Flashback
"Kita putus. Nggak ada lagi yang perlu dilanjutkan. Aku capek sama sikap kamu, yang selalu selingkuh sana-sini." Aku melempar sebuah kotak kecil berisikan cincin permata berkilau.Pria blonde dengan potongan rambut bowl cut itu tertawa. Kemudian, ia berkata, "Putus? Kamu ini bicara apa, sih?"Aku membentak. Nada tertinggi keluar dari mulutku. Ingin sekali kuhajar pria manupulatif yang duduk, di depan sana. "Kay, aku mau kita putus! Aku nggak mau lagi pacaran sama kamu yang toxic!""Emang kita pernah menjalin komitmen? Kita nggak pernah pacaran. Kamu aja yang nganggep kita punya hubungan lebih, Phire." Kay–pria bermata amber yang mengenakan setelan hitam, beringsut dari duduknya. Makanan yang dihidangkan pelayan, tak dihiraukannya lagi.Saat itu, aku benar-benar sangat hancur. Hubungan kami yang berjalan selama tiga tahun, berakhir dengan kalimat, "Kita tidak punya hubungan lebih selama ini". Kekecewaan yang menggerogoti hati kecil, membuatku nekad untuk melupakan sosok jahat itu–Kay Corner.Healing adalah jalan satu-satunya untuk lari dari masalah. Aku tidak punya siapa-siapa, tetapi punya segalanya; harta berlimpah menjadikanku bisa melakukan segalanya. Punya masalah sedikit, aku pasti langsung berpindah negara.Aku tidak sayang uang. Aku hanya menyayangi diriku sendiri, dan kesehatan mental. Tak pernah kupikirkan, berapa banyak uang yang keluar dari ATM? Atau mungkin, ada berapa banyak benda tak berguna, yang terbeli olehku di market online? Karena menurutku, uanglah puncak dari kekuasaan wanita di dunia ini.Kota Aluna adalah destinasi wisata terkenal, juga tempat yang paling ramai penduduknya. Aku kira, kota unik tanpa sinar bulan itu hanya karangan orang-orang. Namun, ketika aku telah menapakkan kaki di sana, barulah aku percaya dengan ucapan mereka.Membeli rumah mewah seorang pramugari wanita, menyerahkan urusan Perusahaan Phireec Group ke Tuan Robert–tangan kanan sekaligus managerku, dan melepas rindu dengan suasana perkotaan klasik. Aku melakukan itu semua untuk move on dari Kay.Kota Aluna mempunyai banyak bangunan berinterior klasik. Banyak bangunan peninggalan Kerajaan Swifolges–kerajaan yang berdiri dua ratus abad sebelumnya, yang masih berdiri anggun seperti sang putri dengan mahkotanya. Aku sangat mengagumi masyarakat Aluna yang masih hormat, dengan peninggalan nenek moyang mereka. Kota itu benar-benar sangat fantastis.Dua minggu setelahnya, aku berhasil mengambil kedudukan yang tinggi. Ya mungkin, bagi anak-anak remaja perempuan, posisiku sebagai primadona sekolah adalah yang paling beruntung–menjadi idaman siswa SMA Onzer. Hanya dalam waktu seminggu, aku sudah mempunyai banyak kenalan wanita. Ah, menjadi kaya-raya, ditambah dengan fisik yang menjamin, ternyata adalah salah satu jalan untuk mempermudah hidup.Kata Chel–sahabatku, sekolah itu sudah sebelas kali dibangun, lantaran sering hancur. Kehancuran berkala selama sepuluh tahun terakhir, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Karena banyaknya peristiwa aneh, banyak peserta didik yang memilih untuk pindah.Sebenarnya, ada sekolah lain yang memiliki fasilitas lebih keren. Namun cenderung, harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. Aku sendiri sudah angkat tangan, bahkan sebelum ditawarkan untuk mengisi formulir perpindahan. Jika dihitung-hitung, jarak yang harus kutempuh, jika bersekolah ke SMA Arteria–yang ada di dekat perbatasan Aluna, adalah tiga jam perjalanan. Sangat lama, kan?Pagi itu langit tampak cerah, tanpa segumpalan awan putih. Matahari berada di khatulistiwa. Musim panas yang sebentar lagi tiba, membuatku berteriak ke-riangan di dalam hati. Ya, aku suka liburan panjang.Aku merapatkan kancing atas seragam khusus Onzer. Membuka liptin, lalu memoleskannya di bibir mungilku. Bersiap menyambut hari baru, aku membuka pintu mobil dengan sangat berhati-hati.Baru melangkahkan kaki di anak tangga pertama, kerumunan lelaki menyebalkan itu datang lagi. Bosan. Menjadi good looking tidaklah menyenangkan. Dikejar banyak pria, seseorang menyatakan perasaan, menolak dengan halus, semua siklus itu seakan telah menjadi alur dari percintaan si cantik."Pagi, Cantik. Mau aku traktir sarapan, nggak?" tawar seorang siswa berpakaian rapi. Ia memakai kacamata culun. Tidak seperti kebanyakan pria lainnya, ia sepertinya memiliki effort yang tinggi. Mungkinkah karena ia sering belajar, makanya mudah memahami orang lain?"Maaf, tapi aku lagi diet. Nanti kalau makan banyak, bisa gemuk kayak balon," jawabku sambil mengembungkan pipi."Ya ampun, Margaret, kamu imut banget!" Pria-pria berandalan yang ada di belakangnya tampak salah tingkah. Aku tidak bertanggung jawab terhadap kebaperan yang mereka buat sendiri."Udahlah, kenapa sih, kalian selalu aja gangguin Margaret? Kalian pikir tipenya itu kalian apa!?" Chelsea Adine Keisha (kerapkali dipanggil Chel) datang seraya membawa sapu di tangan kanannya. Dia mengusir pria-pria yang terobsesi, dengan kecantikan parasku itu."Pelajaran apa aja hari ini, Chel? Oh iya, buku catatan kamu yang kemarin, besok aja ya aku kembalikan?""Ya, nggak papa kok. Asalkan kamu nggak ketinggalan pelajaran, aku siap jadi sekretaris yang nulisnya slowmo." Chel cekikikan. Ya, mempunyai sahabat seorang sekretaris, cukup menyenangkan juga. Sejak tiga hari belakangan, dia tidak menulis cepat seperti biasanya, hanya karena aku ketinggalan beberapa materi pelajaran.Kami berdua berjalan beriringan menuju kelas XI B yang ada, di dekat koridor. Orang-orang bilang, kelas kami adalah kumpulan anak-anak buangan. Ya, kalau dilihat-lihat lagi memang seperti itu, sih. Rata-rata siswa maupun siswi kelasku memang memiliki IQ yang tidak terlalu tinggi. Walaupun begitu, mau bodoh atau tidak, yang penting adalah bagaimana proses menuju sukses."Hai, Lucer, selamat pagi," sapa Chel pada pria yang berpapasan dengan kami, di ambang pintu."Siapa? Kamu kenal dia, Chel?" tanyaku penasaran."Oh, ini Si Lucer Ford. Dia anak kelas sebelas A." Chel menjelaskan sambil menunjuk, ke arah pria dengan jaket denimnya itu.Saat aku melihatnya, dunia yang terasa datar berubah, menjadi dunia yang penuh kebahagiaan. Parasnya yang rupawan, membuatku ingin memilikinya sebagai seorang kekasih. Aku bukan hanya jatuh cinta pada fisiknya, tetapi juga pada auranya yang nampak berbeda. Ya, dia seperti fatamorgana, saat itu.Aku mengulurkan tangan kananku padanya. "Namaku Margaret Phire. Salam kenal, ya?"Lucer menatap wajahku sekilas, lalu pergi meninggalkan kelas. Ketika pria itu telah menghilang dari kejauhan, seisi kelas menertawakanku. Aku bingung. Apakah mereka sengaja mengerjaiku, di pagi-pagi buta?Aku bertanya seraya menyilangkan kedua tangan, "Chel, ini bukan hari ulang tahunku, kan? Mereka pada kenapa, sih?""Jangan pernah dekati pria itu, Ret! Aku dengar, dia sudah punya pacar. Selain itu, mau kamu ngomong apa pun, ya nggak akan pernah dijawab sama dia. Lagian, siapa suruh kamu kenalan sama Si Kutub Selatan?" Chel beralih dari hadapanku. Kemudian, melanjutkan piket kelas yang tertunda.Aku duduk di dekat kaca. Malu sekali rasanya, ketika jatuh cinta pada pria yang telah memiliki seorang kekasih. Aku mencoba untuk melupakan wajah Lucer. Namun, benakku seakan tidak bisa terlepas, dari tatapan datarnya itu. Rasa penasaran itu kembali timbul, dan terus mengganggu. Akankah aku tetap mengejar cintanya?Pertemuan pertama yang singkat itu masih mengena di benakku. Mengingat namanya yang terdiri dari sembilan huruf, telah menjadi kebiasaan, kala menjelang tidur. Aku suka melukis, semenjak beberapa hari belakangan. Ruangan kosong di atas loteng, kujadikan sebagai ruang pribadi dengan sejuta imajinasi.Kesibukan yang kujalani, prioritas utamanya adalah melupakan Kay. Pria yang pertama kali menggores hati itu, tak akan pernah mendapatkan maaf dariku. Jujur, aku masih tidak ingin membuka hati, tetapi semesta seakan menunjukkan bahwa, Lucerlah obat dari segala perih itu."Nona Phire, ada seseorang yang menjadi benalu di perusahaan Anda. Saya dengar, dia menghabiskan banyak uang investasi, untuk biaya kuliah selingkuhannya." Nona Kim–kepala pengelola Phireec Group bagian keuangan, meletakkan buket bunga mawar hitam, di atas meja riasku.Aku yang sibuk melukis wajah seorang pria tampan, seketika berhenti. Tak lama setelahnya, kuletakkan palet lukis, di atas meja kecil dengan ukiran batik. "Ak
Aku mengetikkan beberapa username dengan nama, "Gracia Benecia". Sudah dua jam berada di depan layar monitor, mataku sepertinya telah mengalami kelelahan. Tiga botol air mineral telah kuhabiskan, hanya untuk mencari nama gadis itu. Wifi gratis yang dilengkapi dengan laptop keluaran terbaru, menjadikan perpustakaan sebagai ruang top favorit, bagi para pelajar SMA Onzer."Siapa sih, nama akunnya? Dari tadi kok nggak ketemu-ketemu!" Tangan kananku mengambil dua potong sandwich, di dalam kotak bekal. Sensasi gigitan pertama yang kurasakan adalah pedas. Setelahnya, tampak biasa saja. Kulihat lagi potongan roti isi itu, tetapi tidak ada yang aneh di sana. Aku memakannya dengan lahap. Mungkin Nona Kim lupa meratakan saos di atasan roti."Tumben kamu ke perpustakaan, Ret. Ngapain?" Chel datang kesiangan. Baju seragamnya tampak berantakan. Penampilannya sangat jauh berbeda, daripada hari-hari sebelumnya."Kesiangan, ya? Kamu begadang buat apa sih, Chel? Nanti kalau kamu sakit, aku nggak punya
Aku benci dengan Necia. Hidupnya penuh dengan kepura-puraan. Apakah dia tidak pernah lelah pada dunianya yang berjalan semu itu? Aku meremukkan beberapa kertas penuh coretan tinta. Kemudian, membuangnya ke kotak sampah. Sambil memijit pelipis, aku mencoba untuk mengingat kembali pernyataan Lucer, beberapa jam sebelumnya."Emang benar ya, kamu itu seorang penipu handal. Kalau buaya darat cari mangsa, ya gini, nih." celotehku tanpa rem."Nggak," ujarnya dingin."Ya, nggak salah lagi, kan? Kalau emang kamu beneran setia. Terus siapa Si Necia?" Aku berkata seakan aku dan Lucer telah berpacaran. Tingkat kepercayaan diriku meningkat, ketika berada di dekatnya."Cuma temen.""Ini seriusan, kan? Kalau gitu, boleh dong aku daftar jadi ...."Belum selesai ucapanku, Lucer langsung menjawab, "dan dia juga masih berpeluang untuk menjadi kekasih."Siapa yang tidak hancur mendengar kejujuran dari bibir pria itu? Selama ini, aku belum pernah merasakan penolakan di dalam hidup. Lucer adalah satu-satu
"Pergilah, Nak! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" Ibu melepaskan genggamannya perlahan. "Jangan pernah kembali ke sini! Teruslah hidup demi marga keluarga kita!"Aku jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Wajah penuh guratan keriput, berpoleskan make up natural itu menghilang, di balik kegelapan yang mencekam. Bayangan wanita paruh baya ... werewolf di belakangnya ... tangisan darah, semuanya menghancurkan impian kami.Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, latar belakang tempatku terjatuh telah berubah, menjadi sebuah rumah besar lima tingkat. Aku berlari secepatnya, melawan kencangnya badai angin. Ya, aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Jangan sampai telat lagi!Aku berjalan lurus, melewati beberapa tiang-tiang besar. Kemudian, berhenti di lantai pertama. Kepalaku sakit. Aku tertunduk sayu, setelah menatap nanar lukisan keluarga bahagia, di dekat jam dinding. Wajah-wajah penuh senyuman, menghilang, dan entah bagaimana bisa mengembalikannya.Langkah kakiku gontai seakan ta
"Kenapa datang pagi-pagi, sih, Lucer!? Nggak lihat apa orang mandi aja belum?" gerutuku kesal pada pria yang ada di sampingku.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, dan sudah mengirimkan surat izin tidak masuk. Namun, Lucer sok rajin menjemputku, hingga membuatku kewalahan mengenakan seragam. Siapa yang tidak kesal? Dia datang pada pukul detik-detik, sebelum bel sekolah berbunyi. Dia tahu resiko, jika seorang siswa terlambat. Ya, hukuman adalah hal yang paling kubenci.Aku merasa dia tidak sepenuhnya jahat. Pikiranku sebelumnya yang menyatakan bahwa, Lucer adalah manusia serigala sepertinya salah. "Kamu nggak pernah cerita, kalau kamu alergi daging. Hahaha. Aku kira kamu itu makhluk jadi-jadian kayak di film-film." Aku meletakkan kotak bekal ke dalam tasnya."Jangan terlalu percaya pada mitos!" serunya, masih dengan tatapan yang sama. Datar.Dia juga bukanlah seorang vampir. Suhu tubuhnya sama seperti manusia kebanyakan. Mungkin asumsi bahwa, dia akan berubah menja
"Oh, jadi ini rumahnya Si Lucer," gumamku seraya berjalan lebih dekat, ke arah sebuah rumah besar di seberang sana.Kukira di tepian Selatan Hutan Valarie tidak ada yang namanya rumah. Buktinya, kediaman bak istana milik Keluarga Ford berdiri megah. Di pekarangan rumahnya terdapat dua buah air mancur. Patung serigala besar ada di tengah-tengah, menuju jalan masuk.Aku dibuat takjub dengan berbagai keindahan tempat seseram itu. Rumah miliknya, bahkan lebih besar dari tempat tinggalku. Kaca-kaca yang tertutup rapat oleh gorden hitam pekat dibuka satu per satu oleh para pelayan.Baru menapakkan kaki jenjang di sana untuk yang pertama kali, aku sudah disambut besar-besaran layaknya karnaval untuk sang tuan putri. Seorang pria kekar yang berpenampilan sederhana memintaku masuk ke dalam rumahnya.Ayah Lucer–Tuan Liam, sangat jauh berbeda dari yang disampaikan oleh anaknya. Dia tidak terlihat sangat menyeramkan, sebaliknya tampak sangat ramah. Aku diberikan secangkir teh, dengan wewangian kh
Kutancapkan beberapa kayu kecil dengan bendera di ujungnya. Pernyataannya tempo hari begitu menyebalkan. Namun, aku tidak akan pernah menyerah. Jika aku gagal, tentu masih bisa mencobanya lain kali. Beda lagi ceritanya, kalau aku memilih berhenti."Aku anggap kamu itu cuma atasan, dan sebagai teman satu kelompok," ujarnya saat itu. Betapa sakitnya hati kecilku, setelah mendengar perkataannya. Kucoba untuk tegar menjalani segalanya. Mungkin, suatu hari kelak, dia akan berubah.Hati wanita yang telah terpaut pada seorang lelaki, akan sulit untuk mencari yang lain lagi. Apa yang dirasakan oleh benak, terkadang terhalang oleh lisan. Mulutku ingin mengungkapan perasaan, tetapi ragu jika ia mengatakan hal yang sama; membalas cintaku.Kuletakkan ribuan harap, pada ia yang mungkin tak 'kan pernah bisa mengerti segala lara. Usaha yang belum menghasilkan cinta, kuredam di dalam rongga dada. Menyerah bukanlah kosa-kata penting dalam hidupku. Aku ingin sekali mendekapnya sambil berterus-terang,
Seisi Kota Aluna dihebohkan oleh fenomena aneh yang terjadi, semenjak beberapa minggu belakangan. Bulan darah (blood moon) adalah keadaan di mana bulan–benda langit yang menjadi satelit bumi, tidak berwarna putih seperti biasanya. Orang-orang bilang, bulan darah adalah bulan berwarna merah pekat seperti kentalnya darah.Banyak penduduk Kota Aluna yang ingin menyaksikan fenomena langka itu. Kalau menurut pendapat Chel, bulan darah bukanlah bentukan alam; dia berkata golongan bangsa vampir, yang memanggil fase bulan aneh itu. Gadis lugu sepertinya, mungkin diberi asupan dongeng yang banyak oleh ibunya, sewaktu kecil. Makanya, otaknya selalu menyangkut-pautkan segalanya dengan mitos.Aku mengeledah buku-buku sejarah kuno di perpustakaan sekolah. Nona Kim yang mengurus masalah surat panggilan, memintaku untuk keluar sebentar. Keluar-masuk kantor sudah menjadi langganan. Entah mau jadi apa aku ini sebenarnya. Terlalu kaya, bisa ke mana-mana dengan mudah, tidak menjamin kebahagiaan sepenuhn