Aku benci dengan Necia. Hidupnya penuh dengan kepura-puraan. Apakah dia tidak pernah lelah pada dunianya yang berjalan semu itu? Aku meremukkan beberapa kertas penuh coretan tinta. Kemudian, membuangnya ke kotak sampah.
Sambil memijit pelipis, aku mencoba untuk mengingat kembali pernyataan Lucer, beberapa jam sebelumnya."Emang benar ya, kamu itu seorang penipu handal. Kalau buaya darat cari mangsa, ya gini, nih." celotehku tanpa rem."Nggak," ujarnya dingin."Ya, nggak salah lagi, kan? Kalau emang kamu beneran setia. Terus siapa Si Necia?" Aku berkata seakan aku dan Lucer telah berpacaran. Tingkat kepercayaan diriku meningkat, ketika berada di dekatnya."Cuma temen.""Ini seriusan, kan? Kalau gitu, boleh dong aku daftar jadi ...."Belum selesai ucapanku, Lucer langsung menjawab, "dan dia juga masih berpeluang untuk menjadi kekasih."Siapa yang tidak hancur mendengar kejujuran dari bibir pria itu? Selama ini, aku belum pernah merasakan penolakan di dalam hidup. Lucer adalah satu-satunya pria yang pertama kali menolak ajakanku, untuk menjalin komitmen bersama. Harapan yang kujunjung siang dan malam, hancur lebur karenanya.Aku melepas almamater biru gelap, menaruhnya di belakang pundak. Jalanan yang sepi, dengan beberapa buah tiang lampu gantung kulewati begitu saja. Pikiran overthinking yang paling tidak kusukai, hadir kembali di dalam angan. Cinta yang kupikir penyelamat hidupku, sama saja dengan kisah di masa lalu. Semua hal seakan berjalan keluar dari ekspektasi.Di kursi taman yang ada di dekat kantor pos, aku membuka gawai di sana. Ada banyak daerah dengan wifi gratis di Aluna. Kepadatan penduduk yang menyebar merata tidak mempengaruhi program pemerintah. Benar, aku sangat beruntung menjadi salah satu penduduknya.Aplikasi chating menampilkan tiga pesan belum terbaca. Masing-masing satu pesan dari grup sekolah Onzer, Nona Kim, dan juga Chel. Aku membuka pesan dari Nona Kim, dan jawabannya masih sama. Huh! Aku harus menunggu lebih lama lagi. Antar jemput yang selalu terlambat, aku mulai lelah bergantung pada orang lain.Lima belas menit setelahnya, aku berhenti mondar-mandir di dekat tiang penerangan khusus Taman Qerya–terkenal karena ribuan bunga anyelirnya. Kakiku sudah terasa nyeri. Menjadi pihak yang menunggu, sungguh tidak menyenangkan. Aku lupa membawa uang untuk menyewa taksi. Kesialan seakan terus menghampiri, pada siang hari itu.Sebuah sedan hitam yang tidak asing di penglihatan, membelah jalanan kota. Aku melambaikan kedua tangan, berharap si pemilik mau berbaik hati. Tidak lama setelahnya, sedan itu pun berhenti di depanku. Kaca mobil yang setengah terbuka itu memperlihatkan seorang pria idamanku. Benar kata mendiang ayah, jodoh itu tidak akan ke mana-mana."Lucer, boleh minta anterin pulang, nggak?" tanyaku seraya merapatkan kedua telapak tangan. Kupasang wajah memelas, agar actingku terlihat sempurna."Iya," Lucer berkata tanpa menoleh.Satu kata darinya, sudah berhasil meluluhkan hatiku. Terkesan gampangan, tetapi jika melihat seorang pria tampan–terutama orang yang disuka, kemungkinan beberapa wanita juga akan begitu. Terburu-buru aku memasuki mobil Lucer, tak ingin pria itu mengamuk nantinya. Akan jauh lebih buruk, jika dia sampai berubah pikiran."Makasih, ya? Besok, aku traktir banyak makanan, deh." Aku tersenyum sendiri lagi. Ya, dia hanya diam, dan langsung menancap gas.Apakah Lucer punya caranya sendiri, untuk menunjukkan rasa kepeduliannya? Pria dingin itu sepertinya punya banyak rahasia, yang mungkin sengaja ditutupi. Untuk dekat dengan Lucer, aku harus mencari tahu dulu latar belakang kehidupannya.Mobil kami berjalan mulus, melewati beberapa kedai makanan ringan. Hening, seakan tidak ada makhluk bernyawa di dalam mobilnya. Lampu merah di depan sana masih tersisa dua puluh detik lagi. Itu artinya ada kesempatan untuk lebih akrab dengannya. Karena tidak ingin terlihat terlalu kaku, aku pun mengajaknya berbicara,"Eh, Lucer, kamu suka makan steak sapi, nggak? Di rumahku ada banyak chef handal yang bisa bikin makanan super enak, loh. Kamu mau nggak mampir ke rumahku? Hum, sebentar aja, deh."Lucer merenung. Dia seakan teringat sesuatu, entah apa yang ada di pikirannya. Aku menyentuh bahunya, berniat menyadarkannya dari lamunan panjang. Namun, tanganku ditepis dengan cepat. Bagaimana dia bisa memprediksikan pergerakanku, dalam waktu yang sesingkat itu? Wow, matanya sangat tajam juga rupanya!"Kenapa, Lucer? Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu kok." Kutahan rasa sakit yang timbul, karena tepisan dari pria itu. Kenapa struktur kulitnya hampir sama dengan Necia? Apakah penduduk asli Aluna memang punya kulit setebal, dan sekeras mereka? Rasanya aneh sekali."Aku bukan pemakan daging," tuturnya seakan salah tingkah. Nada bicaranya seperti orang gugup.Dia bilang bukan pemakan daging, tetapi bau napasnya sendiri seperti baru habis makan daging. Aku hafal betul, bau khas dari daging sapi–keluargaku dulu selalu mengajarkan hal itu. Kenapa dia malah membohongi orang yang sudah ahli sepertiku?"Kamu nggak suka daging? Kek aneh banget, sih. Mana ada orang yang nggak suka daging.""Nggak usah bahas hal yang seharusnya nggak perlu kamu tahu." Lucer kembali fokus menyetir.Kualihkan pandangan ke luar kaca jendela. Pepohonan pinus terlewati begitu cepat. Pemandangan hijau nan indah itu sudah menjadi ciri khas Kota Aluna. Karena bosan, setelah melihat-lihat cukup lama, aku pun meraih gawai. Bagiku, membuka ponsel adalah teman terbaik, ketika sepi kembali hadir.Chel mengirimkan sebuah gambar, serta caption yang bertuliskan, "Margaret, coba perhatikan gambar ini. Katanya potret aneh ini diambil beberapa jam yang lalu oleh salah seorang turis". Karena penasaran, aku pun langsung membukanya. Di sana terlihat manusia serigala, yang berhasil membuatku kaget setengah mati. Phobiaku hampir saja kambuh, karena ulah jahil sahabatku itu. Bercandanya sangat kelewatan. Aku akan memarahinya, setelah pulang ke rumah.Lucer spontan menginjak rem. "Ada apa?"Wajahku rasanya memerah. Bertatapan langsung pada manik mata pria itu, memompa darah ke jantung lebih cepat. Sambil menahan gugup, aku menjawab pertanyaannya, "Hehehe. Nggak papa kok.""Oh, ya udah kalau gitu." Lucer kembali dingin.Sepintas, aku melihat sebuah kalung dengan lambang yang aneh, di leher Lucer. Entah gambar apa yang ada di sana. Setelah dipikir-pikir, gambar manusia serigala yang ditunjukkan oleh Chel, juga mempunyai kalung yang sama dengan Lucer. Jangan-jangan ....Aku menggelengkan kepala, menepis pikiran buruk itu. Kuambil ponsel yang jatuh di bawah sana. Hal yang begitu mengejutkan, kembali terlihat. Ya, Lucer tidak memakai sepatunya. Apakah dia baru saja berubah menjadi seekor werewolf? Celananya tampak sedikit robek, seakan terkena ranting tajam di hutan.Setelah mengambil ponsel, aku menjadi pikuk. Rasanya tak mampu lagi, untuk berkata apa-apa. Siapa sebenarnya Lucer? Apakah dia memang manusia serigala, yang ada di dalam foto kiriman Chel?"Pergilah, Nak! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" Ibu melepaskan genggamannya perlahan. "Jangan pernah kembali ke sini! Teruslah hidup demi marga keluarga kita!"Aku jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Wajah penuh guratan keriput, berpoleskan make up natural itu menghilang, di balik kegelapan yang mencekam. Bayangan wanita paruh baya ... werewolf di belakangnya ... tangisan darah, semuanya menghancurkan impian kami.Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, latar belakang tempatku terjatuh telah berubah, menjadi sebuah rumah besar lima tingkat. Aku berlari secepatnya, melawan kencangnya badai angin. Ya, aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Jangan sampai telat lagi!Aku berjalan lurus, melewati beberapa tiang-tiang besar. Kemudian, berhenti di lantai pertama. Kepalaku sakit. Aku tertunduk sayu, setelah menatap nanar lukisan keluarga bahagia, di dekat jam dinding. Wajah-wajah penuh senyuman, menghilang, dan entah bagaimana bisa mengembalikannya.Langkah kakiku gontai seakan ta
"Kenapa datang pagi-pagi, sih, Lucer!? Nggak lihat apa orang mandi aja belum?" gerutuku kesal pada pria yang ada di sampingku.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, dan sudah mengirimkan surat izin tidak masuk. Namun, Lucer sok rajin menjemputku, hingga membuatku kewalahan mengenakan seragam. Siapa yang tidak kesal? Dia datang pada pukul detik-detik, sebelum bel sekolah berbunyi. Dia tahu resiko, jika seorang siswa terlambat. Ya, hukuman adalah hal yang paling kubenci.Aku merasa dia tidak sepenuhnya jahat. Pikiranku sebelumnya yang menyatakan bahwa, Lucer adalah manusia serigala sepertinya salah. "Kamu nggak pernah cerita, kalau kamu alergi daging. Hahaha. Aku kira kamu itu makhluk jadi-jadian kayak di film-film." Aku meletakkan kotak bekal ke dalam tasnya."Jangan terlalu percaya pada mitos!" serunya, masih dengan tatapan yang sama. Datar.Dia juga bukanlah seorang vampir. Suhu tubuhnya sama seperti manusia kebanyakan. Mungkin asumsi bahwa, dia akan berubah menja
"Oh, jadi ini rumahnya Si Lucer," gumamku seraya berjalan lebih dekat, ke arah sebuah rumah besar di seberang sana.Kukira di tepian Selatan Hutan Valarie tidak ada yang namanya rumah. Buktinya, kediaman bak istana milik Keluarga Ford berdiri megah. Di pekarangan rumahnya terdapat dua buah air mancur. Patung serigala besar ada di tengah-tengah, menuju jalan masuk.Aku dibuat takjub dengan berbagai keindahan tempat seseram itu. Rumah miliknya, bahkan lebih besar dari tempat tinggalku. Kaca-kaca yang tertutup rapat oleh gorden hitam pekat dibuka satu per satu oleh para pelayan.Baru menapakkan kaki jenjang di sana untuk yang pertama kali, aku sudah disambut besar-besaran layaknya karnaval untuk sang tuan putri. Seorang pria kekar yang berpenampilan sederhana memintaku masuk ke dalam rumahnya.Ayah Lucer–Tuan Liam, sangat jauh berbeda dari yang disampaikan oleh anaknya. Dia tidak terlihat sangat menyeramkan, sebaliknya tampak sangat ramah. Aku diberikan secangkir teh, dengan wewangian kh
Kutancapkan beberapa kayu kecil dengan bendera di ujungnya. Pernyataannya tempo hari begitu menyebalkan. Namun, aku tidak akan pernah menyerah. Jika aku gagal, tentu masih bisa mencobanya lain kali. Beda lagi ceritanya, kalau aku memilih berhenti."Aku anggap kamu itu cuma atasan, dan sebagai teman satu kelompok," ujarnya saat itu. Betapa sakitnya hati kecilku, setelah mendengar perkataannya. Kucoba untuk tegar menjalani segalanya. Mungkin, suatu hari kelak, dia akan berubah.Hati wanita yang telah terpaut pada seorang lelaki, akan sulit untuk mencari yang lain lagi. Apa yang dirasakan oleh benak, terkadang terhalang oleh lisan. Mulutku ingin mengungkapan perasaan, tetapi ragu jika ia mengatakan hal yang sama; membalas cintaku.Kuletakkan ribuan harap, pada ia yang mungkin tak 'kan pernah bisa mengerti segala lara. Usaha yang belum menghasilkan cinta, kuredam di dalam rongga dada. Menyerah bukanlah kosa-kata penting dalam hidupku. Aku ingin sekali mendekapnya sambil berterus-terang,
Seisi Kota Aluna dihebohkan oleh fenomena aneh yang terjadi, semenjak beberapa minggu belakangan. Bulan darah (blood moon) adalah keadaan di mana bulan–benda langit yang menjadi satelit bumi, tidak berwarna putih seperti biasanya. Orang-orang bilang, bulan darah adalah bulan berwarna merah pekat seperti kentalnya darah.Banyak penduduk Kota Aluna yang ingin menyaksikan fenomena langka itu. Kalau menurut pendapat Chel, bulan darah bukanlah bentukan alam; dia berkata golongan bangsa vampir, yang memanggil fase bulan aneh itu. Gadis lugu sepertinya, mungkin diberi asupan dongeng yang banyak oleh ibunya, sewaktu kecil. Makanya, otaknya selalu menyangkut-pautkan segalanya dengan mitos.Aku mengeledah buku-buku sejarah kuno di perpustakaan sekolah. Nona Kim yang mengurus masalah surat panggilan, memintaku untuk keluar sebentar. Keluar-masuk kantor sudah menjadi langganan. Entah mau jadi apa aku ini sebenarnya. Terlalu kaya, bisa ke mana-mana dengan mudah, tidak menjamin kebahagiaan sepenuhn
Aku tak berani melihat mata hitam pekat milik Lucer. Pria yang duduk di sampingku hanya membeku, seperti tak ingin sekali bicara padaku. Ya, mungkin dia masih marah, karena ulahku di gudang.Ketika orang yang disukai tak merespon, pastinya hati sangatlah gelisah. Aku dilanda oleh dorongan, agar mau meminta maaf padanya. Mencintai orang yang tak banyak bicara ternyata sesulit itu, ya?"Baiklah, Anak-Anak, kita mulai saja materi gabungan kelas sekarang. Silahkan buka halaman lima belas sampai tujuh lima."Seisi kelas nampak melongo. Beberapa di antaranya berkata, "Tumben banyak banget tugas nyatatnya." Suasana kelas materi biologi gabungan, gaduh. Siswa-siswi yang rata-rata dari kelas B terlihat mengeluh, dengan tugas yang diberikan oleh Mr. Sei.Aku menoleh ke samping–pada seorang gadis berambut pirang bergaya wavy high volume. Mata peraknya menjadi warna terburuk. Aku ingin mengawasinya, tetapi gadis itu cepat sekali peka–sadar dengan kehadiranku."Kenapa lihat-lihat?" Necia bertanya
"Siapa yang membakar semua buku-buku di perpustakaan sekolah?" Chel berbisik-bisik, dengan sangat dekat pada telinga kananku. Aku menutup mulut gadis itu, lalu menjauhkannya dari daun telingaku. "Tempat ini bukan hanya dibakar. Kamu tahu, kan, maksudku?"Gadis yang mengenakan baju olahraga berwarna merah muda itu nampak menggeleng. Jika soal materi, dia hafal semua dari huruf A sampai Z. Namun, ketika berhadapan dengan kasus di sekolah, dia malah tidak koneksi."Jangan berkerumunan, Anak-Anak! Segera masuk ke kelas kalian!" Pak Tiyo berteriak, memerintah sambil memegang rotan panjang berukuran setengah meteran.Aku menarik lengan sahabatku, tak ingin lebih banyak terkena masalah, karena tidak mendengarkan perintah guru BK. "Ayo, kita pergi, Chel!"Sebuah taman yang di tengahnya terdapat air mancur berbentuk simbol pisces, kami berada cukup lama di sana. Kelas kami mengalami hal yang buruk. Bangunan yang baru dicat beberapa hari sebelumnya, hari itu, malah hancur seperti ditabrak sesu
Seekor landak kecil yang memiliki duri tajam di punggungnya, menjadi objek berharga untuk mendapatkan nilai grade A+. Aku memotretnya sebanyak tiga kali, untuk mengambil gambar yang sungguh sempurna. Mr. Sei mengeluh sehari sebelumnya, karena kami tidak memberikan foto yang jelas–sedikit kabur karena terkena hujan petang.Perbatasan Hutan Valarie mempunyai garis pengenal–yang rumputnya berwarna sedikit kekuningan, yang tidak boleh dimasuki oleh siapa pun. Kata orang-orang penduduk asli di sana, mistis kuat akan diiringi oleh hukum alam–melanggar aturan akan menanggung karmanya sendiri."Lucer, bantuin aku angkat kardus ini dong!" Aku merasa keberatan mengangkut barang-barang yang jumlahnya banyak itu. Meminta bantuan mungkin tidak apa, pikirku kala itu."Maaf, Ret. Tapi tangan kananku masih belum sembuh." Mana kusangka Lucer akan menolaknya."Kamu terluka? Apakah tanganmu patah?" Aku menjatuhkan kardus berisi barang-barang penelitian, tanpa menghiraukan resiko.Aku terlalu fokus pada