Di sebuah gang sempit antara dunia nyata dan dunia gaib, berdiri WarKoDuBa — Warung Kopi Dunia Bawah. Warung ini bukan sembarang tempat: pelanggan setianya adalah manusia kesepian, arwah penasaran, hingga makhluk tak bernama dari dimensi lain. Dikelola oleh Dimas, mantan barista yang lebih percaya pada perasaan daripada promosi, bersama Toyo si asisten polos, Randi si karyawan konten absurd, dan Karina si hantu galau. Setiap cangkir kopi di WarKoDuBa tak sekadar minuman, tapi portal menuju kisah yang belum tuntas. Namun ketika WarKoDuBa mulai dilirik dunia bisnis dan menjadi pusat perhatian antar-dimensi, mereka harus memilih: menjadi besar tapi kehilangan jati diri, atau tetap menjadi warung absurd yang menyeduh kenyataan dengan jujur?
View MoreUdara malam di gang sempit belakang pasar tua itu selalu lembap dan wangi rempah. Entah dari mana asalnya, tapi setiap orang yang melintas pasti akan menoleh. Di ujung gang, tepat di samping tembok berlumut, berdiri sebuah warung kopi sederhana dengan papan kayu tua yang tergantung miring. Tulisan di papan itu terbaca samar:
“WarKoDuBa – Warung Kopi Dunia Bawah.” Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang pertama kali memberi nama warung itu. Tapi sejak Dimas membuka kembali warisan pamannya, Kang Bowo, warung itu pelan-pelan kembali hidup. Meski kadang yang datang ke sana... bukan orang hidup. “Toy, tolong angkat kursi-kursi ini ke luar. Kita pasang lagi lampu tali di pagar.” Dimas berdiri di balik meja bar, mengenakan celemek lusuh dan topi rajut. Tangannya sibuk menggiling biji kopi dengan gerakan halus dan konsisten. “Siap, Mas!” sahut Toyo sambil tergopoh-gopoh membawa kursi rotan ke luar warung. Bocah itu polos, ceroboh, dan penakut. Tapi sejak dua minggu jadi asisten, ia mulai terbiasa melihat gelas bergerak sendiri atau pintu terbuka tanpa angin. Dimas melirik jam dinding yang tak pernah tepat. “Lima menit lagi jam tujuh. Biasanya pelanggan pertama nongol sebelum azan magrib.” “Pelanggan manusia, kan, Mas?” tanya Toyo dengan nada cemas. Dimas hanya tertawa pelan. “Nggak semua orang yang datang ke sini kelihatan, Toy. Tapi semua pernah ngerasain sepi.” Belum sempat Toyo bertanya lagi, lonceng pintu berdenting sendiri. Pintu kayu itu terbuka pelan tanpa ada yang menyentuhnya. Angin dingin menyelinap masuk. Aroma belerang samar menyebar di udara. Mereka berdua saling menatap. Tak ada yang masuk secara fisik, tapi meja nomor tiga mulai bergetar ringan. “Mas… itu… kursinya…” Toyo menunjuk kursi rotan yang perlahan bergerak mundur, seperti sedang ditarik seseorang yang tak kasat mata. “Tenang.” Dimas menuang air panas ke gelas kecil dari keramik hitam. “Itu pelanggan tetap.” Toyo membelalak. “Yang kayak gimana, Mas?” “Hantu tukang kredit. Dulu sempat berjualan di pasar sini. Meninggalnya katanya waktu narik setoran, ditabrak bajaj. Tapi dia belum puas, karena masih banyak yang belum bayar.” Toyo menelan ludah. “Lha, kita harus nyediain kopi juga buat yang begitu?” Dimas menyerahkan gelas kecil ke arah kursi kosong itu, dengan gerakan tenang dan sopan. “Pelanggan tetap, Toy. Kita nggak bisa pilih-pilih rasa kehilangan.” --- Beberapa saat kemudian, seseorang tergesa masuk sambil menyeret kamera besar dan ransel. Randi, si karyawan konten sekaligus videografer amatir yang lebih sibuk mengedit meme daripada menyeduh kopi. “MAS DIMAS! Tadi saya liat pocong naik ojek! Sumpah! Dia nyuruh ngebut karena takut subuh!” Dimas nyengir sambil mengelap meja. “Naik ojek ya, bukan naik haji.” Randi meletakkan kameranya di meja. “Saya serius! Saya udah dapet footage-nya. Tapi entah kenapa hasilnya malah blur semua. Mirip emoji.” “Makanya, jangan pakai filter lucu kalau rekam dunia bawah,” sahut Toyo, ikut duduk sambil memegangi lututnya yang gemetar. Randi menatap sekeliling, lalu berkata, “Warung ini... makin aneh tiap malam.” Dimas tertawa kecil. “Justru makin jujur. Nggak semua yang jujur itu kelihatan, Ran.” --- Saat malam makin dalam, pelanggan mulai berdatangan. Seorang ibu tua yang setiap malam duduk di kursi paling dekat dapur—katanya menunggu anaknya yang belum pulang dari tahun 1998. Seorang lelaki tua dengan topi lusuh yang selalu pesan kopi hitam dan bicara sendiri dalam bahasa Belanda. Dan tentu saja, sosok-sosok tak terlihat yang hanya meninggalkan gelas kosong dan bekas embun dingin. “Kita ini warung kopi, tapi yang datang bukan cuma haus,” ujar Dimas pada Toyo sambil mengisi ulang termos air panas. “Terus mereka datang karena…?” “Karena lelah.” Toyo mengangguk pelan, walau masih bingung. Tapi malam itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Pintu kembali terbuka. Kali ini, yang masuk adalah seorang perempuan. Rambut panjangnya tergerai, kulitnya pucat seolah jarang kena matahari, dan mata tajamnya memandang lurus ke meja pojok yang belum pernah dipakai siapa pun. “Aku Karina,” katanya pelan. Dimas mengangguk sopan. “Meja nomor lima kosong. Kalau mau duduk, silakan.” Karina berjalan perlahan. Langkahnya tidak menimbulkan suara. Toyo yang memperhatikannya dari balik meja berbisik ke Randi, “Dia… kelihatan kayak bukan manusia, ya?” Randi mengangguk. “Atau terlalu manusia.” Dimas mengambil cangkir paling bersih dan mulai menyeduh. “Kopi hitam pahit, tapi jangan terlalu panas,” kata Karina. “Aku nggak tahan panas. Pernah… meleleh.” Ucapan itu membuat Toyo menggigil. Randi reflek menyalakan kamera, tapi lensanya langsung gelap. “Aduh, kenapa langsung mati sih...” Karina duduk, menyentuh meja, dan menghembuskan napas panjang. Dimas menyerahkan kopi dengan tangan stabil. “Diminum pelan-pelan, ya.” Karina menatap cangkir itu, lalu tersenyum kecil. “Aromanya seperti hujan pertama. Tapi juga kayak… perpisahan terakhir.” Malam itu, mereka bertiga hanya bisa diam. --- Pukul tiga dini hari, Dimas mematikan satu per satu lampu gantung. Warung mulai sepi. Toyo mengepel lantai sambil mengintip ke bawah kursi, takut ada makhluk tertinggal. Randi sibuk menyalin rekaman yang entah bisa ditonton atau tidak. Karina masih duduk di pojok. “Warungnya tutup?” tanyanya pelan. Dimas mengangguk. “Untuk sementara. Tapi pintu ini nggak pernah benar-benar dikunci.” Karina berdiri. Lalu perlahan tubuhnya mulai kabur, seperti kabut yang pelan-pelan menghilang. Hanya cangkirnya yang tertinggal. Masih hangat. Masih ada bekas lipstik pucat di pinggirnya. --- “Mas…” bisik Toyo. “Warung ini… sebenernya warung apa sih?” Dimas menatap meja nomor tiga yang dingin. Gelas kosongnya masih mengepul samar. “Kita cuma tempat istirahat, Toy. Untuk mereka yang belum benar-benar pergi. Dan mereka yang belum benar-benar kembali.” Toyo tak menjawab. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, dia tidak takut. WarKoDuBa tutup, tapi hanya untuk sementara. Karena rasa... tak pernah benar-benar selesai. ---Warung Kopi Dunia Bawah kembali beroperasi seperti biasa, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Namun Dimas tahu, sejak ia menyerahkan namanya kepada hutan, dunia telah bergeser sedikit dari poros biasanya. Pelanggan memang masih berdatangan—hantu penasaran, arwah yang belum move on, makhluk asing dari dimensi samping—semua itu masih terjadi. Tapi nuansa di warung berubah. Ada aura lain yang seakan menunggu sesuatu terjadi.Karina memperhatikan Dimas lebih sering sekarang. Tatapannya penuh tanya dan khawatir. Kadang Dimas bisa mendengar akar-akar bicara dalam mimpinya, membisikkan nama-nama lama, perjanjian kuno, dan masa depan yang belum terjadi."Lo yakin baik-baik aja?" tanya Karina suatu malam saat warung sepi. Ia menyeduh teh melati, aroma wanginya melawan dingin udara malam.Dimas mengangguk pelan. "Kadang ngerasa kayak... aku udah bukan aku yang dulu. Tapi sejauh ini, aku masih bisa bercanda, masih bisa ngeluh soal pelanggan yang minta kopi pake air sungai suci. Jadi, masih oke la
Mobil tua milik Randi melaju perlahan di jalanan berkabut menuju Gunung Sura Langit. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam sendiri sedang mengingatkan mereka bahwa tempat yang akan dituju bukan sekadar wilayah angker biasa.Karina duduk di kursi depan, diam. Ia sudah tak bicara sejak mereka meninggalkan Warung Kopi Dunia Bawah satu jam lalu. Tatapannya kosong menembus jendela. Di pangkuannya, ia menggenggam batu segel tua berbentuk seperti mata, berdenyut perlahan dengan cahaya biru samar.“Lo yakin tempat ini aman?” tanya Toyo dari bangku belakang, memeluk tas berisi jimat dan peta kuno.“Tidak,” jawab Karina datar.Toyo menelan ludah. “Keren… keren… jadi kenapa kita ke tempat yang gak aman, dong?”“Karena kadang,” sela Dimas dari kursi sopir, “satu-satunya tempat yang bisa bantu kita… adalah tempat yang juga bisa membinasakan kita.”“Motivasi yang… ngeri,” celetuk Randi sambil merekam dengan ponselnya. “Tapi cocok buat vlog pembuka: ‘Kami mendatangi hutan t
Warung Kopi Dunia Bawah malam itu tampak tenang. Terlalu tenang. Dimas membersihkan meja dengan gerakan lambat, sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul 01.13 dini hari.“Sepi banget ya… biasanya ada aja pelanggan terakhir yang nyempil-nyempil,” gumamnya.Toyo, yang sedang rebahan di atas freezer, menguap lebar. “Mungkin mereka lagi pada reuni arwah atau kongres hantu sedunia.”Dimas hanya tersenyum kecut.Namun tak lama kemudian, bel warung berdenting pelan. Pintu terbuka. Seorang wanita cantik bergaun merah darah masuk perlahan. Rambutnya panjang bergelombang, langkahnya seakan melayang. Udara langsung berubah dingin.“Eh…” Randi yang dari tadi menyunting video konten warung tiba-tiba membeku. “Lu liat gak tuh?”Wanita itu menatap ke arah Dimas. Matanya berwarna keemasan. Tapi anehnya, tak ada bayangan yang terpantul di lantai.Karina muncul perlahan dari balik dapur dan langsung menegang.“Itu bukan makhluk dari dunia kita,” bisiknya lirih ke Dimas. “Dia... bukan pela
Hening yang menyelimuti Pelabuhan Neraka seolah mematung bersama reruntuhan pertempuran semalam. Bau darah, abu, dan air laut bercampur membentuk aroma getir yang menempel di hidung. Kapal-kapal yang dulunya angkuh dan menyeramkan kini terapung dalam keheningan, terombang-ambing tanpa arah seperti jiwa-jiwa yang kehilangan tempat pulang.Dimas berdiri di ujung dermaga, kalung kecil peninggalan Karina masih tergenggam erat. Pagi itu seharusnya menjadi waktu kemenangan. Tapi kemenangan apa yang tak menyisakan kehilangan?"Gue enggak tahu harus senang atau sedih," kata Randi, datang dari belakang sambil menyesap kopi hitam dari termos kecil. Wajahnya masih penuh jelaga dan luka lebam."Sedih aja. Biar enggak salah rasa," sahut Dimas, pelan. Matanya tetap tertuju pada garis cakrawala yang perlahan memerah.Toyo, dengan baju compang-camping, mendekat sambil menyeret tongkat kayu yang semalam digunakan sebagai senjata darurat. "Bang, gue mimpi Karina tadi malam. Dia duduk di bangku warung,
Angin malam di Pelabuhan Neraka berembus tajam, membawa aroma amis dari laut dan asap dupa yang entah berasal dari ritual apa. Di kejauhan, kilatan api tampak menari dari atas kapal-kapal yang sedang bersandar, seolah menyala tanpa kendali. Suasana begitu mencekam—seolah-olah kota itu sedang menahan napas, menunggu letusan besar yang tak terhindarkan.Dimas berdiri di atas atap gudang tua, mengenakan jaket kulit hitam yang kini penuh bekas luka dan debu. Di sebelahnya, Toyo, untuk pertama kalinya tidak mengeluarkan suara bodoh. Ia hanya menatap serius ke arah dermaga tempat rombongan Tuan Besar terakhir berkumpul. Di bawah sana, Karina berdiri mematung dengan aura biru pucat yang makin menyala. Semakin dekat malam menuju puncaknya, semakin kuat kehadirannya."Apa kau yakin mereka akan muncul malam ini?" tanya Toyo pelan.Dimas mengangguk. "Mereka akan datang. Mereka butuh artefak itu. Dan kita akan menghancurkannya sebelum tangan mereka menyentuhnya."Toyo menggenggam karung hitam ber
Malam itu, angin di lorong dunia bawah berembus lebih dingin dari biasanya. Di luar warung, suara-suara dari dimensi lain menggema samar, seperti bisikan masa yang tidak pernah terjadi. Dimas, yang baru saja menyelesaikan daftar stok biji kopi, menghela napas dan menatap Toyo yang sedang sibuk menata tumpukan gelas di rak."Toy, kau ngerasa nggak sih... malam ini beda?" gumam Dimas, sambil menyandarkan tubuh di meja bar.Toyo mengangguk pelan. "Iya, kayak ada... gangguan frekuensi. Barusan waktu aku buka kulkas, suara dari dalamnya kayak siaran radio. Padahal isinya cuma es batu dan satu botol susu kedelai."Karina yang duduk melayang di sudut dekat jendela ikut menoleh. "Kalian denger itu? Ada derap langkah... tapi bukan kaki manusia. Itu... suara sepatu logam."Dan benar saja, tak lama kemudian, pintu warung terbuka perlahan dengan derit nyaring seperti biasa. Namun yang masuk bukan makhluk berkepala tiga atau arwah penasaran seperti biasanya.Yang masuk... adalah seorang pria. Ting
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments