Warung Kopi Dunia Bawah

Warung Kopi Dunia Bawah

last updateLast Updated : 2025-07-31
By:  D.ArlunaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
71Chapters
182views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di sebuah gang sempit antara dunia nyata dan dunia gaib, berdiri WarKoDuBa — Warung Kopi Dunia Bawah. Warung ini bukan sembarang tempat: pelanggan setianya adalah manusia kesepian, arwah penasaran, hingga makhluk tak bernama dari dimensi lain. Dikelola oleh Dimas, mantan barista yang lebih percaya pada perasaan daripada promosi, bersama Toyo si asisten polos, Randi si karyawan konten absurd, dan Karina si hantu galau. Setiap cangkir kopi di WarKoDuBa tak sekadar minuman, tapi portal menuju kisah yang belum tuntas. Namun ketika WarKoDuBa mulai dilirik dunia bisnis dan menjadi pusat perhatian antar-dimensi, mereka harus memilih: menjadi besar tapi kehilangan jati diri, atau tetap menjadi warung absurd yang menyeduh kenyataan dengan jujur?

View More

Chapter 1

Bab 1 – Warung yang Tak Pernah Sepi (Meski Kadang Tak Terlihat)

Udara malam di gang sempit belakang pasar tua itu selalu lembap dan wangi rempah. Entah dari mana asalnya, tapi setiap orang yang melintas pasti akan menoleh. Di ujung gang, tepat di samping tembok berlumut, berdiri sebuah warung kopi sederhana dengan papan kayu tua yang tergantung miring. Tulisan di papan itu terbaca samar:

“WarKoDuBa – Warung Kopi Dunia Bawah.”

Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang pertama kali memberi nama warung itu. Tapi sejak Dimas membuka kembali warisan pamannya, Kang Bowo, warung itu pelan-pelan kembali hidup. Meski kadang yang datang ke sana... bukan orang hidup.

“Toy, tolong angkat kursi-kursi ini ke luar. Kita pasang lagi lampu tali di pagar.”

Dimas berdiri di balik meja bar, mengenakan celemek lusuh dan topi rajut. Tangannya sibuk menggiling biji kopi dengan gerakan halus dan konsisten.

“Siap, Mas!” sahut Toyo sambil tergopoh-gopoh membawa kursi rotan ke luar warung. Bocah itu polos, ceroboh, dan penakut. Tapi sejak dua minggu jadi asisten, ia mulai terbiasa melihat gelas bergerak sendiri atau pintu terbuka tanpa angin.

Dimas melirik jam dinding yang tak pernah tepat. “Lima menit lagi jam tujuh. Biasanya pelanggan pertama nongol sebelum azan magrib.”

“Pelanggan manusia, kan, Mas?” tanya Toyo dengan nada cemas.

Dimas hanya tertawa pelan. “Nggak semua orang yang datang ke sini kelihatan, Toy. Tapi semua pernah ngerasain sepi.”

Belum sempat Toyo bertanya lagi, lonceng pintu berdenting sendiri. Pintu kayu itu terbuka pelan tanpa ada yang menyentuhnya. Angin dingin menyelinap masuk. Aroma belerang samar menyebar di udara.

Mereka berdua saling menatap. Tak ada yang masuk secara fisik, tapi meja nomor tiga mulai bergetar ringan.

“Mas… itu… kursinya…” Toyo menunjuk kursi rotan yang perlahan bergerak mundur, seperti sedang ditarik seseorang yang tak kasat mata.

“Tenang.” Dimas menuang air panas ke gelas kecil dari keramik hitam. “Itu pelanggan tetap.”

Toyo membelalak. “Yang kayak gimana, Mas?”

“Hantu tukang kredit. Dulu sempat berjualan di pasar sini. Meninggalnya katanya waktu narik setoran, ditabrak bajaj. Tapi dia belum puas, karena masih banyak yang belum bayar.”

Toyo menelan ludah. “Lha, kita harus nyediain kopi juga buat yang begitu?”

Dimas menyerahkan gelas kecil ke arah kursi kosong itu, dengan gerakan tenang dan sopan. “Pelanggan tetap, Toy. Kita nggak bisa pilih-pilih rasa kehilangan.”

---

Beberapa saat kemudian, seseorang tergesa masuk sambil menyeret kamera besar dan ransel. Randi, si karyawan konten sekaligus videografer amatir yang lebih sibuk mengedit meme daripada menyeduh kopi.

“MAS DIMAS! Tadi saya liat pocong naik ojek! Sumpah! Dia nyuruh ngebut karena takut subuh!”

Dimas nyengir sambil mengelap meja. “Naik ojek ya, bukan naik haji.”

Randi meletakkan kameranya di meja. “Saya serius! Saya udah dapet footage-nya. Tapi entah kenapa hasilnya malah blur semua. Mirip emoji.”

“Makanya, jangan pakai filter lucu kalau rekam dunia bawah,” sahut Toyo, ikut duduk sambil memegangi lututnya yang gemetar.

Randi menatap sekeliling, lalu berkata, “Warung ini... makin aneh tiap malam.”

Dimas tertawa kecil. “Justru makin jujur. Nggak semua yang jujur itu kelihatan, Ran.”

---

Saat malam makin dalam, pelanggan mulai berdatangan. Seorang ibu tua yang setiap malam duduk di kursi paling dekat dapur—katanya menunggu anaknya yang belum pulang dari tahun 1998. Seorang lelaki tua dengan topi lusuh yang selalu pesan kopi hitam dan bicara sendiri dalam bahasa Belanda. Dan tentu saja, sosok-sosok tak terlihat yang hanya meninggalkan gelas kosong dan bekas embun dingin.

“Kita ini warung kopi, tapi yang datang bukan cuma haus,” ujar Dimas pada Toyo sambil mengisi ulang termos air panas.

“Terus mereka datang karena…?”

“Karena lelah.”

Toyo mengangguk pelan, walau masih bingung. Tapi malam itu, sesuatu yang berbeda terjadi.

Pintu kembali terbuka. Kali ini, yang masuk adalah seorang perempuan. Rambut panjangnya tergerai, kulitnya pucat seolah jarang kena matahari, dan mata tajamnya memandang lurus ke meja pojok yang belum pernah dipakai siapa pun.

“Aku Karina,” katanya pelan.

Dimas mengangguk sopan. “Meja nomor lima kosong. Kalau mau duduk, silakan.”

Karina berjalan perlahan. Langkahnya tidak menimbulkan suara. Toyo yang memperhatikannya dari balik meja berbisik ke Randi, “Dia… kelihatan kayak bukan manusia, ya?”

Randi mengangguk. “Atau terlalu manusia.”

Dimas mengambil cangkir paling bersih dan mulai menyeduh.

“Kopi hitam pahit, tapi jangan terlalu panas,” kata Karina. “Aku nggak tahan panas. Pernah… meleleh.”

Ucapan itu membuat Toyo menggigil. Randi reflek menyalakan kamera, tapi lensanya langsung gelap. “Aduh, kenapa langsung mati sih...”

Karina duduk, menyentuh meja, dan menghembuskan napas panjang.

Dimas menyerahkan kopi dengan tangan stabil. “Diminum pelan-pelan, ya.”

Karina menatap cangkir itu, lalu tersenyum kecil. “Aromanya seperti hujan pertama. Tapi juga kayak… perpisahan terakhir.”

Malam itu, mereka bertiga hanya bisa diam.

---

Pukul tiga dini hari, Dimas mematikan satu per satu lampu gantung. Warung mulai sepi. Toyo mengepel lantai sambil mengintip ke bawah kursi, takut ada makhluk tertinggal. Randi sibuk menyalin rekaman yang entah bisa ditonton atau tidak.

Karina masih duduk di pojok.

“Warungnya tutup?” tanyanya pelan.

Dimas mengangguk. “Untuk sementara. Tapi pintu ini nggak pernah benar-benar dikunci.”

Karina berdiri. Lalu perlahan tubuhnya mulai kabur, seperti kabut yang pelan-pelan menghilang.

Hanya cangkirnya yang tertinggal. Masih hangat. Masih ada bekas lipstik pucat di pinggirnya.

---

“Mas…” bisik Toyo. “Warung ini… sebenernya warung apa sih?”

Dimas menatap meja nomor tiga yang dingin. Gelas kosongnya masih mengepul samar.

“Kita cuma tempat istirahat, Toy. Untuk mereka yang belum benar-benar pergi. Dan mereka yang belum benar-benar kembali.”

Toyo tak menjawab. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, dia tidak takut.

WarKoDuBa tutup, tapi hanya untuk sementara. Karena rasa... tak pernah benar-benar selesai.

---

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
71 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status