Aku rasa, aku tidak bisa ikut dalam liburan kali ini, Gaes," ujar Baim pada akhirnya.
"Ayolah, Im. Jangan seperti itu, tidak seru kalau salah satu dari kita tidak ikut ke acara liburan kali ini," ujar Alma"Tapi, Al ... aku ... ." Baim kembali menggantung akhir kalimatnya, wajah pemuda itu terlihat kebingungan seperti sedang berusaha menutupi sesuatu."Sudahlah, Im. Tidak usah terlalu dipikirkan, kita semua pasti baik-baik saja. Lagi pula nanti kita akan meminta bantuan ke anak MAPALA untuk memandu kita ke sana. Jadi, jangan khawatir," ucap Aldi kembaran Alma.Aldi merangkul dan menepuk bahu Baim untuk meyakinkan sahabatnya itu bahwa liburan kali ini akan menyenangkan dan tidak akan ada petaka atau apa pun seperti yang ditakutkan oleh BaimTidak Aldi saja yang berusaha meyakinkan Baim, lima teman karibnya yang lain pun ikut membujuk Baim agar bersedia ikut dalam liburan kali ini karena mereka bertujuh tidak akan pernah terpisahkanBaim menghela napasnya dalam, ada rasa berat di dalam hatinya. Di satu sisi dia ingin sekali mengisi liburan semester kali bersama teman-temannya seperti yang biasa dia lakukan, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang menahannya untuk pergi."Ayolah, Im, kamu jangan jadi pengecut seperti ini. Memang apa, sih, yang membuatmu sampai meragu seperti ini? Apa mamimu melarangmu untuk mendaki karena tidak ingin anak lelakinya yang lemah gemulai ini terluka?" Rusdi mengejek Baim sedemikian rupa.Mendengar ejekan Rusdi, Baim yang awalnya diam di tempat duduknya, sontak langsung berdiri. Tangan kirinya menyambar leher baju Rusdi sementara tangan kanannya mengepal erat, siap melayangkan sebuah bogem mentah ke arah Rusdi.Andin dan Amar yang secara kebetulan berdiri di dekat Rusdi pun langsung memeluk tubuh Baim yang tinggi besar, kemarahan Baim hampir saja membuat mereka berdua kewalahan. Sementara, Aldi, Santi, dan Alma berusaha menjauhkan Rusdi dari Baim yang sudah memerah mata dan wajahnya."Anjing kamu, Rus! Mau cari mati kamu?!" Baim meronta di dalam pelukan Amar dan Andin yang juga bertubuh tinggi besar.Pemuda itu terus meronta, berusaha melepaskan diri karena ingin meninju mulut Rusdi yang sering berkata seenaknya sendiri. Sementara, Rusdi berdiri menantang dengan tampang mengejek."Cuih! Memangnya kamu bisa membunuhku, hah?! Memukul nyamuk saja tidak mati! Banci seperti kamu itu bisa apa?!" deceh Rusdi dengan pongahnya."Bangsat! Jaga mulutmu atau kurontokkan gigimu, Anjing!" Baim berteriak marah mendengar ejekan Rusdi yang semakin menjadi"Sabar, Im. Sudah tidak usah diladeni itu omongan Rusdi. Toh, kamu sudah paham, 'kan, adat Rusdi yang selalu berkata seenaknya tanpa dipikir." Amar berusaha menenangkan Baim sebelum kemudian memalingkan wajahnya ke arah Rusdi yang terus menatap Baim dengan tatapan menghina. "Rusdi! Kamu juga jaga mulutmu, jangan pernah menghina seseorang! Kita ini bukan hanya sekedar bersahabat tapi sudah seperti saudara. Aku tidak mau persaudaraan kita ini pecah hanya karena ucapan yang tidak dijaga."Mendengar teguran dari Amar, bukannya merasa malu dan meminta maaf, Rusdi malah meludah tepat di depan kaki Amar. Wajahnya terlihat sangat kesal dan penuh amarah. Setelah menatap Amar dan Baim tajam, pemuda itu pun lalu pergi meninggalkan para sahabatnyaAndin yang lebih dekat dengan Rusdi pun segera berlari menghampirinya setelah sebelumnya berkata pada teman-temannya bahwa dia akan mencoba membujuk Rusdi supaya bersedia meminta maaf pada Baim.Sepeninggal Rusdi dan Andin, ketiga temannya yang lain mengajak Baim untuk kembali duduk, semantara Aldi berlari ke kantin membeli air minum kemasan untuk mereka berlima. Sambil mengusap bahu pemuda yang memang lebih feminin dibandingkan sahabat prianya yang lain, Santi dan Alma berusaha menenangkan Baim supaya tidak terus merasa marah kepada Rusdi."Bagaimana aku tidak marah? Kata-katanya yang seperti itu sama saja dengan menghina ibuku -- wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku selama ini. Aku tidak suka itu! Kalau dia mau menghina, hina saja aku tapi jangan ibuku!" Pemuda itu masih meradang karena mengingat semua perkataan Rusdi"Kami paham, Im. Kami juga tidak suka dengan kata-kata Rusdi yang seringkali menyakiti hati, kami pun sudah sering menasehatinya agar tidak seenaknya saja dalam berbicara tapi dia tidak pernah mau mendengarkan. Jadi, kami rasa lebih baik kita doakan saja, semoga dia cepat sadar dan tidak terus-terusan seperti ini."Baim menghela napasnya kasar, mereka bertujuh memang sudah sejak kecil bersahabat. Bahkan beberapa di antara mereka pun bertetangga yang otomatis membuat saling mengetahui karakter mereka masing-masing.Mereka semua berasal dari keluarga yang kaya raya, hanya saja orang tua Rusdi cenderung tidak memperhatikan perasaan orang lain dalam berbicara dan ini menurun pada Rusdi. Sebenarnya, keenam sahabat itu sudah sering memberi nasehat pada Rusdi tetapi karena tidak pernah mempan, akhirnya, mereka memutuskan untuk mendiamkan sajaSementara itu, tidak jauh dari tempat Baim dan kawan kawannya, Andin sedang berusaha menenangkan Rusdi yang tampak emosi karena sikap Baim yang menurutnya terlalu penakut sebagai seorang lelaki"Terus, aku harus mengalah dan minta maaf sama dia, iya?! Aku tidak mau, Ndin! Apa yang kukatakan itu benar, kan, Baim itu terlalu lembek jadi laki-laki, masa baru begitu saja sudah marah-marah tidak jelas."Dengan sabar, Andin mencoba meredakan amarah Rusdi. Dia berkata, "Rusdi, ingatlah semua kenangan indah saat kamu dan Baim bersama sejak kecil. Pertengkaran seperti ini hanya akan merusak persahabatan kalian. Bagaimana kalau kalian berbicara baik-baik dan mencoba menyelesaikan masalah ini?"Rusdi perlahan mulai merenung, mengingat masa kecil mereka yang penuh kebahagiaan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya setuju, "Kamu benar, Andin. Aku tak ingin kehilangan sahabat sejati seperti Baim. Ayo, kita bicara dengan dia."Rusdi dan Baim akhirnya bertemu, masing-masing dengan niat baik. Rusdi berkata dengan tulus, "Baim, aku minta maaf atas kekeliruanku tadi. Aku tak ingin pertengkaran ini merusak persahabatan kita."Baim tersenyum dan merangkul Rusdi, "Tidak apa-apa, Rusdi. Aku juga minta maaf jika ada yang salah dari pihakku. Kita berdua sudah terlalu lama bersahabat untuk saling marah-marah seperti ini."Rusdi membujuk Baim agar mau ikut dalam liburan kali ini, apalagi mereka bertujuh belum pernah mendaki gunung sebelumnyaRusdi dengan semangat berkata pada Baim, "Baim, ini kesempatan emas! Kita bertujuh belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Ini akan menjadi petualangan yang tak terlupakan. Ayo, ikutlah dalam liburan kali ini, kita akan membuat kenangan baru bersama!"Baim merasa tergugah oleh semangat Rusdi. Setelah sejenak berpikir, dia tersenyum, "Baiklah, Rusdi. Aku setuju untuk ikut dalam liburan ini. Mari kita buat kenangan indah bersama teman-teman kita yang lain saat mendaki gunung."Rusdi dan Baim, bersama dengan teman-teman mereka yang lain, duduk bersama untuk berdiskusi tentang jadwal keberangkatan mereka. Mereka membicarakan tanggal, waktu, dan persiapan apa yang diperlukan untuk mendaki gunung. Semua sepakat untuk merencanakan perjalanan dengan baik agar semuanya berjalan lancar. Mereka sangat bersemangat untuk petualangan mendaki gunung bersama.Di hari yang telah ditentukan, Rusdi, Baim, dan teman-teman mereka yang lain bersiap-siap dengan semangat tinggi untuk memulai pendakian gunung. Mereka memeriksa perlengkapan, memastikan semua persiapan sudah selesai, dan akhirnya memulai perjalanan menuju gunung yang mereka tuju. Dalam petualangan mendaki ini, mereka siap untuk menghadapi tantangan, menjelajahi alam, dan membuat kenangan yang tak terlupakan bersama-sama.Setelah beberapa jam berkendara, ketujuh sahabat itu sampai di area penginapan yang ada di kaki gunung. Mengingat sudah lewat tengah hari, Amar mengusulkan untuk menginap saja di salah satu penginapan yang ada di sana. Akan tetapi, Rusdi menolak usulan tersebut, dia bahkan menolak menghubungi MAPALA setempat untuk memandu perjalanan mereka. Penolakannya itu membuat teman-temannya terkejut.Rusdi menjelaskan, "Maaf, teman-teman. Aku memikirkan sesuatu. Bagi aku, bagian paling menarik dalam mendaki adalah menghabiskan malam di bawah bintang-bintang. Aku ingin berkemah di lereng gunung malam ini."Teman-teman yang lain merenung sejenak, dan akhirnya mereka setuju dengan keinginan Rusdi. Mereka berencana untuk mendirikan perkemahan sederhana di lereng gunung dan menghabiskan malam di sana, merasakan keindahan alam yang lebih dekat. Dengan penuh semangat, mereka bersiap untuk perjalanan malam mendaki gunung.Saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke lereng gunung, Alma tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Dia berhenti dan melihat sekelilingnya, seperti sedang mengamati sesuatu. Akan tetapi, karena teman-temannya yang lain terus berjalan maka Alma pun mengikuti dengan langkah pelan. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa telah terjadi sesuatu pada mereka bertujuh"Mengapa berhenti di sini, Al?" tanya Baim yang sudah mulai terlihat rasa takutnya."Aku hanya bingung saja, menurutku hutan ini kok tidak segera menemui ujungnya. Apakah kita sudah melewati Hutan Serah Jiwo?" tanya Aldi."Hutan apalagi itu, Al? Dari mananya saja serem, cuy," ujar Amar yang ikut berhenti."Sepertinya titik kita berdiri sudah dekat dengan tujuan kita. Sebaiknya kita lanjutkan lagi perjalanan kita, semoga kita segera menemukan orang di depan sana!" kata Alma.Melihat hal itu, Baim tidak dapat lagi menahan rasa mual yang dia rasakan. Di detik berikutnya, Baim memuntahkan semua isi perutnya yang sudah tidak terlalu banyak. Setelah berhasil menguras habis semuanya, dengan tenaga yang hanya tersisa sedikit, pemuda itu mengajak Alma dan Aldi keluar dari tempat itu. "Tunggu, apa itu? Kalian berdua keluar saja terlebih dahulu, aku menyusul. " Aldi yang melihat beberapa buah gulungan di bawah tumpukan pakaian Andin dan Rusdi pun bergegas mengambilnya dan membawanya keluar menyusul adik dan sahabatnya sambil menatap nanar ke arah mayat kedua sahabatnya yang begitu mengerikan. Setelah Aldi dan dua temannya bergegas keluar dari rumah nomor tiga belas, mereka merasa gemetar dan cemas. Aldi memegang gulungan-gulungan tersebut, dan begitu mereka berada di luar, dia membukanya. Gulungan-gulungan itu berisi sejumlah dokumen dan catatan rahasia. Dalam catatan-catatan itu, terkuaklah rahasia besar yang selama ini tersembunyi di dalam rumah tersebut.Merek
"Astaga, Al! Lihat ini, kalian harus melihat ini sekarang! Kalian tidak akan mempercayainya!" Baim berteriak memanggil Alma dan Aldi, sementara Rusdi terkulai lemas di atas jasad Andin dengan darah yang terus mengucur keluar dari luka menganga di lehernyaAlma dan Aldi yang sempat saling pandang satu sama lain langsung mendatangi Baim yang masih heboh menunjuk ke sebuah arah, lebih tepatnya ke bawah tubuh kedua teman mereka tersebut. Kedua remaja tujuh belas tahun itu tersentak kaget, Andin bahkan berteriak lalu menangis saat dirinya melihat apa yang terpampang di depan matanya. "Astaga, Rusdi! Kenapa kamu dan Andin bisa melakukan hal semenjijikan ini di sini, bahkan kalian berdua menjadi gancet dan tidak bisa dipisahkan lagi." Aldi mengusap wajahnya kasar sambil mengentakkan kaki kanannya geram. "Terus bagaimana ini, Al? Apa yang harus kita lakukan untuk memisahkan mereka berdua?" tanya Baim pada Alma yang masih terlihat syok dengan apa yang sudah dilakukan kedua sahabat mereka.
Aldi yang berada paling depan otomatis bergerak mundur dengan perlahan, diikuti oleh Alma dan Baim yang sempat terhipnotis dengan sosok bayangan hitam tersebut"Al, kita balik aja, yuk. Aku takut," bisik Baim pada Alma yang berada di depannya. "Ssstt, aku juga takut, Im. Tapi, kita tidak bisa balik lagi, kalau kita balik bagaimana nasib Andin dan Rusdi," kata Alma yang juga berbisik. Baim menghela napasnya dalam, di dalam hatinya membenarkan apa yang dikatakan oleh sahabat karibnya itu. "Ya, sudah kalau begitu. Ayo, kita lanjutkan lagi," sambung Baim masih dengan berbisik. "Sabar, kita tunggu dulu sampai bayangan itu menghilang, baru kita bergerak lagi." Kali ini Aldi ikut menimpali. Alma dan Baim menganggu, mereka kembali bergeser mundur dengan sangat perlahan hingga akhirnya makhluk tak kasat mata yang mengerikan itu menghilang dari pandangan.Setelah memastikan makhluk astral itu benar-benar tidak ada lagi, barulah mereka bergerak maju kembali dengan langkah tak kalah pelan de
Alma dan Aldi spontan memelototkan mata mereka ke arah BaIm yang masih tertawa konyol. Tatapan tajam kedua sahabatnya, rupanya mampu membuat tawa Baim hilang dari bibirnya. Pemuda yang terkadang gemar bergaya seperti wanita itu kontan menunduk dan meminta maaf karena kekonyolan yang sudah baru saja dia lakukan. "Sekarang bukan waktunya bercanda, Im. Kami tau kamu pasti merasa tertekan dengan semua tekanan ini. Kami pun sama sepertimu tapi tolong jangan pernah menganggap remeh dunia tak kasat mata jika kau ingin selamat," tandas Alma. "Maafkan aku, Al. Aku hanya ingin kita bertiga tidak terlalu tertekan dengan semua ini, apalagi jika nantinya kita menjumpai Andin dan Rusdi dalam keadaan tidak seperti yang kita inginkan," ucap Baim lirih. "Maafkan aku, ya.""Huft, ya. Maafkan kami juga, Im. Sekarang lebih baik kita kembali fokus mencari Andin dan Rusdi, semoga saja mereka berdua dalam keadaan selamat."Baim dan Aldi mengangguk setuju, sebelum masuk ke dalam ruang bawah tanah lebih j
Alma, Aldi, dan Baim terus menyusuri ruang bawah tanah rumah mewah itu, mencari tahu keberadaan Andin dan Rusdi. Di tengah gelapnya lorong, suara aneh bergema di sekitar mereka, dan udara terasa semakin dingin. Mereka merasa bahwa sesuatu yang jahat mengintai di sana.Terdengar suara langkah mereka bergema di koridor gelap ruang bawah tanah. Lampu redup bergetar, menciptakan bayangan yang menakutkan di dinding. Alma, Aldi, dan Baim terus berjalan, hati-hati memeriksa setiap sudut ruang.Saat mereka mendekati pintu yang terbungkus oleh aura misterius, Baim merasa bulu kuduknya merinding. "Apa yang kita cari di sini?" tanyanya, suaranya gemetar.Aldi yang mencoba menjaga ketenangan menjawab, "seperti rencana awal, kita mencari di mana Andin dan Rusdi. Kita sudah terlalu lama terpisah dari mereka berdua, semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka berdua."Mereka meraih gagang pintu dengan perasaan waspada. Saat pintu terbuka, mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengejutkan. Di dal
Andin berusaha keras memisahkan diri dari Rusdi tetapi semuanya sia-sia belaka, sebab bukannya terlepas, mereka berdua malahan semakin menempel satu sama lain, milik Rusdi seakan terhisap begitu kuat oleh inti tubuh Andin. Mereka berdua bergerak ke sana-ke mari berusaha melepaskan inti tubuh masing-masing, tetapi hisapan itu semakin kuat seolah tidak ingin melepaskan milik Rusdi. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu terus bergerak liar maju mundur, ke atas dan ke bawah berharap bisa terlepas. Erangan, desahan, dan desisan bercampur baur menjadi satu dengan keringat yang mengalir di tubuh mereka berdua. Keinginan untuk melepaskan diri, timbul tenggelam oleh kenikmatan haram yang mereka reguk bersama-sama. "Ugh, gila, Ndin. Kenapa ini rasanya enak sekali, meskipun agak sedikit sakit tapi rasa nikmatnya sungguh luar biasa," ucap Rusdi dengan napas tersengal oleh kenikmatan duniawi. "Huh, iya, Rus. Enaknya sungguh tak terperikan," jawab Andin. "Gerakan pinggulmu sedikit lebih cepa
"Rus, ini semakin aneh. Apakah kamu merasa bahwa kita berada di jalur yang benar?" tanya Andin dengan ketidakpastian.Rusdi mengangguk, "Iya, Andin. Ada sesuatu di sini yang memandu kita, tapi kita harus tetap waspada."Mereka melanjutkan langkah mereka, semakin dalam ke dalam ruang bawah tanah yang gelap. Cahaya senter Rusdi mengungkapkan lebih banyak misteri di sekitar mereka, seperti simbol-simbol aneh di dinding dan lorong-lorong yang tampaknya tak berujung.Ketika mereka berjalan, tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Rasanya seperti bumi berguncang. Andin dan Rusdi saling memandang, jantung mereka berdebar kencang."Apakah itu gempa, Rus?" tanya Andin dengan nada khawatir.Rusdi merasa udara semakin panas, "Aku tidak yakin, Andin, tapi kita harus mencari tahu. Ini bisa jadi kunci dari semua misteri ini."Mereka terus berjalan menuju asal suara gemuruh tersebut, dengan harapan bahwa mereka akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui mereka. Akan tetapi,
Dengan perasaan campuran antara harapan dan kekhawatiran, Andin berkata, "Rusdi, kita harus mencari Permata Kelam ini. Mungkin itulah kunci untuk menghentikan kekuatan jahat ini."Rusdi setuju, "Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui dalam pencarian ini. Kami mungkin harus bersiap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar."Mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi penelitian mereka dan bersiap-siap untuk pencarian Permata Kelam. Dengan harapan dan keberanian, mereka merasa semakin dekat dengan mengungkap semua misteri dan mengatasi kekuatan jahat yang mengancam mereka dan rumah ini.Andin dan Rusdi memasuki ruang bawah tanah yang gelap dan penuh misteri di rumah kuno itu. Mereka membawa senter sambil mencari petunjuk untuk menemukan Permata Kelam yang konon tersembunyi di dalamnya. Suasana yang terasa semakin mencekam membuat detak jantung mereka semakin kencang."Kita harus tetap hati-hati dan selalu waspada, Ndin. Jangan terbuai dengan apapun yang kita
Tiba-tiba, suasana berubah. Cahaya merah yang mengepung mereka memudar, dan bayangan itu lenyap. Mereka merasa beban mencekam hilang dari ruangan, dan mereka bisa keluar dengan aman. Namun, mereka tahu bahwa rumah itu menyimpan rahasia yang lebih dalam dan menakutkan dari yang mereka bayangkan.Andin dan Rusdi keluar dari kamar dengan perasaan lega, tetapi rasa ingin tahu mereka menggelitik. Mereka berdua duduk di ruang tengah yang kuno, ditemani oleh cahaya temaram dari lilin yang mereka nyalakan.Rusdi bertanya dengan hati-hati, "Andin, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Mengapa kita merasa ada kekuatan gelap di sini?"Andin merenung sejenak sebelum menjawab, "Mungkin ini adalah rumah yang menyimpan kenangan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin ada seseorang atau sesuatu yang masih terikat di sini."Mereka berdua merasa seperti ada yang memanggil mereka. Tiba-tiba, sebuah suara bisikan pelan terdengar di udara, "Kembalilah, kembalilah ke rumah ini..."Rusdi menelan ludah, "