Share

My Boyfie is Wolf Alpha
My Boyfie is Wolf Alpha
Author: Nona_El

Jeritan Di Tengah Malam

"Kamu tidak akan bisa lari dariku, Cantik. Mari kita nikmati malam ini dengan kentalnya darah segar. Ini adalah akhir dari hidupmu yang payah!" Sayup-sayup suara seorang pria dengan aksen dingin tapi menyeramkan, mengitari pendengaranku.

"Tolong, ada monster gila yang mengejarku!" teriakku sambil terus berlari, tanpa melihat arah mata angin.

Gelap. Hanya ada ketakutan di dalam arus nadi. Jantungku berpompa kencang, seakan ingin copot dari rongga dada. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas, apa yang telah terjadi di beberapa menit sebelumnya. Pria itu menjadi sosok buas, penuh taring tajam bak serigala liar. Ya, hanya itu kilasan peristiwa terakhir, yang mampu kuingat sejauh ini.

Aku berulangkali jatuh-bangun di tanah becek penuh lumpur. Tak pernah kutoleh lagi sisi belakang di kegelapan itu. Pekatnya malam semakin memperbesar ketakutan di dalam diri. Rembulan di atas sana terlihat berwarna merah pekat. Tidak ada lagi awan gelap yang menutupi benda langit itu.

Aku membatin, "Apakah lelaki itu benar-benar Lucer? Kenapa dia berubah menjadi momok terseram di dalam hidupku? Oh Tuhan, aku benar-benar takut."

Setelah sekian lama berlarian di Hutan Valarie, aku memilih untuk bersembunyi di semak-belukar, dekat Sungai Caste. Memantau monster itu dari kejauhan, nyatanya tak membuahkan hasil. Bulan memang bersinar terang, tetapi entah mengapa pandanganku malah semakin kabur.

Sial! Lupophobiaku kambuh. Sesak yang ditimbulkan, serta bayangan-bayangan manusia serigala itu kembali lagi. Keringat dingin mulai membasahi baju tidurku yang bermotif putih, dengan desain stroberi lucu di sekitarnya. Aku menyesal. Andai saja aku tidak pernah akrab dengannya ....

"Percuma. Sejauh apa pun kita terpisah, aku pasti bisa menemukan keberadaanmu, Nona." Hembusan panas di belakangku, sontak membuatku menoleh.

"Ka ... kamu?" Bibirku kelu untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Napasku tersenggal-senggal. "Tidak, jangan muncul di depanku lagi!"

Seseorang atau mungkin bisa disebut monster berbulu abu-abu menyerupai manusia, berada dalam jarak yang cukup dekat denganku. Mata hitam pekat bak gulita malam, menatap tajam seakan menginterogasi diriku. Air liur yang menetes dari mulutnya yang menganga, semakin mempercepat pompaan darah ke jantungku.

Aku salah memilih tempat persembunyian. Kukira seekor manusia serigala tidak akan mengejar sampai ke sungai. Nyatanya, perspektifku salah besar. Mitos yang selama ini tak pernah kudengarkan, ternyata benar-benar ada di dunia nyata. Makhluk buas, musuh bebuyutan bangsa vampir, tengah mengejarku sebagai mangsa.

Di saat-saat terakhir, aku kembali teringat perkataan Chel–sahabatku. Beberapa hari belakangan, gadis bermata violet itu pernah berkata,

"Kota Aluna dihebohkan oleh potret viral di sosial media, yang diambil oleh salah satu wisatawan. Kamu tahu, kan, turis itu mengambil potret apa? Ya, manusia serigala yang terlihat di gua, ujung Hutan Valarie."

Bodohnya aku, yang saat itu malah mengacuhkan. Bahkan, menganggapnya membual dengan lisan cerewetnya itu. Aku yang keras kepala, benar-benar terlalu naif.

Sepotong kayu sedang yang berukuran cukup panjang, kuambil untuk melindungi diri. Setidaknya, jika aku mati, maka semuanya tak akan membuat malu; perlawanan tentunya akan dihargai sebagai dokumentasi publik. "Me ... menjauhlah, Monster!"

Berhadapan dengan ketakutan terbesar di dalam hidup, siapa yang menyangka hal yang tak terduga 'kan terjadi? Aku berusaha untuk mengantisipasi hal buruk, sambil bangkit perlahan dari dudukku. Kakiku membentuk kuda-kuda, bersiap untuk menendang dengan kekuatan penuh.

Werewolf itu mendelik beringas. Matanya seakan ingin keluar dari kelopaknya. Pemandangan di depanku semakin buram. Bayangan manusia serigala itu berubah menjadi dua. Phobia ... ketakutan itu membuatku tak berdaya.

Argh!

Tubuhku terpelanting cukup keras ke arah batu besar, di pinggiran Sungai Caste. Cakaran yang diberikan oleh pemangsa daging itu mengenai lengan kananku. Darah berwarna merah pekat keluar begitu saja. Kutahan perih yang mulai timbul.

Tenggelam. Air bening berwarna xabula itu membasahi seluruh pakaianku. Aku terbawa arus deras. Kakiku kram. Tubuhku tidak bisa bergerak. Latihan berenang yang diajarkan oleh ibu sewaktu kecil, ternyata tidak dapat diterapkan dalam situasi segenting itu.

"Tolong! Tolong! Tolong!" pekikku sekerasnya. Semoga saja, ada yang mendengar teriakan yang menyayat hati itu.

Tidak jauh dari tempatku terbawa aliran deras sungai, werewolf itu terlihat meringkukkan diri. Aku menyipitkan kedua mata, mencoba melihat lebih detail. Ya, Lucer seakan menanggung semacam kesakitan di dalam dirinya. Apakah dia mencoba menahan diri, agar tidak membunuhku?

Tanpa kusadari, aku hampir berada di dekat tumpahan air terjun. Aku panik. Kucoba menggapai bebatuan besar yang tertancap di tengah sungai. Sial! Bebatuan itu teramat licin. Aku kesulitan untuk mengendalikan posisi tubuh, saat terbawa arus air sungai yang terkenal, dengan air beku hijaunya itu.

Phobia yang telah menjadi bagian dari hidupku telah mengambil alih. Trauma semasa kecil karena cerita kakekku, akhirnya terjadi di masa remajaku yang singkat. Lupophobia–ketakutan berlebihan pada manusia serigala, kukambuh. Lebih sialnya lagi, obat penetralisir phobia akut itu lupa kubawa.

"Di dunia kita, mungkin tidak ada yang namanya manusia serigala. Tapi percayalah, mitos sebenarnya diambil dari beberapa kisah nyata, yang dibumbui sedikit fiksi. Margaret sayang, Cucu kesayangan Kakek, ingatlah satu hal, jika kamu bertemu dengan ketakutan terbesarmu, maka hadapilah bagaimana pun caranya kelak."

Aku pasrah pada kematian yang 'kan menjemput. Aku tidak bisa menetapi janjiku pada kakek. Tidak seorang pun harapannya dapat kupenuhi. Kelemahan di dalam diri, membuatku tidak bisa bergerak dari zona nyaman–lingkungan rumah yang memberi berbagai kemanjaan.

Napasku berat. Aku tidak lagi merasakan sakitnya jantung, yang berdetak terlalu kencang. Air sungai yang dingin itu pun sudah tidak terasa lagi. Kupejamkan mataku perlahan. Menikmati hidup yang tinggal menghitung detik, mungkin akan jauh lebih baik.

*

"Margaret, maaf, aku selalu terlambat mencintaimu. Sejujurnya, aku benar-benar tidak mau kehilangan lagi. Aku mohon, tetaplah bernapas untukku," bisik seseorang di telinga kiriku. Suara itu merupakan nada khas yang telah menjadi candu. Aku menyukai si pemilik suara cool idaman satu sekolah itu. Apakah itu memang suara miliknya?

Mataku membuka perlahan. Ketika semua tenagaku sudah terkumpul, aku pun bertanya, "Apakah aku sudah mati? Kenapa langit masih terlihat sama? Lucer, katakan, aku sekarang di mana?"

Pria yang mengenakan hoddie hitam polos, serta celana jeans berpadukan warna yang sama itu tersenyum. "Seharusnya kamu bangun dari mimpi burukmu itu lebih cepat, Margaret Phire."

Sontak aku pun terkejut. Kutolehkan kepala ke kanan-kiri. Kami berada di padang rumput ilalang yang menghampar luas. Bulan merah itu telah menghilang. Di langit, hanya ada gelapnya malam, serta banyaknya sebaran bintang terang. Apakah aku memang sedang bermimpi buruk, seperti yang dikatakan pria macho, di depanku itu?

"Ayo, kita harus pulang! Malam sudah semakin larut. Tidak baik bagimu berada di tengah Hutan Valarie seorang diri." Lucer yang dikenal tidak banyak bicara, malah terlihat seperti seseorang yang posesif. Apa yang sebenarnya dia takutkan?

Aku mencoba bangkit dengan satu tumpuan tangan. Alangkah terkejutnya diriku, ketika melihat cakaran panjang di lengan kananku. Baju tidur lengan panjangku telah sobek. Tidak, semua itu bukanlah kejadian yang ada di dalam bunga tidur. Aku tidak bermimpi, semua itu benar-benar nyata.

"Kenapa bengong? Kita harus pulang, Margaret. Jangan mimpi sambil berjalan lagi!" Lucer menarik tangan kiriku. Senyumnya yang langka menghilang sepenuhnya di balik tatapan datar itu.

"Nggak papa kok, Lucer. Hehehe. Iya, deh. Yuk, kita pulang." Di balik kekehan itu, aku sebenarnya mencoba untuk tidak terlihat tahu segalanya di depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status