusan orang lain, meski ketidak adilan terlihat di hadapannya."Ren, tolong, Ren. Aku tak sengaja saat menumpahkan air ke bajumu kemarin. Maafkan aku! Sungguh itu tak disengaja."Meski tak melihat wajah gadis malang itu namun Kimberly yakin, pasti ia kini tengah memelas dan bersimpuh di kaki Irene dan teman-temannya."Ck, kau kira maaf saja cukup, Cupu? Kau tahu? Vest yang kau kotori itu harganya mahal! Kau tak akan bisa menggantinya!""Tolong maafkan aku, Irene. Jangan berbuat seperti ini, aku bisa malu.""Hahahaha.. memang itu yang kami mau, Bodoh!" Suara antek Irene ikut menyahut."Jangan.. jangan.. Irene tolong ampuni aku! Aku akan mengganti bajumu yang kotor. Tolong beri aku waktu untuk mengumpulkan uang dan menggantinya. Ampuni aku, Irene!""Hahahaha.. kau kira aku gadis miskin sepertimu, Cupu?! Aku bisa membeli ratusan baju seperti itu. Tapi moment ini membuat hatiku senang, apalagi saat kau bersimpuh dan memohon di kakiku.""BRISIK!"Kimberly tak tahan lagi mendengar suara-suara sumbang dari mulut Irene dan teman-temannya. Suara-suara itu seakan memekakkan telinga."Jangan ikut campur, Kimberly!"Mata Irene menatap nyalang ke arah Kimberly saat gadis itu menoleh dan berteriak padanya."Suaramu dan teman-temanmu membuat telingaku gatal. Pergi dari sini! Aku tak mau diganggu!" cetus Kim dengan nada memerintah."Ck.. ck.. harusnya kau yang pergi! Kami lebih dulu disini! Jangan sok seperti Ratu yang senang memerintah, Kimberly!"Kimberly melangkah tenang, menghampiri ketiga gadis menyebalkan itu. Sepertinya kali ini ia harus menjadi gadis yang senang mengurusi masalah orang lain. Gadis liar seperti Irene, Wenda, dan Shella memang harus diberi syock teraphy sesekali."Aku memang bukan ratu, tapi aku bisa membuat kalian di skors dua minggu dari sekolah!" ancamnya pelan namun tampak berhasil membuat wajah-wajah itu terintimidasi."Kim, kau diam saja dan nikmati pemandangan di depan sana! Jangan sok jadi pahlawan kesiangan."Suara sumbang itu membuat Kimberly lebih tertarik untuk turut campur. Wenda kini memundurkan langkahnya saat mata Kimberly berbalik menatapnya."Aku tak suka waktu istirahatku harus diganggu dengan tawa bising kalian! Pergi dari sini atau aku laporkan pada pihak sekolah. Oh, ya.. bukan kali ini saja, kan, kalian membully gadis ini? Benar, kan?"Kim menoleh pada gadis malang itu, dan ia hanya tertunduk. Terlihat tubuhnya gemetar ketakutan."Jangan takut! Ikut bersamaku ke ruang kepala sekolah dan katakan semua yang mereka lakukan padamu sejak dulu. Aku yang akan melindungimu."'Hhh.. Kimberly, kini kau benar-benar sudah mencelupkan diri dan berlagak seperti pahlawan kesiangan.'Bathin gadis itu menertawai dirinya sendiri."Brengsek! Akan kubalas semua ini, Kim! Kau salah karena telah ikut campur urusanku!"Kim membalas ancaman Irene dengan senyum mempersilakan. Gadis itu memberi kode pada teman-temannya untuk pergi."Hei, tunggu!"Secepat kilat Kimberly merebut ponsel dari tangan Irene, dan menghapus video yang tadi sempat ia ambil."Ini!" Kim menyerahkan kembali ponsel Irene dengan senyum mengejek."Brengsek!" umpatnya lagi kemudian gegas turun ke bawah bersama dua anteknya."Trimakasih.."Ucapan itu keluar dari mulut gadis malang itu. Kimberly tak tahu siapa namanya. Gadis itu mulai membetulkan seragam sekolahnya yang sempat dibuka paksa oleh antek-antek Irene."He em.""Hey.."Kim yang sudah melangkah meninggalkan gadis itu berbalik kembali padanya,"Kenapa kau tak melaporkan Irene dan teman-temannya pada guru? Atau langsung saja kau ke kantor kepala sekolah."Kimberly cukup penasaran dengan hal itu. Pasalnya banyak korban bully di sekolahnya memilih diam dan tak melapor pada pihak sekolah.Bukannya menjawab, gadis itu malah tertawa seolah mengejek, "memang siswa peraih beasiswa sepertiku bisa apa, Kim?" cetusnya."Maksudmu?""Kau kira jika aku melaporkan Irene dan teman-temannya pada guru, apa mereka akan dengan antusias menindaklanjutinya? Kalian.. para siswa dominanlah yang akan tetap menang."Tanpa bicara lagi, gadis itu pergi dengan langkah terburu setelah merapikan seragamnya. Ia menuruni anak tangga tanpa menoleh lagi."Kalian? Maksudnya aku juga? Kenapa jadi aku dibawa-bawa? Iiiish.. dasar gadis aneh! Sudah ditolong malah menyamakan aku dengan Irene dan antek-anteknya." Kimberly mencebik sendirian."Gadisku memang seorang pahlawan."Borne yang sejak tadi mengamati pertikaian antara Kimberly dan Irene merasa bangga dengan jiwa penolong gadis pujaannya. Ia merasa Kimberly memang layak dicintai olehnya.*"Hei! Kau.. siapa namamu?"Borne mengejar gadis yang tadi ditolong Kimberly."Hmm?""Kau! Siapa namamu?!" tanyanya lagi seraya menunjuk ke arah Naina."Aku? A-- ada apa kau-- menanyakan namaku, Borne?"Naina merasa gugup dan sedikit salah tingkah. Di sekolahnya, tak ada yang tak mengenal Borne. Pemuda tampan, tajir, dan memiliki tubuh proporsional itu menjadi idaman gadis-gadis di sekolahnya."Iiish.. kau jawab saja! Siapa namamu?""Aku-- aku.. Naina," sahutnya ragu."Hem. Naina, lain kali jika ada yang mengganggumu katakan padaku. Aku akan melindungimu."Naina kembali mengulas wajah bingung. Tak ada angin tak ada hujan, siswa populer seperti Borne tiba-tiba berkata ingin melindunginya."Kenapa? Kenapa kau mau melindungiku, Borne?""Eeeem.. karena Kimberly juga telah menolongmu tadi. Jadi aku juga akan menolongmu jika kau membutuhkan bantuan," sahut Borne santai."Hei, kalian dengarkan aku! Tidak ada yang boleh mengganggu... siapa tadi namamu?""Naina..""Ya! Tidak ada yang boleh mengganggu Naina lagi. Jika ada yang berani mengganggunya, berarti kalian mencari masalah denganku!"Borne berteriak lantang di lorong kelas yang cukup ramai dengan para siswa. Meski terkejut, tak ada satu pun siswa yang berani membantah kata-kata Borne. Mereka tak ingin membuat masalah dengan siswa yang memiliki kekuatan dari orang tuanya. Kimberly dan Borne adalah dua siswa dominan di sekolah Penabur. Orang tua keduanya adalah donatur terbesar disana.Saat Borne sudah melangkah pergi, Naina masih terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu masih tak percaya jika Borne akan menjadi pelindungnya.'Apa aku hanya bermimpi? Jika ini memang hanya mimpi aku mohon jangan bangunkan aku, Tuhan..'**"Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe.""Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?"***"Apa-apaan ini? Kim--" Naina menoleh pada sahabatnya. Kimberly mengambil gawai Feby dari tangan Naina. Terbaca dengan jelas berita pernikahan antara Alan dan Kanaya yang akan dilangsungkan di San Fransisco Meski tanggal tetapnya tidak diumumkan, namun foto yang ditengarai adalah foto prewedding antara Alan dan Kanaya juga dilampirkan disana. "Ini." Kimberly menyerahkan ponsel Feby dan berlalu tanpa kata. Tak ada respon mengejutkan dari gadis itu, ia hanya menampakkan wajah datar dan dingin. "Pergilah," pinta Naina pada Feby "Kim.." "Itu tidak benar, Nai. Alan tidak mungkin menikahi Kanaya begitu saja. Aku tahu dia sedang marah padaku.. tapi dia bukan laki-laki pengecut yang akan meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apa-apa." Kimberly menghentikan sejenak pekerjaannya di wastafel dan tersenyum yakin pada Naina. Meskipun di hatinya tetap saja ada rasa mencelos saat melihat berita tadi. ** "Haha.. bener, kan gue bilang. Alan Satou cuma mau mainin gadis muda yan
"Kim, kau baik-baik saja?" "Hm? Heem.." Gadis berkulit kecoklatan itu tahu kalau sahabatnya tengah berbohong. "Kau bohong! Wajahmu mengatakan yang lain." "Aku baik-baik saja, Nai. Sungguh!" "Apa Alan belum mau bertemu denganmu?" Kimberly menggeleng lemah, "sepertinya dia masih marah padaku. Apalagi kudengar kondisi Kanaya masih mengkhawatirkan. Alan pasti merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi." "Hhh! Mengapa dia harus bertanggung jawab? Wanita itu yang melakukan hal bodoh! Ku kira gadis kaya akan lebih bertindak realistis, ternyata Kanaya hanya wanita melankolis yang bodoh!" Nayla bicara dengan ekspresi berapi-api. "Entahlah, Nai.. kadang aku merasa cintaku pada Alan tak sebesar cinta Kanaya padanya. Tapi berbuat bodoh seperti itu apa bisa disebut cinta?" "Tentu tidak, Kim! Kanaya adalah wanita kaya yang bodoh. Rela mengakhiri hidupnya hanya demi laki-laki yang jelas tak mencintainya." Pernyataan Nayla sekejap mengingatkan cintanya dengan Borne. Sebesar apapun ga
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d