"Kamu tidak akan bisa lari dariku, Cantik. Mari kita nikmati malam ini dengan kentalnya darah segar. Ini adalah akhir dari hidupmu yang payah!" Sayup-sayup suara seorang pria dengan aksen dingin tapi menyeramkan, mengitari pendengaranku.
"Tolong, ada monster gila yang mengejarku!" teriakku sambil terus berlari, tanpa melihat arah mata angin.Gelap. Hanya ada ketakutan di dalam arus nadi. Jantungku berpompa kencang, seakan ingin copot dari rongga dada. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas, apa yang telah terjadi di beberapa menit sebelumnya. Pria itu menjadi sosok buas, penuh taring tajam bak serigala liar. Ya, hanya itu kilasan peristiwa terakhir, yang mampu kuingat sejauh ini.Aku berulangkali jatuh-bangun di tanah becek penuh lumpur. Tak pernah kutoleh lagi sisi belakang di kegelapan itu. Pekatnya malam semakin memperbesar ketakutan di dalam diri. Rembulan di atas sana terlihat berwarna merah pekat. Tidak ada lagi awan gelap yang menutupi benda langit itu.Aku membatin, "Apakah lelaki itu benar-benar Lucer? Kenapa dia berubah menjadi momok terseram di dalam hidupku? Oh Tuhan, aku benar-benar takut."Setelah sekian lama berlarian di Hutan Valarie, aku memilih untuk bersembunyi di semak-belukar, dekat Sungai Caste. Memantau monster itu dari kejauhan, nyatanya tak membuahkan hasil. Bulan memang bersinar terang, tetapi entah mengapa pandanganku malah semakin kabur.Sial! Lupophobiaku kambuh. Sesak yang ditimbulkan, serta bayangan-bayangan manusia serigala itu kembali lagi. Keringat dingin mulai membasahi baju tidurku yang bermotif putih, dengan desain stroberi lucu di sekitarnya. Aku menyesal. Andai saja aku tidak pernah akrab dengannya ...."Percuma. Sejauh apa pun kita terpisah, aku pasti bisa menemukan keberadaanmu, Nona." Hembusan panas di belakangku, sontak membuatku menoleh."Ka ... kamu?" Bibirku kelu untuk mengucapkan kalimat selanjutnya. Napasku tersenggal-senggal. "Tidak, jangan muncul di depanku lagi!"Seseorang atau mungkin bisa disebut monster berbulu abu-abu menyerupai manusia, berada dalam jarak yang cukup dekat denganku. Mata hitam pekat bak gulita malam, menatap tajam seakan menginterogasi diriku. Air liur yang menetes dari mulutnya yang menganga, semakin mempercepat pompaan darah ke jantungku.Aku salah memilih tempat persembunyian. Kukira seekor manusia serigala tidak akan mengejar sampai ke sungai. Nyatanya, perspektifku salah besar. Mitos yang selama ini tak pernah kudengarkan, ternyata benar-benar ada di dunia nyata. Makhluk buas, musuh bebuyutan bangsa vampir, tengah mengejarku sebagai mangsa.Di saat-saat terakhir, aku kembali teringat perkataan Chel–sahabatku. Beberapa hari belakangan, gadis bermata violet itu pernah berkata,"Kota Aluna dihebohkan oleh potret viral di sosial media, yang diambil oleh salah satu wisatawan. Kamu tahu, kan, turis itu mengambil potret apa? Ya, manusia serigala yang terlihat di gua, ujung Hutan Valarie."Bodohnya aku, yang saat itu malah mengacuhkan. Bahkan, menganggapnya membual dengan lisan cerewetnya itu. Aku yang keras kepala, benar-benar terlalu naif.Sepotong kayu sedang yang berukuran cukup panjang, kuambil untuk melindungi diri. Setidaknya, jika aku mati, maka semuanya tak akan membuat malu; perlawanan tentunya akan dihargai sebagai dokumentasi publik. "Me ... menjauhlah, Monster!"Berhadapan dengan ketakutan terbesar di dalam hidup, siapa yang menyangka hal yang tak terduga 'kan terjadi? Aku berusaha untuk mengantisipasi hal buruk, sambil bangkit perlahan dari dudukku. Kakiku membentuk kuda-kuda, bersiap untuk menendang dengan kekuatan penuh.Werewolf itu mendelik beringas. Matanya seakan ingin keluar dari kelopaknya. Pemandangan di depanku semakin buram. Bayangan manusia serigala itu berubah menjadi dua. Phobia ... ketakutan itu membuatku tak berdaya.Argh!Tubuhku terpelanting cukup keras ke arah batu besar, di pinggiran Sungai Caste. Cakaran yang diberikan oleh pemangsa daging itu mengenai lengan kananku. Darah berwarna merah pekat keluar begitu saja. Kutahan perih yang mulai timbul.Tenggelam. Air bening berwarna xabula itu membasahi seluruh pakaianku. Aku terbawa arus deras. Kakiku kram. Tubuhku tidak bisa bergerak. Latihan berenang yang diajarkan oleh ibu sewaktu kecil, ternyata tidak dapat diterapkan dalam situasi segenting itu."Tolong! Tolong! Tolong!" pekikku sekerasnya. Semoga saja, ada yang mendengar teriakan yang menyayat hati itu.Tidak jauh dari tempatku terbawa aliran deras sungai, werewolf itu terlihat meringkukkan diri. Aku menyipitkan kedua mata, mencoba melihat lebih detail. Ya, Lucer seakan menanggung semacam kesakitan di dalam dirinya. Apakah dia mencoba menahan diri, agar tidak membunuhku?Tanpa kusadari, aku hampir berada di dekat tumpahan air terjun. Aku panik. Kucoba menggapai bebatuan besar yang tertancap di tengah sungai. Sial! Bebatuan itu teramat licin. Aku kesulitan untuk mengendalikan posisi tubuh, saat terbawa arus air sungai yang terkenal, dengan air beku hijaunya itu.Phobia yang telah menjadi bagian dari hidupku telah mengambil alih. Trauma semasa kecil karena cerita kakekku, akhirnya terjadi di masa remajaku yang singkat. Lupophobia–ketakutan berlebihan pada manusia serigala, kukambuh. Lebih sialnya lagi, obat penetralisir phobia akut itu lupa kubawa."Di dunia kita, mungkin tidak ada yang namanya manusia serigala. Tapi percayalah, mitos sebenarnya diambil dari beberapa kisah nyata, yang dibumbui sedikit fiksi. Margaret sayang, Cucu kesayangan Kakek, ingatlah satu hal, jika kamu bertemu dengan ketakutan terbesarmu, maka hadapilah bagaimana pun caranya kelak."Aku pasrah pada kematian yang 'kan menjemput. Aku tidak bisa menetapi janjiku pada kakek. Tidak seorang pun harapannya dapat kupenuhi. Kelemahan di dalam diri, membuatku tidak bisa bergerak dari zona nyaman–lingkungan rumah yang memberi berbagai kemanjaan.Napasku berat. Aku tidak lagi merasakan sakitnya jantung, yang berdetak terlalu kencang. Air sungai yang dingin itu pun sudah tidak terasa lagi. Kupejamkan mataku perlahan. Menikmati hidup yang tinggal menghitung detik, mungkin akan jauh lebih baik.*"Margaret, maaf, aku selalu terlambat mencintaimu. Sejujurnya, aku benar-benar tidak mau kehilangan lagi. Aku mohon, tetaplah bernapas untukku," bisik seseorang di telinga kiriku. Suara itu merupakan nada khas yang telah menjadi candu. Aku menyukai si pemilik suara cool idaman satu sekolah itu. Apakah itu memang suara miliknya?Mataku membuka perlahan. Ketika semua tenagaku sudah terkumpul, aku pun bertanya, "Apakah aku sudah mati? Kenapa langit masih terlihat sama? Lucer, katakan, aku sekarang di mana?"Pria yang mengenakan hoddie hitam polos, serta celana jeans berpadukan warna yang sama itu tersenyum. "Seharusnya kamu bangun dari mimpi burukmu itu lebih cepat, Margaret Phire."Sontak aku pun terkejut. Kutolehkan kepala ke kanan-kiri. Kami berada di padang rumput ilalang yang menghampar luas. Bulan merah itu telah menghilang. Di langit, hanya ada gelapnya malam, serta banyaknya sebaran bintang terang. Apakah aku memang sedang bermimpi buruk, seperti yang dikatakan pria macho, di depanku itu?"Ayo, kita harus pulang! Malam sudah semakin larut. Tidak baik bagimu berada di tengah Hutan Valarie seorang diri." Lucer yang dikenal tidak banyak bicara, malah terlihat seperti seseorang yang posesif. Apa yang sebenarnya dia takutkan?Aku mencoba bangkit dengan satu tumpuan tangan. Alangkah terkejutnya diriku, ketika melihat cakaran panjang di lengan kananku. Baju tidur lengan panjangku telah sobek. Tidak, semua itu bukanlah kejadian yang ada di dalam bunga tidur. Aku tidak bermimpi, semua itu benar-benar nyata."Kenapa bengong? Kita harus pulang, Margaret. Jangan mimpi sambil berjalan lagi!" Lucer menarik tangan kiriku. Senyumnya yang langka menghilang sepenuhnya di balik tatapan datar itu."Nggak papa kok, Lucer. Hehehe. Iya, deh. Yuk, kita pulang." Di balik kekehan itu, aku sebenarnya mencoba untuk tidak terlihat tahu segalanya di depannya.Flashback"Kita putus. Nggak ada lagi yang perlu dilanjutkan. Aku capek sama sikap kamu, yang selalu selingkuh sana-sini." Aku melempar sebuah kotak kecil berisikan cincin permata berkilau.Pria blonde dengan potongan rambut bowl cut itu tertawa. Kemudian, ia berkata, "Putus? Kamu ini bicara apa, sih?"Aku membentak. Nada tertinggi keluar dari mulutku. Ingin sekali kuhajar pria manupulatif yang duduk, di depan sana. "Kay, aku mau kita putus! Aku nggak mau lagi pacaran sama kamu yang toxic!""Emang kita pernah menjalin komitmen? Kita nggak pernah pacaran. Kamu aja yang nganggep kita punya hubungan lebih, Phire." Kay–pria bermata amber yang mengenakan setelan hitam, beringsut dari duduknya. Makanan yang dihidangkan pelayan, tak dihiraukannya lagi.Saat itu, aku benar-benar sangat hancur. Hubungan kami yang berjalan selama tiga tahun, berakhir dengan kalimat, "Kita tidak punya hubungan lebih selama ini". Kekecewaan yang menggerogoti hati kecil, membuatku nekad untuk melupakan sosok jahat
Pertemuan pertama yang singkat itu masih mengena di benakku. Mengingat namanya yang terdiri dari sembilan huruf, telah menjadi kebiasaan, kala menjelang tidur. Aku suka melukis, semenjak beberapa hari belakangan. Ruangan kosong di atas loteng, kujadikan sebagai ruang pribadi dengan sejuta imajinasi.Kesibukan yang kujalani, prioritas utamanya adalah melupakan Kay. Pria yang pertama kali menggores hati itu, tak akan pernah mendapatkan maaf dariku. Jujur, aku masih tidak ingin membuka hati, tetapi semesta seakan menunjukkan bahwa, Lucerlah obat dari segala perih itu."Nona Phire, ada seseorang yang menjadi benalu di perusahaan Anda. Saya dengar, dia menghabiskan banyak uang investasi, untuk biaya kuliah selingkuhannya." Nona Kim–kepala pengelola Phireec Group bagian keuangan, meletakkan buket bunga mawar hitam, di atas meja riasku.Aku yang sibuk melukis wajah seorang pria tampan, seketika berhenti. Tak lama setelahnya, kuletakkan palet lukis, di atas meja kecil dengan ukiran batik. "Ak
Aku mengetikkan beberapa username dengan nama, "Gracia Benecia". Sudah dua jam berada di depan layar monitor, mataku sepertinya telah mengalami kelelahan. Tiga botol air mineral telah kuhabiskan, hanya untuk mencari nama gadis itu. Wifi gratis yang dilengkapi dengan laptop keluaran terbaru, menjadikan perpustakaan sebagai ruang top favorit, bagi para pelajar SMA Onzer."Siapa sih, nama akunnya? Dari tadi kok nggak ketemu-ketemu!" Tangan kananku mengambil dua potong sandwich, di dalam kotak bekal. Sensasi gigitan pertama yang kurasakan adalah pedas. Setelahnya, tampak biasa saja. Kulihat lagi potongan roti isi itu, tetapi tidak ada yang aneh di sana. Aku memakannya dengan lahap. Mungkin Nona Kim lupa meratakan saos di atasan roti."Tumben kamu ke perpustakaan, Ret. Ngapain?" Chel datang kesiangan. Baju seragamnya tampak berantakan. Penampilannya sangat jauh berbeda, daripada hari-hari sebelumnya."Kesiangan, ya? Kamu begadang buat apa sih, Chel? Nanti kalau kamu sakit, aku nggak punya
Aku benci dengan Necia. Hidupnya penuh dengan kepura-puraan. Apakah dia tidak pernah lelah pada dunianya yang berjalan semu itu? Aku meremukkan beberapa kertas penuh coretan tinta. Kemudian, membuangnya ke kotak sampah. Sambil memijit pelipis, aku mencoba untuk mengingat kembali pernyataan Lucer, beberapa jam sebelumnya."Emang benar ya, kamu itu seorang penipu handal. Kalau buaya darat cari mangsa, ya gini, nih." celotehku tanpa rem."Nggak," ujarnya dingin."Ya, nggak salah lagi, kan? Kalau emang kamu beneran setia. Terus siapa Si Necia?" Aku berkata seakan aku dan Lucer telah berpacaran. Tingkat kepercayaan diriku meningkat, ketika berada di dekatnya."Cuma temen.""Ini seriusan, kan? Kalau gitu, boleh dong aku daftar jadi ...."Belum selesai ucapanku, Lucer langsung menjawab, "dan dia juga masih berpeluang untuk menjadi kekasih."Siapa yang tidak hancur mendengar kejujuran dari bibir pria itu? Selama ini, aku belum pernah merasakan penolakan di dalam hidup. Lucer adalah satu-satu
"Pergilah, Nak! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" Ibu melepaskan genggamannya perlahan. "Jangan pernah kembali ke sini! Teruslah hidup demi marga keluarga kita!"Aku jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Wajah penuh guratan keriput, berpoleskan make up natural itu menghilang, di balik kegelapan yang mencekam. Bayangan wanita paruh baya ... werewolf di belakangnya ... tangisan darah, semuanya menghancurkan impian kami.Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, latar belakang tempatku terjatuh telah berubah, menjadi sebuah rumah besar lima tingkat. Aku berlari secepatnya, melawan kencangnya badai angin. Ya, aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Jangan sampai telat lagi!Aku berjalan lurus, melewati beberapa tiang-tiang besar. Kemudian, berhenti di lantai pertama. Kepalaku sakit. Aku tertunduk sayu, setelah menatap nanar lukisan keluarga bahagia, di dekat jam dinding. Wajah-wajah penuh senyuman, menghilang, dan entah bagaimana bisa mengembalikannya.Langkah kakiku gontai seakan ta
"Kenapa datang pagi-pagi, sih, Lucer!? Nggak lihat apa orang mandi aja belum?" gerutuku kesal pada pria yang ada di sampingku.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, dan sudah mengirimkan surat izin tidak masuk. Namun, Lucer sok rajin menjemputku, hingga membuatku kewalahan mengenakan seragam. Siapa yang tidak kesal? Dia datang pada pukul detik-detik, sebelum bel sekolah berbunyi. Dia tahu resiko, jika seorang siswa terlambat. Ya, hukuman adalah hal yang paling kubenci.Aku merasa dia tidak sepenuhnya jahat. Pikiranku sebelumnya yang menyatakan bahwa, Lucer adalah manusia serigala sepertinya salah. "Kamu nggak pernah cerita, kalau kamu alergi daging. Hahaha. Aku kira kamu itu makhluk jadi-jadian kayak di film-film." Aku meletakkan kotak bekal ke dalam tasnya."Jangan terlalu percaya pada mitos!" serunya, masih dengan tatapan yang sama. Datar.Dia juga bukanlah seorang vampir. Suhu tubuhnya sama seperti manusia kebanyakan. Mungkin asumsi bahwa, dia akan berubah menja
"Oh, jadi ini rumahnya Si Lucer," gumamku seraya berjalan lebih dekat, ke arah sebuah rumah besar di seberang sana.Kukira di tepian Selatan Hutan Valarie tidak ada yang namanya rumah. Buktinya, kediaman bak istana milik Keluarga Ford berdiri megah. Di pekarangan rumahnya terdapat dua buah air mancur. Patung serigala besar ada di tengah-tengah, menuju jalan masuk.Aku dibuat takjub dengan berbagai keindahan tempat seseram itu. Rumah miliknya, bahkan lebih besar dari tempat tinggalku. Kaca-kaca yang tertutup rapat oleh gorden hitam pekat dibuka satu per satu oleh para pelayan.Baru menapakkan kaki jenjang di sana untuk yang pertama kali, aku sudah disambut besar-besaran layaknya karnaval untuk sang tuan putri. Seorang pria kekar yang berpenampilan sederhana memintaku masuk ke dalam rumahnya.Ayah Lucer–Tuan Liam, sangat jauh berbeda dari yang disampaikan oleh anaknya. Dia tidak terlihat sangat menyeramkan, sebaliknya tampak sangat ramah. Aku diberikan secangkir teh, dengan wewangian kh
Kutancapkan beberapa kayu kecil dengan bendera di ujungnya. Pernyataannya tempo hari begitu menyebalkan. Namun, aku tidak akan pernah menyerah. Jika aku gagal, tentu masih bisa mencobanya lain kali. Beda lagi ceritanya, kalau aku memilih berhenti."Aku anggap kamu itu cuma atasan, dan sebagai teman satu kelompok," ujarnya saat itu. Betapa sakitnya hati kecilku, setelah mendengar perkataannya. Kucoba untuk tegar menjalani segalanya. Mungkin, suatu hari kelak, dia akan berubah.Hati wanita yang telah terpaut pada seorang lelaki, akan sulit untuk mencari yang lain lagi. Apa yang dirasakan oleh benak, terkadang terhalang oleh lisan. Mulutku ingin mengungkapan perasaan, tetapi ragu jika ia mengatakan hal yang sama; membalas cintaku.Kuletakkan ribuan harap, pada ia yang mungkin tak 'kan pernah bisa mengerti segala lara. Usaha yang belum menghasilkan cinta, kuredam di dalam rongga dada. Menyerah bukanlah kosa-kata penting dalam hidupku. Aku ingin sekali mendekapnya sambil berterus-terang,