Jaden sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia mendengar bel rumah berbunyi beberapa kali. Ia kemudian keluar dengan tubuh masih berbalut jubah mandinya.
Ia membuka pintu depan tanpa curiga sedikitpun ataupun memeriksanya terlebih dahulu. Dan saat membukanya, di hadapannya telah berdiri seorang pria jangkung dengan setelan kerjanya yang terlihat begitu rapi dan formal.
Jaden sedikit mengerutkan alisnya karena ia merasa begitu familier dengan sosok tersebut. Pria yang sedang berdiri di hadapannya hanya menatapnya dengan tatapan datar.
"Selamat siang, perkenalkan aku adalah Kevin, rekan Lilian," ucapnya memberi salam.
Ah, ya benar. Pria itu yang bernama Kevin. Selain Lilian pernah menyebutkannya, ia juga pernah melihatnya berada di kantor kekasihnya saat awal-awal pertemuan mereka.
"Jika kau ingin mencari Lilian, kau mungkin harus mencarinya di kantornya karena ia baru saja berangkat ke sana satu jam yang lalu," ucap Jaden sembari men
Lilian lagi-lagi harus pulang larut karena ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Ia melangkah mendekati mobilnya dengan sedikit was-was. Beberapa hari ini perasaannya begitu tidak enak setelah kejadian penguntitan yang menimpanya tempo lalu, ia menjadi sedikit paranoid saat berada di tempat sepi dan sendirian.Entah mengapa ia begitu terburu-buru saat hendak mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya. Saat ia begitu fokus mencari kuncinya, sebuah tepukan ringan di pundaknya tiba-tiba mengagetkannya dan membuatnya terpekik. Lilian refleks menutup kedua telinganya dan memejamkan matanya."Lilian, jangan takut. Ini aku,"Lilian berbalik dengan cepat saat mendengar suara yang ia kenal betul. "Kevin! Kau mengagetkanku!" Ia menyandarkan dirinya di sisi samping mobilnya dengan lega setelah melihat Kevin. Kakinya sedikit goyah karena keterkejutannya."Maafkan aku," ucap Kevin sedikit menyesal."Tak apa, lain kali kau bisa memanggilku saja dari
Jaden tak sedetik pun melepaskan tatapannya pada Kevin setelah mereka sampai di rumah. "Duduklah, Kev," ucap Lilian setelah ia meletakkan tas kerjanya pada meja tamu. Dengan patuh Kevin duduk pada salah satu sofa. Jaden yang masih tampak kesal, mengikuti Kevin duduk dan menatapnya dalam-dalam. Lilian menggeleng kecil melihat aksi Jaden tersebut. Ia kemudian meraih lengannya dan berkata, "Bisakah aku berbicara berdua dengannya saja?" tanyanya. Jaden sedikit tersentak menatap Lilian. Ia seolah protes dengan keinginannya itu dan menggeleng keras. "Tidak, apakah ada sesuatu yang aku tidak boleh tahu?" "Please, Jaden. Bisakah kau membuat sesuatu yang hangat yang dapat kita nikmati bersama-sama, Sayang?" pinta Lilian. Mendapat permintaan yang begitu lembut dan penuh harap, seketika membuat hati Jaden melemah. Ia mengerjap kecil dengan penekanan dan panggilan sayang dari Lilian. "Oke, oke ... kau membuatku bekerja lagi bahkan setelah
"Apa kau masih kesal?" tanya Lilian lagi. Ia memposisikan dirinya di samping Jaden yang tengah berbaring. Lilian kemudian memeluk Jaden dan menyandarkan kepalanya pada dada bidangnya. "Aku tak kesal, aku hanya tidak suka dengan tingkahnya! Serius, memangnya usianya berapa? Mengapa ia masih saja merajuk seperti itu?" "Usia Kevin sepuluh tahun lebih muda darimu, wajar jika ia masih memiliki sifat yang begitu impulsif. Sebaliknya, justru aku yang akan mempertanyakan dirimu. Memangnya berapa usiamu hingga kau berdebat dengan begitu sengit pada seseorang yang jauh lebih muda darimu?" "Ck, perdebatan tak memandang usia, aku hanya sedang berdebat dengan seorang pria. Kebetulan saja ia hanya bocah yang suka merajuk. Itu saja," balas Jaden. Ia memeluk Lilian dengan ringan. "Kevin adalah anak yang malang. Ia sudah kehilangan kedua orangtuanya saat dirinya masih terlalu kecil. Dan ketika Tuan Greg memutuskan untuk mengadopsinya, hanya akulah sosok terdekatnya. I
"Dari mana saja kau?!" teriak Marina pada Laura, putrinya, saat ia memasuki halaman dan mendapati gadis itu sedang duduk di salah satu bangku taman. "Mom?!" ucapnya kaget. Ia mendongak dan mendapati Marina berjalan memburunya. Tanpa berbasa-basi lagi, Marina segera menampar putrinya. "Plaaak!!" Tamparan keras yang mendarat di salah satu pipinya terasa begitu menyakitkan. Laura segera bangkit dan menatap Marina dengan terkejut. "M ... mom," lirihnya sembari memegang pipinya yang terasa panas. Air matanya mulai menetes pilu. "Dasar kau tak tahu berterima kasih! Apa kau senang membuat ayahmu menekanku karena dirimu?! Mengapa kau tak memberinya kabar atau semacamnya!" "Jadi itukah yang kau pentingkan?!" ucapnya. "Kau bahkan tak menanyakan keadaan putrimu? Kau tak memberiku waktu untuk bercerita dan menjelaskan semuanya?!" seru Laura. "Ayahmu menyebutku seorang ibu yang tak becus mengurusmu. Kau senang?"balas Marina. L
"Kau ingin makan apa malam ini, Sayang?" tanya Jaden pada Lilian saat mereka masuk ke dalam lift."Apa pun yang ingin kau buat, aku tak masalah," ucap Lilian."Yah, baiklah, kecuali makanan pedas, berair banyak dan segala sesuatu yang lembek. Benar, bukan?" ucapnya sambil menarik dagu Lilian."Kau benar-benar menghafal seleraku rupanya,""Tentu saja ... bukan hanya selera, tapi aku juga hafal segala sesuatu yang dapat menyenangkan tunanganku ini. Kau begitu menikmati saat aku memelukmu seperti ini, bukan ... atau saat aku menciumimu dan ...,""Ahem!! Uhuk! Uhuk! Apakah kalian lupa aku ada di dalam sini? Ini bukan lift pribadi kalian, jadi bisakah kalian hentikan percakapan dan adegan-adegan yang begitu menggelikan itu?!" protes Seth yang sedang berdiri di sudut lift dengan tatapan kesalnya.Lilian mengerjap dan melepaskan dengan segera pelukan Jaden terhadapnya. Tak ingin merasa kalah, Jaden kembali memeluk Lilian ke dalam pelukannya w
"Bagaimana kau bisa tahu bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan para reporter itu?" tanya Seth pada Lilian ketika mereka dalam perjalanan pulang. "Tak ada sesuatu yang khusus, aku hanya kebetulan melihat rekannya yang terlalu sibuk dengan ponselnya setelah ia mengambil foto Jaden. Mungkin ia berkepentingan mengirim foto-foto tersebut pada seseorang atau semacamnya," balas Lilian. "Benarkah? Bukankah itu hal yang normal? Maksudku tak ada yang aneh dengan itu. Siapa pun bisa memainkan ponselnya saat ia memang membutuhkannya." Lilian menghela napasnya sejenak sebelum menjawab Seth lagi. "Tak ada yang normal setelah penyerangan dan penguntitan itu. Dia adalah Jaden, apa kau lupa fakta itu? Orang normal mana yang akan mengabaikan seorang artis begitu saja saat ia dihadapkan olehnya di depan mata. Lagipula, rekannya tadi tampak begitu mencurigakan. Gerak-geriknya terlihat was-was dan waspada seolah ia sedang melaporkan sesuatu pada orang yang dituju di ponselnya.
"Duduklah di mana pun kau ingin, silakan," ucap Seth sembari menekan beberapa tombol lampu untuk penerangan apartemennya.Seth sendiri segera menuju ke arah dapar setelah meletakkan koper yang ia seret sebelumnya tepat di samping pintu masuk apartemennya.Apartemen Seth terlihat cukup hangat dan rapi. Ia kemudian tak lupa menyalakan penghangat agar dirinya dan Casey segera merasa hangat di cuaca yang hampir memasuki musim dingin ini."Apa yang kau inginkan? Cokelat hangat atau kopi?" tawar Seth."Cokelat saja, please ... terima kasih. A ... aku akan segera kembali setelah merasa cukup hangat," ucap Casey menegaskan maksudnya. Ia benar-benar merasa jika Seth mungkin sedang sangat kesal padanya dan karena itu ia tak ingin berlama-lama di kediaman pria itu.Seth hanya mengangguk tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya meneruskan aktivitasnya setelah meletakkan jaketnya di salah satu kursi dapur.Dengan kikuk Casey melakukan hal yang sama. Ia ke
Lilian dan Jaden sampai di kediaman mereka tak lama setelah mereka kembali dari menyantap hidangan di sebuah restoran tenang langganan Jaden sebelumnya. Karena beberapa bahan makanan yang Jaden butuhkan untuk mengisi akhir pekan mereka telah habis, ia berinisiatif untuk membelinya setelah mengantar Lilian ke rumah."Apa kau yakin tak ingin kutemani?" tanya Lilian lagi."Tidak, Sayang, masuklah. Udara sangat dingin dan ini hampir larut. Aku hanya akan pergi sebentar, tunggu saja aku di rumah," tolak Jaden."Persiapkan saja dirimu untuk menyambutku saat aku kembali nanti. Karena seperti yang kau tahu, aku hanya ingin menghabiskan akhir pekan bersamamu dengan di rumah saja sambil menikmati hidangan-hidangan spesialku yang akan menemani waktu berduaan kita, oke?" ucap Jaden sambil mengerling jahil."Oke, baiklah," ucap Lilian akhirnya. Ia tahu jika sudah menyangkut soal makanan, ia tak akan pernah dapat membantah Jaden.Sekepergian Jaden, Lilian kemudi