"Ngomong-ngomong soal pernikahan, aku benar-benar tak tahan untuk tidak menyampaikan beberapa hal lagi. Saranku, lebih baik kalian bedua jangan menikah.""Mengapa?" Adithya bertanya tanpa basa-basi.Bobby mengerutkan kening, tapi sudah terlambat untuk menghentikannya.Ainsley mengangkat bahu, seolah pasrah."Mungkin satu-satunya keuntungan menikah adalah kamu bisa minum sup hangat saat pulang kerja, punya tubuh manis dan lembut untuk dipeluk saat malam, ada teman nonton film saat bosan, bisa kencan di waktu libur, dan kamu tak perlu lagi didesak menikah tiap akhir tahun. Setidaknya, kamu nggak akan diejek sebagai jomblo akut."Adithya meliriknya. Aku iri sampai gigi rasanya mau copot.Dan… hanya itu manfaatnya?Bukankah barusan dia menyebut banyak?“Tapi, menjaga seorang wanita itu tidak gampang. Kamu harus melindunginya setiap saat, tidak boleh berkata kasar, karena kalau kamu menyakitinya, kamu yang harus membujuk dia kembali. Tapi kalau kamu terlalu memanjakannya, dia bisa jadi sep
"Tuan Ketiga merasa saya harus meminta maaf. Baiklah, saya minta maaf karena telah melakukan sesuatu yang tidak pantas. Saya harap Tuan ketiga bersedia memberi saya satu kesempatan." Aleena maju beberapa langkah, nadanya merendah namun matanya tetap menyiratkan ambisi.Saat teringat bagaimana adiknya begitu membanggakan kekuatan lelaki di hadapannya, ia mendadak tersulut, lalu mengerahkan seluruh keberaniannya."Jika Tuan ketiga merasa saya tidak pantas bekerja di unit yang sama dengan istri Anda, saya juga bersedia ditempatkan di SMP No. 1 di kota ini. Asal…" Ia menarik napas, nada suaranya memohon namun terselubung perhitungan."Asal Tuan ketiga tidak mengirim saya ke sekolah dasar terpencil di pedalaman. Saya rela melakukan apa saja."Mendengar ini, tangan Ainsley yang semula sedang menandatangani dokumen terhenti di udara. Ia mengangkat kepala perlahan, menatap Aleena dengan dingin—tanpa ekspresi."Miss Aleena," katanya datar.Senyum tipis muncul di bibir Ainsley, tetapi sorot mat
Wajah tampan Ainsley sedikit membeku, tampak malu seolah-olah dirinya baru saja tertangkap basah.Ia membetulkan posisi kacamata berbingkai emas yang elegan di hidungnya, lalu menatap Bima dengan tatapan penuh teguran."Bima! Sudah berapa kali aku mengatakan padamu—jangan memukul orang sembarangan!Sekarang aku sudah menikah dengan Miss Anna. Kita harus meneladani sikapnya. Lagipula, aku tidak seperti dulu lagi. Kita tidak bisa bertindak arogan seperti masa lalu."Bima langsung menerima tanggung jawab saat "panci panas" sebesar itu dilempar ke arahnya. "Iya, Nyonya, saya yang salah!Saat itu, Tuan Ketiga mendengar bahwa Damar telah mengurung Anda dalam lemari. Kakak kedua Anda bahkan mengatakan tidak akan membiarkan Anda menginjakkan kaki lagi di Distrik Barat. Tuan Ketiga sangat marah dan kecewa dengan cara kakak kedua Anda menangani hal tersebut.Jadi, saya keliru menangkap maksud Tuan Ketiga. Saya bertindak atas inisiatif sendiri demi membela kehormatan beliau."Ainsley mengangguk
Anatasya dibawa ke ruang audio-visual oleh Ainsley, dan saat itulah ia baru menyadari satu hal—dia sebenarnya sudah lama pindah ke apartemen ini, tapi belum pernah menginjakkan kaki di ruangan ini sebelumnya.Di sebelah ruangan itu tampaknya ada tempat kebugaran, tapi ia juga belum pernah ke sana. Mungkin karena selalu ada perasaan enggan—perasaan bahwa tanpa izin, seseorang tak seharusnya masuk ke wilayah orang lain.Saat melangkah masuk, ia memperhatikan ruangan berukuran sekitar dua puluh meter persegi itu dengan saksama.Ruangannya memang tidak besar, tetapi sangat sederhana dan mengadopsi desain tatami ala Jepang. Selain perangkat home theater yang tampak mewah, ada juga sofa ganda di lantai tempat orang bisa bersandar dengan nyaman, serta meja kopi kecil di sampingnya.Di atas meja kopi kaca itu, tersaji aneka buah segar—semuanya disiapkan oleh Ainsley.Anatasya menganggap semuanya baik-baik saja. Ia memutuskan untuk menganggap momen ini sebagai waktu bersantai, bukan sesi peraw
Dalam sekejap, pipi Anatasya memerah. Ia terlalu malu untuk menatap Ainsley.“Kalau begitu, izinkan aku meminta maaf dengan tulus pada Istriku. Aku pasti membuatmu takut saat itu, bukan? Aku benar-benar salah.”Anatasya menggigit bibir dan berkata pelan, “Tidak… tidak perlu minta maaf. Itu bukan salahmu.”“Tidak, itu kesalahan suamimu. Aku tidak berhasil membuatmu jatuh cinta padaku untuk kedua kalinya. Itu kesalahanku, dan aku akan terus memperbaikinya.”Pipi Anatasya makin panas mendengarnya. Ia menunduk sedalam mungkin, nyaris menyembunyikan wajahnya.Segera ia mengulurkan tangan, menutup mulut Ainsley dengan panik. “Sudah, jangan bicara lagi!”Ainsley justru menarik tangannya perlahan, lalu mengecup pipi merahnya dengan lembut. Sudut bibirnya terangkat senang.“Tenang saja, istriku. Serahkan semuanya padaku. Aku akan bertanggung jawab untuk menyembuhkan trauma psikologismu di masa depan.”Anatasya mendadak ingin menghilang dari dunia. Rasanya dia tidak ingin bertemu siapa pun.Ia
Ainsley menatap Anatasya lekat-lekat, ekspresinya sulit ditebak—entah sedang marah atau senang. “Ada yang ingin kamu katakan padaku?”Anatasya menggenggam cangkir susu dengan gugup, lalu menyesapnya cepat-cepat. “Bukankah Keitlyn sudah memberitahumu semua yang perlu kamu ketahui?”“Tidak.” Suara Ainsley terdengar tenang, nyaris tanpa emosi, tapi justru karena itulah terdengar dalam dan tulus. “Aku ingin mendengarnya darimu langsung. Aku tak ingin mengenalmu dari cerita orang lain.”Dia menatap Anatasya dengan lembut. “Kalau kamu yang mengatakannya, aku akan percaya. Tapi kalau kanu belum siap, aku akan menunggu. Sampai kamu benar-benar percaya padaku sepenuhnya.”Jantung Anatasya bergetar. Jemarinya mencengkeram cangkir susu begitu erat hingga nyaris retak.Beberapa detik kemudian, sebuah pikiran muncul di benaknya. Ia meletakkan cangkirnya dan menatap Ainsley dengan sungguh-sungguh. “Kudengar kamu tidak suka orang lain menyentuh barang-barangmu. Apakah itu benar?”“Ya,” jawab Ainsley