LOGINSutra tidak pernah menyangka, bekerja sebagai pelayan di keluarga Deodola justru menjerumuskannya ke dunia yang penuh rahasia. Tugasnya sederhana—mengantarkan makanan ke apartemen Tuan Muda Kama, putra satu-satunya keluarga Deodola yang sedang “dihukum” dan dijauhkan dari mansion. Namun, setiap pertemuan justru membuat Sutra semakin mengenali sisi lain sang pewaris bahwa ia dingin, kesepian, dan terluka. Di balik tatapan tajam itu, ada rahasia yang bahkan keluarganya sendiri tidak tahu. Sutra tahu batasnya—ia hanya pelayan, bukan seseorang yang boleh jatuh hati. Tapi batas itu perlahan kabur… sejak Kama mulai memanggil namanya dengan nada yang berbeda saat dirinya terjebak obat yang membuat Sutra tak hanya melayani Kama, namun juga hasrat dan nafsunya. “Tubuhku panas. Aku butuh sesuatu dari dalam dirimu. Tugasmu saat ini, bagaimana caranya agar aku bisa melakukan pelepasan. Terserah, kau mau mengeluarkannya dengan cara apa, Sutra.” I
View More“Tugas pertamamu, antarkan makanan ini untuk Kama sekarang. Kamu bisa minta tolong pada sopir untuk mengantarkanmu. Dia sedang menjalani hukuman dariku.”
Sutra mengernyitkan dahinya. Ada sebuah pertanyaan yang menjejali isi kepalanya saat ini. Sejak ibunya bekerja sebagai pelayan di keluarga Deodola, hidup Sutra ikut terseret dalam kehidupan keluarga itu. Seminggu lalu ia baru lulus sekolah, tapi karena sulitnya mencari pekerjaan, keluarganya tak punya pilihan lain selain terus bergantung pada kebaikan keluarga Deodola. Kini, tanpa benar-benar paham alasannya, Sutra justru diminta membantu pekerjaan ibunya—dan mengantarkan makanan sehari hari untuk anak tunggal keluarga Deodola, yang katanya sedang “dihukum”. “Oh, ya. Katakan padanya kalau kau adalah pelayan baru, putri Zatulini. Semoga saja dia tidak macam-macam.” Suara Amira–Nyona pemilik rumah ini terdengar mengecil saat ia mengatakan kalimatnya yang terakhir. Setelah berbincang sesaat dengan Nyonya besar, Sutra masuk dalam dapur. Mencari sebuah rantang yang sudah terisi makanan untuk sang bos. Tepatnya bos baru. Zatulini— ibunya, menghampiri Sutra dengan kerutan yang begitu kentara di dahinya. “Kau mau ke mana?” “Nyonya menyuruhku untuk mengantar makanan ini ke apartemen Tuan Muda, Bu.” “Tu-tuan Muda? Maksudmu ….” “Tuan Kama.” “Kenapa harus dirimu?” “Apa nyonya Amira tidak memberitahu ibu sebelumnya? jika tugasku adalah mengantar makanan serta keperluan Tuan Kama ke apartemen?” Senyum itu mengembang, melengkung bak bulan sabit yang terang. “Bukankah itu pekerjaan yang terbilang cukup mudah, Bu? Sutra sangat bersyukur karena keluarga Dodola masih mempercayai keluarga kita,” sambungnya sambil menenteng rantang. Langkahnya panjang-panjang, meninggalkan Zatulini yang masih tampak tercengang di dalam dapur. “Tuan Kama bukan orang yang mudah untuk kau ajak tersenyum, Sutra!” gerutunya yang kemudian ikut mengayunkan langkah, mencari keberadaan Sutra. “Sutra, biarkan ibu saja yang mengantar makanan Tuan Kama. Kamu lakukan pekerjaan yang lain saja.” “Itu sudah menjadi tugas Sutra, Lini.” Suara itu melengking. Tidak marah, tapi sedikit menyentak. “Nyonya. Maaf, tapi ….” “Kau tidak perlu khawatir. Kama tidak akan bersikap kurang ajar pada putrimu. Aku mengenal dekat putraku sendiri. Jika dia berbuat kurang ajar terhadap Sutra, aku yang akan tanggung jawab,” ujar pemilik mansion sambil berjalan masuk dalam mobil. Dengan yakin, Sutra berjalan sepanjang koridor apartemen. Mencari nomor unit tempat sang bos tinggal. Sutra menyusuri koridor apartemen. Nomor 506. Ia berhenti di depan pintu, mengetuk pelan, lalu menekan bel. Pintu terbuka. Seorang pria muda berdiri di ambang, rambut berantakan, mata sayu, rokok terselip di jemari. Asap tipis keluar dari bibirnya, menampar wajah Sutra dengan aroma nikotin yang tajam. Kama Deodola. Tatapan singkat pria itu membuat Sutra kaku di tempat. Tanpa berkata apa pun, Kama berbalik menuju sofa. Sutra mengikuti dan meletakkan rantang di atas meja. “Masuk,” ucapnya datar, tanpa menoleh. Sutra mengangguk gugup. “Tuan mau makan sekarang?” Tidak ada jawaban. Hanya suara tarikan napas dalam dan hembusan asap. Sutra menunggu, tapi pria itu tetap diam. “Baiklah, saya tinggalkan makanannya di sini,” katanya lembut. Kama hanya mengangguk sedikit, matanya tetap tertuju ke luar jendela. Sikapnya dingin, membuat ruangan terasa beku. “Maaf, Tuan. Kalau ada yang dibutuhkan, saya masih di sini.” Hening. Sutra akhirnya berbalik hendak pergi, tapi sebelum melangkah keluar, suaranya terdengar lagi— “Kalau mau pergi, pergi saja. Jangan bicara terus. Suaramu berisik.” Sutra menelan ludah, menahan diri agar tidak tersinggung. Ia hanya menunduk sopan. “Baik, Tuan.” Ketika pintu tertutup di belakangnya, napasnya terasa berat. “Siapa namamu tadi?” Lagi lagi Sutra terdiam di pangkal pintu. “Sutra. Namaku Sutra.” jawabnya mendapat tatapan yang datar. Lalu dagu pria itu mengarah ke pintu menandakan dirinya dipersilahkan keluar. Belum pernah ia mendapatkan sambutan seburuk itu dari siapa pun. Di sepanjang perjalanan pulang, Sutra terus saja memikirkan sikap dingin Kama. Ada apa sebetulnya dengan pria itu? Apartemen yang begitu berantakan, bau aroma nikotin yang menyengat, bahkan … gadis itu sempat melihat beberapa botol anggur berjajar di atas mini bar. “Apa kau tahu seperti apa sifat serta keseharian Tuan Kama, Hans?” tanya Sutra pada sang sopir. Sopir yang bernama Hans tersebut mengedikkan pundaknya. “Kau betul-betul tidak mengenal siapa Tuan Kama?” Sutra menggeleng, itu terlihat dari kaca spion yang bertengger di tengah kemudi. “Kau bisa menanyakan seperti apa dia pada pelayan lain di mansion.” “Kenapa tidak kau jawab saja?” Hans memicingkan bibirnya. “Tidak enak. Kami berdua sama-sama laki-laki. Akan lebih baik jika kau mencari tahunya sendiri. Hanya satu pesanku padamu. Hati-hati, jangan termakan rayuannya. Dia suka memakan wanita yang polos.” “Maksudmu?” tanya Sutra tak mengerti. Hingga mobil hitam milik keluarga Deodola masuk dalam pelataran mansion, Hans bergeming, tidak menjawab segala tanya dari Sutra. “Kau hati-hati, Sutra. Karena kau lebih terlihat bodoh dan mudah terperdaya. Bisa jadi kau salah satu sasarannya.”“Tidak perlu. Aku melakukan semua ini rela dan ikhlas untukmu. Sekarang … pergilah.” Selena sedikit mendorong tubuh Kama agar menjauh darinya. Mendapat penolakan tersebut, tentu membuat hati pria itu terasa diiris. Sebetulnya niat Kama baik, dia hanya ingin membalas kebaikan yang pernah dilakukan oleh Selena, menganggap wanita itu sebagai adiknya lalu ingin mengobati sisa sakit yang hingga detik ini masih bersemayam dalam jantungnya. Selena melangkah semakin menjauh, sedangkan Kama masih menatap hingga punggung wanita itu menghilang di ambang pintu rumah sakit. Setelah itu, langkahnya sedikit menyeret, kembali ke depan ruangan Zatulini di rawat. “Di mana Sutra, Hans?” tanyanya lemah. “Masih di dalam, Tuan.” Sejurus kemudian, pria itu melangkah ingin masuk, tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang perawatan Zatulini. Lamat-lamat dia mendengar suara Sutra yang terdengar parau akibat menangis. “Bu, maafkan Sutra. Ini semua salahku, karena telah meninggalkanmu begi
Melihat respon Kama yang terbilang cukup kaku, membuat Selena sedikit tak enak hati. Perempuan itu kemudian pamit pada Sutra. “Sutra, maaf, aku duluan. Aku masih ada urusan penting, kuharap setelah ini kita akan kembali bertemu. Aku ingin mendengar ceritamu,” bisik Selena sambil tersenyum. Sutra mengangguk sambil memeluk tubuh Selena. “Aku pasti akan bercerita padamu.” “Oh ya, apa Tuan Kama mu sudah bilang padamu jika lukisanmu sudah laku dengan harga yang cukup tinggi?” Sutra menggeleng perlahan. “Kau tanyakan padanya, aku sudah menitipkan cek padanya. Sekarang aku harus peegi dulu.” Setelah Selena pergi, Sutra mendekat ke arah Hans dan Kama. “Kenapa kau ke luar?” Kama berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak Sutra. “Aku ingin melihat keadaan ibu, Tuan.” “Tapi kondisimu belum stabil, Sayang.” Sutra bergeming, apa telinganya salah dengar? Rasanya tidak mungkin seorang Kama Deodola akan memanggilnya dengan sebutan sayang. “Hans, tolong kau antar Sutra ke
“Segera cek rekaman cctv yang berada di sepanjang jalan dekat rumah Nyonya Zatulini.” Seorang polisi memerintah dengan tegas. Kejadian yang hampir saja merenggut Zatulini itu telah tersebar di segela penjuru. Terlebih, rekaman cctv di sebalah utara kediaman Zatulini memperlihatkan, sebuah mobil jeep hitam sedang terparkir di bahu jalan, dan dua orang ke luar dengan mengendap-endap. Sangat jelas di sana kedua orang itu kemudian menutup bagian kepala ibu Sutra tersebut dengan sebuah karung. Melihat berita yang beredar di dalam televisi, tentu membuat Nyonya Amira menahan rasa takut. Sejurus kemudian wanita itu kembali menelepon dua orang suruhannya. “Aku ingin kalian berdua pergi dari kota ini! Segera!” Peribtahnya dengan suara yang ditahan dari ujung telepon. “Bagaimana kami akan pergi, kau saja tidak memberi upah,” jawabnya dari seberang telepon. “Aku sudah kirim uang 200 juta untuk kalian berdua.” “Mana cukup, Nyonya. Kau meminta kami untuk menghabisi nyawa seseor
Kama melangkah mendekat. “Kenapa dengannya, Dok?” sahutnya. Dokter itu kemudian menatap secara bergantian antara Kama dan Sutra, napasnya terdengar sedikit menyeret. “Nyonya Zatulini dinyatakan koma,” ujarnya dengan nada berat. “Luka yang diderita Nyonya Zatulini di bagian kepala serta leher cukup parah. Kemungkinan dia terkena pukulan besi atau sejenisnya, hingga membuat tulang tengkorak bagian belakang hancur, dan luka itu juga mengenai tulang sumsum belakang leher.” Sutra yang berdiri di sebelah Kama seolah-solah terkena kilatan petir. Matanya membesar, bibirnya terbuka tapi tidak mengeluarkan suara sama sekali. “Ko-koma? Itu artinya ibuku tidak akan bangun lagi?” bisik Sutra, suaranya serak dan lirih. Matanya kembali berkaca-kaca, pandangannya menyebar ke arah langit-langit koridor rumah sakit. Wanita itu merasa jika kepalanya mendadak berputar, tubuhnya lemah. “Tidak … tidak, itu tidak mungkin!” Bibirnya bergetar. Bruak! Tubuhnya yang sedang mengandung, jatuh perlaha






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ratings
reviewsMore