Share

Mimpi Buruk

"Pergilah, Nak! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" Ibu melepaskan genggamannya perlahan. "Jangan pernah kembali ke sini! Teruslah hidup demi marga keluarga kita!"

Aku jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Wajah penuh guratan keriput, berpoleskan make up natural itu menghilang, di balik kegelapan yang mencekam. Bayangan wanita paruh baya ... werewolf di belakangnya ... tangisan darah, semuanya menghancurkan impian kami.

Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, latar belakang tempatku terjatuh telah berubah, menjadi sebuah rumah besar lima tingkat. Aku berlari secepatnya, melawan kencangnya badai angin. Ya, aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Jangan sampai telat lagi!

Aku berjalan lurus, melewati beberapa tiang-tiang besar. Kemudian, berhenti di lantai pertama. Kepalaku sakit. Aku tertunduk sayu, setelah menatap nanar lukisan keluarga bahagia, di dekat jam dinding. Wajah-wajah penuh senyuman, menghilang, dan entah bagaimana bisa mengembalikannya.

Langkah kakiku gontai seakan tak mampu berjalan lagi. Tubuhku lunglai, hampir terjatuh. Aku merangkak dengan sisa-sisa tenaga. Ujung jariku hendak menyentuh pintu lift. Namun, lift itu sudah terbuka dengan sendirinya. Aku termenung, derai air mata membasahi pelupuk. Seulas senyum kecut kuberikan pada mayat-mayat di dalam sana.

Anggota keluarga Phire tewas dalam semalam. Aku pulang dengan pakaian olahraga yang kotor. Kemenangan olimpiade tidak ada apa-apanya. Aku tidak ingin hadiah uang bermilyar-milyar. Satu pintaku, kembalikan jiwa-jiwa tak bersalah itu pada raganya.

Kesalahan apa yang telah diperbuat oleh keluargaku? Kenapa? Kenapa bangsa manusia serigala itu merobek kebahagiaan kami? Aku terisak. Perasaanku hancur rendam, remuk sehancur-hancurnya. Tanganku gemetar.

Aku mencoba bangkit dari keterpurukan. Kulihat beberapa bayangan serigala di ambang pintu. Ya, aku tidak sendirian di sana. Kututup mulutku, untuk mengurangi kegugupan yang semakin menebarkan dada. Baru melihat bayangannya saja, aku sudah sangat ketakutan.

Kaki berbulu abu-abu itu mendekat. Langkah mereka semakin dekat, dan dekat. Tubuhku kaku, tak bisa digerakkan. Phobiaku kambuh lagi. Aku sangat membenci ketakutan terbesarku itu. Kucoba mengatur deru napas, tetapi tetap tak bisa. Sial! Aku tidak ingin mati konyol.

Dor!

Suara tembakan terdengar sangat nyaring, di indera pendengaranku. Aku melindungi wajah, di balik lengan kanan. Setelah membuka mata, bayangan manusia-manusia serigala itu sudah tak terlihat lagi. Ke mana perginya kawanan pembunuh itu?

"Selamat malam, Nona kecil. Apakah Anda baik-baik saja?" Seorang pria yang mengenakan seragam polisi kawasan setempat, datang tepat waktu.

Ketakutanku menghilang dalam sekejap mata. Apakah ketika objek itu–werewolf, berada cukup jauh dari motorik, aku akan tetap baik-baik saja? Aku memegangi kepalaku sambil berkata,

"Maaf, Nona Phire. Tapi kami tidak mengerti apa yang Anda bicarakan. Kurasa Anda perlu memeriksakan diri ke psikiater." Pak Polisi itu menepuk pundakku. Seukir senyum ia sajikan. "Tenangkan diri Anda. Saya tahu, ini pasti sangat berat untuk dijalani."

"Aku tidak mengatakan sebuah omong kosong, Pak. Mereka benar-benar ada. Mereka buas ... menghabisi dengan cakarnya ... aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Tolong, percayalah padaku!" Aku bersimpuh. Nyatanya, tangisan sekeras apa pun, tidak ada yang mengerti tentang rasa sakit itu.

Apa yang dianggap mitos oleh orang lain, tidak untukku. Aku tahu, mereka benar-benar ada. Jika memang aku sedang berhalusinasi, mengapa keluargaku terbunuh? Sejak hari itu, banyak orang yang mengira, akulah tersangka pembunuhan berantai Keluarga Phire.

Karena tidak ingin membahayakan kesehatan mentalku, Nona Kim beserta lima orang pengawal, termasuk tujuh pembantu, memutuskan untuk mengajakku pindah negara.

Aku hidup di bawah hinaan. Harta peninggalan yang berlimpah ruah, justru menjadi bumerang tersendiri. Hanya aku satu-satunya yang tersisa. Perlahan, aku kembali jatuh dalam kesedihan yang berkepanjangan. Meratapi kematian keluargaku yang tragis, selalu, dan acapkali kulakukan setiap gerak langkah.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu yang diketuk berulang, berhasil membangunkanku dari tidur panjang. Suara bising itu begitu mengganggu pendengaran. Aku turun dengan cepat dari atas ranjang, menuju pintu kayu dengan ukiran bunga mawar, di depan sana.

Saat membuka handle, terlihat seorang pria penuh wibawa sedang membungkuk hormat. Mendiang ayah mempertugaskannya sebagai pelindung, sekaligus pengurus Perusahaan Phireec. Tuan Robert adalah pria yang telah kuanggap sebagai pengganti ayah. Dia sangat baik, dan juga ramah.

Aku mengucek-ucek mata kanan dengan tangan. Begadang membuat tubuhku tidak fit. "Oh, ternyata Anda, Tuan Robert. Ada apa? Kenapa pagi-pagi sekali?"

"Maaf, mengganggu waktu tidur Anda, My Princess. Kalau bukan urusan yang tidak penting, saya tidak mungkin membangunkan Anda." Pria bermata cokelat tua itu bangkit dari hormatnya. Potongan rambutnya yang digayakan ala-ala anak muda kekinian–bowl cut, diwarnai dengan gradasi merah-cokelat.

"Ya, nggak apa-apa kok." Aku menyilangkan tangan. "Urusan apa?"

"Ada sebuah perusahaan yang ingin bekerja sama dengan kita. Sekarang, penerus perusahaan itu ingin menemui Anda. Saya sudah melarang, tetapi ia tetap bersikeras." Tuan Robert menunjuk ke arah ruang, di bawah tangga.

Tanpa membuang waktu, aku pun turun bersamaan dengan derap langkah Tuan Robert di belakang. Jantungku tiba-tiba berdegup sangat kencang, seakan ingin meledak di tempatnya. Entah mengapa, aura rumahku menjadi sedikit berbeda.

Seorang pria dengan tatanan rambut berwarna hitam kecokelatan, dengan ujung bergelombang bak ombak tampak duduk membelakangi. Dari anak tangga bawah, aku dapat melihat postur tubuh yang sempurna itu, dengan sangat leluasa. Ia sangat atletis, dan berkharisma. Jas formal yang ia kenakan sangat pas di tubuhnya.

"Tuan Ford, ini adalah Nona Phire, pemilik Perusahaan Phireec Group." Tuan Robert mengambil tempat di samping pria itu.

Aku berjalan dengan langkah penuh pesona, berharap Lucer dapat melihat, dan langsung jatuh cinta padaku. Aku merasa sangat beruntung sekali, ketika duduk di depan pria rupawan itu.

"Perusahaan Alford Wires mengalami penurunan besar, sejak beberapa bulan terakhir. Aku ingin mengajukan diri sebagai calon asisten manager Anda. Tidak perlu membayar pekerjaan dengan gaji, aku hanya ingin perusahaan mendiang ibuku berjalan kembali." Lucer menyerahkan sebuah map berwarna merah kepadaku.

Aku mengambil map itu. Isinya tebal sekali. Mungkin ada banyak kertas berisi informasi penting di dalamnya. "Bagaimana menurutmu, Tuan Robert?" Aku melempar pertanyaan pada pria di samping Lucer.

"Sebagai penanggung jawab, saya tidak berhak menentukan keputusan perusahaan untuk bekerja sama dengan pihak mana pun, Nona. Andalah yang berhak, dan memang harus Anda yang menentukannya."

Mataku membola. Tuan Robert selalu saja seperti itu. Menjengkelkan sekali. "Baiklah, Tuan Ford, karena Anda telah berbaik hati padaku kemarin, aku tidak bisa menolak tawaran itu."

Kami saling berjabatan tangan.

Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Putaran jarum jam seakan memutar tanpa menunggu perubahan di sekitarnya. Dunia tetap berjalan, meski manusia-manusia di dalamnya kepayahan menghadapi hidup.

Perusahaan Alford Wires yang menjadi cabang Phireec Group bertambah maju, setelah musim panas berakhir. Hubunganku dengan Lucer juga semakin dekat, lantaran dia telah menjadi asisten managerku. Kurasa, hubungan di antara kami telah menumbuhkan rasa suka dalam dirinya. Hanya waktu yang 'kan menentukan bagaimana hubungan kami ke depannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status