Share

Bapak Pake Lip Balm?

Sampai di rumah, aku berjalan menuju dapur lalu meletakkan madu pesanan mama di dalam kabinetnya dan masuk ke dalam kamar.

"Maaf, ya. Saya pulang telat, tadi habis ke rumah Ibu," ucapku pada Adnan yang duduk di bibir ranjang. Mungkin dia menunggu kedatanganku.

"Aku juga minta izin untuk renovasi rumahnya terus kasih uang," sambungku sambil mendudukkan tubuhku di sampingnya.

"Makasih ya, udah mau rubah kehidupan gue."

 Adnan membuka suaranya. Aku mengganggukkan kepala sambil tersenyum lembut padanya.

"Saya mandi dulu." 

Aku berjalan menuju lemari untuk mengambil baju ganti lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Setelahnya, kami melaksanakan salat magrib lalu makan malam. Aku membicarakan perihal untuk mengisi rumah baru yang akan kutempatkan bersama Adnan. Hanya berdua, lalu perihal renovasi rumah untuk sesegera mungkin.

Papa mendukung niat baikku, aku tersenyum bahagia bisa menolong keluarga istriku.

 Malam ini, aku dan Adnan duduk di belakang rumah sambil menyeduh teh hangat, sementara Adnan hanya minum air mineral yang dingin.

"Apa kamu gak keberatan kalau saya bawa kamu ke rumah baru kita, 'kan?" tanyaku basa-basi.

"Tidak."

"Saya tadi kasih ke Ibu uang lebih dari 50 juta, untuk pegangan mereka beberapa bulan ke depan."

Adnan melongo melihatku, ada yang salah? Pikirku.


"50 juta?" tanyanya menatapku heran.

"Lebih 50 juta. Sekitar 70 mungkin," jawabku enteng.

"Apa itu tidak memberatkan?" 

Aku menggelengkan kepala sambil menyeduh teh lalu meletakkan cangkir itu di atas meja.

"Per bulan, saya mengeluarkan gaji lebih dari 70 karena kantor lagi sibuk dengan properti model baru. Banyak peminatnya dan alhamdulillah," jawabku sambil tersenyum.

"Lalu, masalah rumah baru itu. Apa jauh dari kantor?" tanyanya.

"Tidak, cuman 24 kilometer aja sampai. Kalau dari sini emang jauh. Butuh waktu 1 jam untuk sampai ke sana," jelasku menatap wajahnya yang diterangi bulan purnama malam ini.

"Uang itu tidak akan habis untuk jajan Chaca sebulan, pulsa listrik sama peralatan dapur. Kamu tenang aja, saya lebih semangat kalau kamu menikmati gaji saya."

Netra kami bertemu saat aku mengucapkan kata-kata yang menenangkan untuk Adnan. Mungkin ia berprasangka bahwa aku merepotkan mereka dengan uang. Tapi, itu tidak selama aku mencintainya.

****

1 jam kami menghabiskan malam ini dengan berbicara, aku sedikit tahu masa lalu Adnan. Di mana ia harus kehilangan seorang laki-laki yang ia cintai tanpa syarat, Husein meninggal karena kecelakaan tragis. Adnan sangat terpukul, tapi seorang laki-laki memberinya pekerjaan selama 7 hari lalu aku meminangnya.


"Ayo, tidur. Suhunya makin dingin."

 Aku menarik tangan Adnan masuk ke dalam rumah menuju kamar.

Saat aku memakai perawatan wajah, Adnan hanya menatapku yang sedang sibuk di depan cermin.

"Kenapa?" tanyaku sambil mengaplikasikan cream ke wajahku.

"Aneh aja," jawabnya.

"Kamu tahu, kalau laki-laki juga harus merawat wajahnya. Bukan perempuan saja," ocehku.

"Bapak pake lip balm?"

Aku menoleh ke arah Adnan.

"Kamu kalau manggil saya 'Bapak' saya berasa tua tahu," gerutuku sambil memakai lip blam yang sama dengan dipakai Adnan.

"Lalu?"

Aku meletakkan lip blam itu di atas meja lalu berjalan mendekatinya.

"Sayang, Baby, Mas, Ayang, Suami, Chagi, Sarang," tuturku sambil mengedipkan mata berkali-kali.

"Ah." 

Adnan mendesah kasar lalu berjalan mengitari ranjang lalu merebahkan tubuhnya di ranjang menghadap dinding.

Sementara aku mengembuskan napas pelan lalu menyusul Adnan seraya menatap punggung mungilnya.

 Ingin sekali aku menyuruhnya untuk berbalik badan dan menghadap ke arahku agar aku bisa menatap wajahnya sampai aku puas dan menyusulnya ke alam bawah sadar.


"Udah tidur?" 

Aku mengangkat kepala lalu beringsut pelan menatap matanya yang sudah tertutup rapat. Sudah tidur? Cepat sekali.

Aku menatap jendela yang diguyur air dengan deras.  Aku meraih remote pendingin ruangan lalu menurunkan suhunya.


Duar!

Suara petir itu membuatku sedikit terkejut ketika meletakkan remote itu di nakas apalagi Adnan dengan kasarnya memeluk tubuhku dan menindihku.


Tig!

Listrik padam membuat pelukannya semakin erat. Astaga, aku bisa mati muda kalau begini.


"Ad ..." Aku menepuk lengannya yang meremas kedua bahuku.

"Lampunya mati," rengeknya.

"Iya, saya ambil lampu emergency dulu." 

Aku mencoba untuk bangun, tapi tidak bisa karena Adnan tidak memberiku ruang.

"Adnan," ucapku lalu ia mengurai pelukannya, aku mengambil ponsel lalu berjalan menuju laci meja kerja untuk mengambil lampu emergency.

Aku menghidupkan lampunya lalu meletakkan benda itu di nakas menghadap ranjang.

"Udah terang. Ayo, tidur." 

Aku menuntunnya kembali ke ranjang karena tadi Adnan mengikuti langkahku sambil memegang ujung kaosku.


Tok ... tok ... tok ....


"Gimana keadaan kalian?!" teriak mama di depan pintu kamar.

"Baik, Ma. Tenang aja!" Aku berteriak lalu tak ada sahutan darinya. Mungkin ia sudah meninggalkan kami.


Duar!

Petir itu kembali terdengar diiringi dengan cahaya kilat di tirai jendela. Untung saja tirainya tebal jadi tidak terlalu jelas hingga cahaya tersebut menembus dinding kamar.

Aku menatap Adnan lalu merengkuhnya ke dalam pelukanku. Dapat kurasakan bahwa tangannya berkeringat dan gemetar. Aku meletakkan tangannya tepat di dadaku sambil menepuknya pelan.

"Tenanglah," gumamku seraya menghirup aroma sampo di surai hitamnya.

"Rambut kamu wangi banget, kamu ganti sampo, ya?" tanyaku mencairkan suasana.

"Iya, pake sampo punya Cinta," jawabnya.

Aku semakin mengeratkan pelukannya sambil menepuk bahunya agar ia segera terlelap.

30 menit kemudian, aku meletakkan kepalanya di bantal karena bahuku sedikit kebas menahan kepalanya yang berat. Hujan belum reda dan listrik juga padam.

Aku berjalan keluar kamar menuju kamar lalu melihat mama, papa dan Cinta sedang duduk di ruang televisi.


"Kok belum tidur?" 

Aku menuruni anak tangga mendekati mereka.

"Kak, kok di tinggal Kak Adnannya?" Cinta menatapku sambil memeluk gulingnya.

"Udah tidur," jawabku.

"Nanti kalo hujannya reda, kamu panggil petugas PLN, ya. Suruh periksa kabelnya."


Aku menganggukkan kepala tanda mengerti apa yang papa perintahkan padaku. Kami berbincang-bincang di ruang televisi membicarakan masalah kantor dan negara mana yang akan kami kunjungi untuk bulan madu.

"Nanti dulu lah, Pa. Semuanya butuh waktu."

 Aku kembali menolak tawaran mama yang menginginkan kami berbulan madu ke Swiss.

"Mama mau gendong cucu, Sayang," goda mama padaku. 

Aku hanya diam sambil memijat pelipis, rasa pusing kembali menyerang karena memikirkan hal itu.



Kami terkejut mendengar suara tangisan Adnan dari kamar. Aku mengambil langkah seribu lalu melihatnya yang sudah terduduk di ranjang sambil menyembunyikan kepalanya di balik selimut.

"Hei, saya ada di sini."

Adnan mengangkat kepalanya lalu berhamburan memelukku. Aku menerima pelukannya dengan rasa iba dan bersalah. Kukira dia tidak akan bangun. ternyata dugaanku salah.

"Saya tutup pintu dulu." 

Aku berjalan menuju pintu lalu menutupnya tak lupa untuk menguncinya dengan rapat. Aku memposisikan tubuhku tepat di sampingnya seraya menengakannya yang sedang segukan.


"Kenapa ditinggalin sih," ucapnya menatapku.

"Maaf, saya tadi mau lihat Cinta, tapi semuanya pada ngumpul di depan. Saya kira kamu gak akan bangun karena tidur pulas," terangku seraya meletakkan ke dada bidangku yang nyaman.

"Lampunya belum nyala?"

"Belumlah, hujannya belum reda. Gak mungkin petugas PLN perbaiki kabelnya waktu hujan gini," balasku.

"Tidur." 

Aku memejamkan mata sembari membacakan ayat-ayat doa sebelum tidur. Sekilas, aku mencium pucuk kepalanya agar ia tenang.


****

Pukul 2 dini hari, listrik sudah menyala. Aku meletakkan Adnan dengan hati-hati lalu mematikan lampu emergancy dan lampu utama. Aku berjalan ke kamar mandi untuk melaksanakan salat tahajjud sendirian.

Setelah selesai, aku kembali berbaring di samping Adnan yang membelakangiku. Di luar, hujan tetap turun, tapi tidak sederas semalam.

"Dalam hati, aku selalu berdoa agar kamu membukakan hatimu untukku. Aku tidak minta balas budi dari apa yang sudah aku lakukan."

 Aku bergumam menatap surai hitamnya dan memejamkan mata.

****

Pagi ini, aku tidak melihat Adnan di sebelahku. Ke mana gadis itu? Apa dia kabur?

Aku menyibakkan selimut dengan kasar lalu berjalan dengan terburu-buru ke dalam kamar mandi. Tidak ada. 

Aku keluar dari kamar menuju dapur juga tidak ada orang di sini. Bi Minah--Asisten Rumah Tangga juga belum datang karena ini masih pagi. Tapi, netraku teralihkan dengan pintu belakang yang tertutup tidak rapat.

Ternyata gadis itu tengah berdiri di atas rumput hijau sambil memandangi bunga-bunga yang bermekaran dan cantik. Pantas, Mamalah yang merawatnya sampai sekarang.

"Saya kira kamu kabur." 

Aku melangkahkan kaki mendekatinya.




Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status