Aku mengetikkan beberapa username dengan nama, "Gracia Benecia". Sudah dua jam berada di depan layar monitor, mataku sepertinya telah mengalami kelelahan. Tiga botol air mineral telah kuhabiskan, hanya untuk mencari nama gadis itu. Wifi gratis yang dilengkapi dengan laptop keluaran terbaru, menjadikan perpustakaan sebagai ruang top favorit, bagi para pelajar SMA Onzer.
"Siapa sih, nama akunnya? Dari tadi kok nggak ketemu-ketemu!" Tangan kananku mengambil dua potong sandwich, di dalam kotak bekal. Sensasi gigitan pertama yang kurasakan adalah pedas. Setelahnya, tampak biasa saja. Kulihat lagi potongan roti isi itu, tetapi tidak ada yang aneh di sana. Aku memakannya dengan lahap. Mungkin Nona Kim lupa meratakan saos di atasan roti."Tumben kamu ke perpustakaan, Ret. Ngapain?" Chel datang kesiangan. Baju seragamnya tampak berantakan. Penampilannya sangat jauh berbeda, daripada hari-hari sebelumnya."Kesiangan, ya? Kamu begadang buat apa sih, Chel? Nanti kalau kamu sakit, aku nggak punya sahabat buat curhat lagi, dong!" Aku menggeserkan kursi putar, ke dekat tempat duduk gadis berkuncir satu itu."Sleep call sama ayanglah. Bentar-bentar, berarti aku cuma dijadikan sebagai tempat berbagi cerita doang, dong? Duh, kadang terlalu jujur itu nggak baik, loh, Ret." Chel membuka buku novel karya Nona El, di dekat rak favorit readers. Dia terlihat sangat antusias membacanya."Kalau aku lihat-lihat, kamu kayaknya suka banget ya, sama bukunya buatan Nona El? Emang dia siapa, sih, Chel? Kudengar juga, seangkatan kita lagi heboh baca bukunya.""Yang paling the best itu buku yang berjudul 'Setelah kita lost kontak', itu bikin aku nangis seharian.""Emang isinya tentang apaan?" Aku menopang dagu, agar bisa lebih fokus mendengarkannya."Bercerita tentang seorang wanita yang ditinggalkan pacarnya, alias lost kontak. Itu rekomendasi banget buat yang suka sama virtual," tuturnya seraya merapikan posisi duduk."Kamu kenal nggak sama Si Gracia Benecia? Aku tadi nyoba nyari di sini tapi nggak ada informasi tentang dia. Apa sistemnya lagi rusak, ya?" Akhirnya, aku punya kesempatan untuk bertanya, setelah gadis itu bercerita panjang lebar tentang author kesukaannya."Seisi sekolah ini kenal sama tuh badgirl. Necia itu ceweknya Lucer. Kabar angin bilang sih, dia suka ngehajar cewek mana aja yang berani dekatin Lucer. Ngapain juga kamu cari tahu tentang dia, Ret? Jangan cari penyakitlah! Mending sama Si Alvaro aja tuh, senior kita yang jago main basket itu."Sebanyak apa pun yang Chel sarankan, aku tidak bisa memilih orang lain. Hatiku telah terpaut pada pria dengan tatapan datar itu–Lucer Ford. Jangankan senior kami yang punya reputasi tinggi, aku juga pernah menolak anak kepala sekolah Onzer–Regard. Semua pria yang bagi mereka mempesona, di mataku tak berarti apa-apa; seperti sosok yang biasa-biasa saja.Sebenarnya, menolak adalah perbuatan yang sangat mengerikan bagiku. Ya, bagaimana tidak? Yang dipertaruhkan itu adalah hati orang lain. Aku juga tidak bisa memaksakan hati untuk mencintai mereka. Dua sisi yang saling bertolak belakang, kadang kala meresahkan benakku sendiri.*Ketika jam istirahat berbunyi, aku menuju loker penyimpanan barang. Ikat rambut biru kulepaskan, menggantikannya dengan bando merah muda. Rambut hitam lurus di bawah bahu itu kubiarkan menggurai indah. Aku merasa sedikit lega, setelah mendapatkan beberapa data Necia.Cinta itu butuh perjuangan. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Akun Lucer menunjukkan bahwa, dia seorang pemuda yang belum punya kekasih. Entah benar atau tidak, aku akan memastikannya nanti."Kamu cewek yang dikasih gelang couple sama Lucer, kan?" Dari bayangan yang terlihat, aku dapat memastikan, orang di belakangku itu adalah seorang wanita.Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Tatapan gadis bermata perak di sana, begitu tajam. Ia seakan ingin membunuh, lalu mencincang habis diriku. Tentu saja, aku langsung gemetar. Ada rasa takut yang muncul, ketika mencoba untuk menghibur diri sendiri. Tangan kananku mengepal erat, berjaga-jaga jikalau ia menyerang.Kaki kanan gadis itu menendang loker di sebelahku. Ia mungkin kesal, karena aku tidak langsung menjawabnya. Keadaan semakin memanas, tatkala kepalan tangan kirinya diarahkan padaku. Ketika ia hendak memukul, aku sudah lebih dulu menepis rancangan penyerangannya itu. Taktik yang mudah terbaca, tidak akan mungkin bisa berhasil mengenai sasaran."Apa maumu?" Aku mendorong tubuh gadis itu, hingga ia membentur dinding. Entah mengapa tubuhnya terasa sangat keras. Apakah ia makan beton setiap hari? Itu kali pertama aku merasakan struktur kulit manusia yang sangat keras."Jangan pura pura nggak denger omongan pertama kutadi!" teriaknya kencang. Suara yang begitu memekakkan telinga itu tak membuat tekadku mundur. Cintaku tak mungkin kandas hanya karena dilabrak.Aku akui ia cukup pemberani, karena datang padaku seorang diri. Biasanya para geng wanita akan ikut membantu, tetapi ia berbeda. Kecantikan tak selamanya mencerminkan tingkah laku. Percuma memiliki fisik good looking, tetapi punya sifat buruk."Hei, Necia! Emangnya Lucer pernah ngakuin kamu sebagai pacarnya?" Aku menyeringgai."Pertanyaan konyolmu nggak perlu dibalas dengan ucapan halus. Akan kuberi kau pelajaran, agar kau tak lagi mengganggu hubungan kami!"Plak!Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi kananku. Aku yang telah tersolot emosi pun mencakarnya dengan kuku tajamku. Kami terlibat duel yang berjalan sengit, di ruang loker. Kebetulan kala itu sedang sepi; para siswa kebanyakan fokus ke kantin. Necia. Dialah wanita yang cukup kuat dari segi penyerangan.Aku melancarkan tendangan bertubi padanya. Saat itu, aku mengenakan pakaian olahraga, jadi sangat memungkinkan untuk melakukan penyerangan. Kekuatan penuh yang kumiliki, sengaja kutumpukan pada tungkai kanan, agar lawan di depanku tidak bisa berbicara apa apa lagi.Niat awal ingin membuat lawan terkesan, malahan berakhir apes. Tendangan yang selama ini sering kupakai untuk melawan para orang jahat, tidak mempan pada gadis pirang itu. Necia sangat sulit dikalahkan. Sudah berulangkali aku mendapatkan peluang untuk mengenai pusat sasaran, tetapi dia tak kunjung tumbang.Bug!Tinju kerasnya mengenai bagian perutku. Aku tersungkur ke lantai putih, dekat kakinya. Pergerakan tubuhku dikunci, dengan kedua tanganku ditahan olehnya, di belakang punggung. Aku kesulitan melakukan pergerakan."Mulai sekarang, jauhi Lucer! Atau kalau kamu masih gatal sama dia, aku tidak akan segan-segan untuk menghabisimu," ancamnya sadis. Wajahnya tampak seram. Poninya berantakan seperti habis dikeroyok massa.Aku menjawab untuk mengamankan diri, "Ya, aku akan menjauhinya.""Bagus, Anak pintar."Necia menempelkan kepalaku di lantai yang terasa dingin. Aku meringis kesakitan, tetapi dia tak juga memberi ampun untuk melepaskanku. Kapan dia akan merasa puas dengan penyiksaan itu? Apa yang dia lakukan sudah lebih dari sekedar bully. Aku akan membalas semua perlakukan buruk itu kelak."Aku nggak akan menyerah, meski rasa sakit inilah yang akan membunuhku!" ucapku dalam hati.Aku benci dengan Necia. Hidupnya penuh dengan kepura-puraan. Apakah dia tidak pernah lelah pada dunianya yang berjalan semu itu? Aku meremukkan beberapa kertas penuh coretan tinta. Kemudian, membuangnya ke kotak sampah. Sambil memijit pelipis, aku mencoba untuk mengingat kembali pernyataan Lucer, beberapa jam sebelumnya."Emang benar ya, kamu itu seorang penipu handal. Kalau buaya darat cari mangsa, ya gini, nih." celotehku tanpa rem."Nggak," ujarnya dingin."Ya, nggak salah lagi, kan? Kalau emang kamu beneran setia. Terus siapa Si Necia?" Aku berkata seakan aku dan Lucer telah berpacaran. Tingkat kepercayaan diriku meningkat, ketika berada di dekatnya."Cuma temen.""Ini seriusan, kan? Kalau gitu, boleh dong aku daftar jadi ...."Belum selesai ucapanku, Lucer langsung menjawab, "dan dia juga masih berpeluang untuk menjadi kekasih."Siapa yang tidak hancur mendengar kejujuran dari bibir pria itu? Selama ini, aku belum pernah merasakan penolakan di dalam hidup. Lucer adalah satu-satu
"Pergilah, Nak! Jangan pernah menoleh ke belakang lagi!" Ibu melepaskan genggamannya perlahan. "Jangan pernah kembali ke sini! Teruslah hidup demi marga keluarga kita!"Aku jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam. Wajah penuh guratan keriput, berpoleskan make up natural itu menghilang, di balik kegelapan yang mencekam. Bayangan wanita paruh baya ... werewolf di belakangnya ... tangisan darah, semuanya menghancurkan impian kami.Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba, latar belakang tempatku terjatuh telah berubah, menjadi sebuah rumah besar lima tingkat. Aku berlari secepatnya, melawan kencangnya badai angin. Ya, aku kembali mengingat peristiwa kelam itu. Jangan sampai telat lagi!Aku berjalan lurus, melewati beberapa tiang-tiang besar. Kemudian, berhenti di lantai pertama. Kepalaku sakit. Aku tertunduk sayu, setelah menatap nanar lukisan keluarga bahagia, di dekat jam dinding. Wajah-wajah penuh senyuman, menghilang, dan entah bagaimana bisa mengembalikannya.Langkah kakiku gontai seakan ta
"Kenapa datang pagi-pagi, sih, Lucer!? Nggak lihat apa orang mandi aja belum?" gerutuku kesal pada pria yang ada di sampingku.Hari itu, aku memutuskan untuk tidak berangkat sekolah, dan sudah mengirimkan surat izin tidak masuk. Namun, Lucer sok rajin menjemputku, hingga membuatku kewalahan mengenakan seragam. Siapa yang tidak kesal? Dia datang pada pukul detik-detik, sebelum bel sekolah berbunyi. Dia tahu resiko, jika seorang siswa terlambat. Ya, hukuman adalah hal yang paling kubenci.Aku merasa dia tidak sepenuhnya jahat. Pikiranku sebelumnya yang menyatakan bahwa, Lucer adalah manusia serigala sepertinya salah. "Kamu nggak pernah cerita, kalau kamu alergi daging. Hahaha. Aku kira kamu itu makhluk jadi-jadian kayak di film-film." Aku meletakkan kotak bekal ke dalam tasnya."Jangan terlalu percaya pada mitos!" serunya, masih dengan tatapan yang sama. Datar.Dia juga bukanlah seorang vampir. Suhu tubuhnya sama seperti manusia kebanyakan. Mungkin asumsi bahwa, dia akan berubah menja
"Oh, jadi ini rumahnya Si Lucer," gumamku seraya berjalan lebih dekat, ke arah sebuah rumah besar di seberang sana.Kukira di tepian Selatan Hutan Valarie tidak ada yang namanya rumah. Buktinya, kediaman bak istana milik Keluarga Ford berdiri megah. Di pekarangan rumahnya terdapat dua buah air mancur. Patung serigala besar ada di tengah-tengah, menuju jalan masuk.Aku dibuat takjub dengan berbagai keindahan tempat seseram itu. Rumah miliknya, bahkan lebih besar dari tempat tinggalku. Kaca-kaca yang tertutup rapat oleh gorden hitam pekat dibuka satu per satu oleh para pelayan.Baru menapakkan kaki jenjang di sana untuk yang pertama kali, aku sudah disambut besar-besaran layaknya karnaval untuk sang tuan putri. Seorang pria kekar yang berpenampilan sederhana memintaku masuk ke dalam rumahnya.Ayah Lucer–Tuan Liam, sangat jauh berbeda dari yang disampaikan oleh anaknya. Dia tidak terlihat sangat menyeramkan, sebaliknya tampak sangat ramah. Aku diberikan secangkir teh, dengan wewangian kh
Kutancapkan beberapa kayu kecil dengan bendera di ujungnya. Pernyataannya tempo hari begitu menyebalkan. Namun, aku tidak akan pernah menyerah. Jika aku gagal, tentu masih bisa mencobanya lain kali. Beda lagi ceritanya, kalau aku memilih berhenti."Aku anggap kamu itu cuma atasan, dan sebagai teman satu kelompok," ujarnya saat itu. Betapa sakitnya hati kecilku, setelah mendengar perkataannya. Kucoba untuk tegar menjalani segalanya. Mungkin, suatu hari kelak, dia akan berubah.Hati wanita yang telah terpaut pada seorang lelaki, akan sulit untuk mencari yang lain lagi. Apa yang dirasakan oleh benak, terkadang terhalang oleh lisan. Mulutku ingin mengungkapan perasaan, tetapi ragu jika ia mengatakan hal yang sama; membalas cintaku.Kuletakkan ribuan harap, pada ia yang mungkin tak 'kan pernah bisa mengerti segala lara. Usaha yang belum menghasilkan cinta, kuredam di dalam rongga dada. Menyerah bukanlah kosa-kata penting dalam hidupku. Aku ingin sekali mendekapnya sambil berterus-terang,
Seisi Kota Aluna dihebohkan oleh fenomena aneh yang terjadi, semenjak beberapa minggu belakangan. Bulan darah (blood moon) adalah keadaan di mana bulan–benda langit yang menjadi satelit bumi, tidak berwarna putih seperti biasanya. Orang-orang bilang, bulan darah adalah bulan berwarna merah pekat seperti kentalnya darah.Banyak penduduk Kota Aluna yang ingin menyaksikan fenomena langka itu. Kalau menurut pendapat Chel, bulan darah bukanlah bentukan alam; dia berkata golongan bangsa vampir, yang memanggil fase bulan aneh itu. Gadis lugu sepertinya, mungkin diberi asupan dongeng yang banyak oleh ibunya, sewaktu kecil. Makanya, otaknya selalu menyangkut-pautkan segalanya dengan mitos.Aku mengeledah buku-buku sejarah kuno di perpustakaan sekolah. Nona Kim yang mengurus masalah surat panggilan, memintaku untuk keluar sebentar. Keluar-masuk kantor sudah menjadi langganan. Entah mau jadi apa aku ini sebenarnya. Terlalu kaya, bisa ke mana-mana dengan mudah, tidak menjamin kebahagiaan sepenuhn
Aku tak berani melihat mata hitam pekat milik Lucer. Pria yang duduk di sampingku hanya membeku, seperti tak ingin sekali bicara padaku. Ya, mungkin dia masih marah, karena ulahku di gudang.Ketika orang yang disukai tak merespon, pastinya hati sangatlah gelisah. Aku dilanda oleh dorongan, agar mau meminta maaf padanya. Mencintai orang yang tak banyak bicara ternyata sesulit itu, ya?"Baiklah, Anak-Anak, kita mulai saja materi gabungan kelas sekarang. Silahkan buka halaman lima belas sampai tujuh lima."Seisi kelas nampak melongo. Beberapa di antaranya berkata, "Tumben banyak banget tugas nyatatnya." Suasana kelas materi biologi gabungan, gaduh. Siswa-siswi yang rata-rata dari kelas B terlihat mengeluh, dengan tugas yang diberikan oleh Mr. Sei.Aku menoleh ke samping–pada seorang gadis berambut pirang bergaya wavy high volume. Mata peraknya menjadi warna terburuk. Aku ingin mengawasinya, tetapi gadis itu cepat sekali peka–sadar dengan kehadiranku."Kenapa lihat-lihat?" Necia bertanya
"Siapa yang membakar semua buku-buku di perpustakaan sekolah?" Chel berbisik-bisik, dengan sangat dekat pada telinga kananku. Aku menutup mulut gadis itu, lalu menjauhkannya dari daun telingaku. "Tempat ini bukan hanya dibakar. Kamu tahu, kan, maksudku?"Gadis yang mengenakan baju olahraga berwarna merah muda itu nampak menggeleng. Jika soal materi, dia hafal semua dari huruf A sampai Z. Namun, ketika berhadapan dengan kasus di sekolah, dia malah tidak koneksi."Jangan berkerumunan, Anak-Anak! Segera masuk ke kelas kalian!" Pak Tiyo berteriak, memerintah sambil memegang rotan panjang berukuran setengah meteran.Aku menarik lengan sahabatku, tak ingin lebih banyak terkena masalah, karena tidak mendengarkan perintah guru BK. "Ayo, kita pergi, Chel!"Sebuah taman yang di tengahnya terdapat air mancur berbentuk simbol pisces, kami berada cukup lama di sana. Kelas kami mengalami hal yang buruk. Bangunan yang baru dicat beberapa hari sebelumnya, hari itu, malah hancur seperti ditabrak sesu