Share

Chapter 06

Semilir angin menerbangkan rambut Aldrean yang sudah memanjang, kini sudah hampir separuh hutan tempatnya tinggal di gunduli oleh manusia-manusia yang sangat serakah. Bahkan ada beberapa pendaki yang menulusuri hutan dan berujung singgah di tempat mereka. Desas-desus penduduk tersembunyi di pedalaman hutan sudah mulai terdengar dari telinga ke telinga, untungnya saja setelah salah satu pendaki tersesat itu tidak ada lagi manusia yang bisa masuk kedalam lingkungan penduduk Aldrean.

“Kemarin di atas pohon, sekarang di pinggir jurang. Lo niat bunuh diri, ya, Dre?”

Gamma mengagetkan Aldrean yang tengah larut dalam pikirannya, hampir saja dirinya terjatuh ke dalam laut yang berada tepat di bawah kakinya. Adik satu-satunya ini selalu membuatnya kesal setiap kali bersamanya, emosinya tiba-tiba memuncak hanya dengan kehadiran Gamma saja.

Aldrean berjalan meninggalkan Gamma menuju hutan, Adiknya mengikuti terus ke mana saja Aldrean berjalan. Hingga Aldrean mulai melangkahkan kaki tepat di perbatasan antara dunianya dan dunia manusia. Gamma menahan lengan Aldrean agar tidak terlalu melangkah lebih dalam lagi.

“Bro, bro. Lo serius? Kita perlu izin, gue nggak mau kena masalah karna lo.”

Dengan sangat dinginnya Aldrean melirik Gamma dan berkata, “Gue gak nyuruh lo ikutin gue.”

Gamma masih menahan lengan Aldrean, dia sama sekali tidak ingin Aldrean terkena masalah karena dirinya. Dia tahu sendiri kenapa Kakaknya bersikap seperti ini, tapi dia sendiri tidak bisa menahan nafsu untuk mengerjai Kakaknya.

“Dre, Ayah bakal marah sama lo kalau lo tetap keras kepala.”

“Gak usah urusin gue, lo pulang aja.”

“Dre!” serunya.

Gamma mencengram pergelangan tangan Aldrean agar dirinya mengerti betapa khawatirnya dia mengingat melanggar perjanjian antar kaum itu adalah hal yang sangat mengerikan.

“Lo lupa, Gam? Kalau gue punya hak untuk masuk dunia mereka tanpa izin?” jelas Aldrean dengan dingin.

Aldrean melepaskan cengkraman tangan Gamma dan berjalan terus menuju selatan hutan di mana dunia manusia mulai mendekati kawasannya, Gamma hanya menatap Aldrean dengan sendu. Perkataannya benar, dia lupa kalau Aldrean tidak sepertinya. Tidak terkekang dengan apapun atau terikat dengan siapapun. Tapi, kebebasan itu selalu membuat Gamma merasa terasingkan, hanya dia diantara keluarganya yang tidak bisa seenaknya melakukan apapun. Bahkan untuk mengambil keputusan atas dirinya sendiri saja dia membutuhkan persetujuan Aldrean atau Ayah-Ibunya.

***

‘Sial. Untuk apa gue datang ke sini. Lihat kerusakan yang mereka buat? Naif banget lo, Dre.’

Aldrean terus berjalan melintasi jalan beraspal yang memisahkan kawasan hutan dengan perumahan-perumahan perdesaan. Jalanan ini terlihat baru, hanya berjarak beberapa meter dari perbatasan. Dia terus berjalan ke arah pohon-pohon yang terlihat sengaja tidak di tebang untuk membuat benteng perlindungan dari jalan aspal yang Aldrean tapaki.

Pohon-pohon tinggi itu seakan mengatakan bahwa tidak ada apapun di balik tumbuhan yang menulang tinggi itu. Aldrean sudah melewati pohon-pohon itu dan di lihat sekelilingnya di penuhi oleh manusia-manusia yang saling berbagi dan menolong sesamanya.

‘Tidak seburuk yang Ayah bicarakan.’

Banyak sekali warga yang saling menyapanya dan berkata bahwa dirinya pasti berasal dari tempat yang jauh lalu menyuruhnya untuk beristirahat, Aldrean disuguhi dengan berbagai macam makanan yang manusia-manusia itu bawa ke dalam salah satu rumah di desa tersebut. Keningnya berkerut saat semua makanan tersaji di depannya, dia melirik kaum manusia itu satu persatu. Kenapa dia tiba-tiba tersambut seperti ini? Apa ada sesuatu hal yang mereka inginkan darinya? 

Pikiran-pikiran curiga di kepala Aldrean terus bergentayangan, dia tidak bisa mempercayai apapun yang dia lihat di depan matanya walau mereka bersikap baik seperti ini.

Dilihat dari ujung sebelah kiri sampai ujung sebelah kanan mereka semua tersenyum ramah seakan menyambut orang yang sangat mereka tunggu dari sekian lama. Aldrean terdiam kaku, dia tidak tahu ekspresi apa yang harus di tunjukkan kepada mereka. Apakah tersenyum ramah seperti mereka atau cuek saja.

“Daging...?”

Aldrean tidak sengaja menggumamkan sesuatu saat dia melirik seluruh meja makan yang penuh dengan berbagai macam hidangan berdaging. Pilihan yang dia pilih adalah tetap terdiam walau manusia-manusia di hadapannya terus bertanya dan bersyukur atas kedatangannya.

“Tenang saja, Tuan. Yang terhidang di depan mata Tuan adalah hasil buruan kami yang terbaik, daging Rusa yang baru saja kami buru.”

Aldrean mengerutkan keningnya kepada wanita muda yang terus menjelaskan setiap menu di hadapannya dengan kagum dan penuh harap, lalu pandangannya teralih saat seseorang berkata bahwa Tetua ingin bertemu dengan Aldrean.

“Sudah lama sekali, Tuan.”

Manusia-manusia yang berkerumun di dekat Aldrean sedikit demi sedikit mengundurkan diri dan meninggalkannya bersama dengan pria yang sudah sangat berumur. Pria itu duduk tepat di depannya dan tersenyum dengan ramah, Aldrean membalas senyuman itu tanpa sadar. Aura yang pria tua itu keluarkan membuat Aldrean tenang dan takut jika dia tidak mendengarkan semua perkataannya.

“Sudah lima puluh tiga tahun berlalu sejak saat itu. Tapi, bagi Tuan hanya seperti hari esok sejak hari itu.”

Aldrean terganggu dengan kata ‘Sejak hari itu’ yang pria tua itu sebutkan dua kali, tidak sengaja Aldrean mengulangi perkataan pria tua di hadapannya.

“Sejak hari itu?”

“Iya. Ternyata anda tidak berubah sedikitpun, hanya rambut yang bertambah panjang.”

Perkataan pria tua itu terdengar janggal dan tidak dapat di mengerti oleh Aldrean, pria itu hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Aldrean, bahkan pertanyaan itu adalah kalimat pertama yang di ucapkan oleh Aldrean sejak masuk kedalam kawasan mereka.

“Makanlah, semoga Tuan suka dengan hidangan kami.”

Aldrean mengangguk dan mengambil salah satu hidangan di depannya dengan lengan kosong dan memakannya dengan sekali lahap. Pria di depannya terkekeh kecil memperhatikan Aldrean makan, bahkan Aldrean sendiri bingung dengan manusia-manusia yang sudah kembali bermunculan untuk melihatnya.

“Kami bisa siapkan garpu dan pisau jika Tuan ingin memakainya.”

Aldrean mengerutkan kembali keningnya, ‘Garpu dan pisau katanya? Bukankah memang seperti ini cara mereka makan?’ Seakan mengerti apa yang Aldrean bingungkan, pria itu berdiri dan membawakan sendok, pisau, serta garpu lalu tersenyum seraya menjelaskan apa yang Aldrean bingungkan.

“Kami dan kaum Tuan sama saja, hanya berbeda dalam segi kekuatan dan kekuasaan. Tentu saja Tuan tetap tidak bisa berlaku seenaknya di sisi kami.”

Ekspresi puas terpampang jelas diwajah Aldrean, dia mengangguk beberapa kali lalu melanjutkan acara makannya. Terlihat jelas bahwa Aldrean sangat menikmati jamuan mereka, tidak bisa di sangkal bahwa makanan buatan para manusia itu membuat Aldrean tidak bisa berhenti mengunyah.

 Semua perkataan Reymon yang membenci kaumnya sangat berbeda dengan kenyataan yang berada di hadapan Aldrean, bahkan dia merasa nyaman sekali saat berbincang dengan Ketua Desa ini. Dia merasa sedang berbincang santai dengan Ayahnya sendiri.

***

Perpustakaan, lorong history dengan rak buku bagian kiri yang di penuhi tentang makhluk-makhluk mitologi. Dari sisi kanan terpampang jelas buku tentang Vampire makhluk berwujud manusia tanpa sisi kemanusiaan yang haus akan darah, dari cover bukunya saja terlihat jelas bahwa paras Vampire selalu membuat para manusia entah itu pria atau wanita terpikat kepadanya.

Gigi taring tajam yang mereka punya mampu merobek daging manusia seperti Sang Legendaris Raja Hutan; Harimau. Kulitnya yang seputih pasir akan tersinar dan terbakar jika terkena sengatan sinar matahari. 

Adriana membaca judul buku-buku tersebut satu persatu seraya menunggu Ghina mencari sejarah kaum Werewolf yang Adriana sendiri yakin kalau sahabatnya itu tidak perlu lagi membaca buku untuk mengetahui seluk-beluk makhluk tersebut mengingat setiap waktu Ghina selalu menjelaskan dengan panjang lebar tentang siapa mereka.

“Hmm, Dracula ... perbedaan antara Vampire dan Dracula itu apa, Ghin? Apa karna Dracula terkesan lebih kolot dari pada Vampire?” tanya Adriana penasaran.

Pandangan Adriana masih tertuju pada satu buku yang berjudul ‘Dracula’, dia mencoba mengambil buku tersebut dan membaca sekilas isi dari buku tersebut. Ghina sama sekali tidak tertarik dengan bahasan Adriana, buktinya saja Ghina hanya menjawab pertanyaan panjang dari Adriana dengan kalimat, “Enggak tahu dan gak peduli.”

Adriana menatap sekilas Ghina yang sama sekali tidak meliriknya, jawaban singkat Ghina membuat Adriana sedikit kesal. Dia kembali membaca buku-buku tetang Vampire yang berada di hadapannya, matanya sedikit menyipit saat melihat kalimat yang baru dia ketahui tetang dua kaum mitologi itu.

“Hm... Ghin? Di sini tertulis kalau Werewolf dan kaum peminum darah itu sangat membenci satu sama lain, bisa di bilang musuh alami.”

Ghina melirik Adriana dengan tatapan bingung, dia sudah mengetahui tentang Vampire yang notabene-nya musuh dari kaum Werewolf, tapi kata terakhir Adriana membuat Ghina mengkerutkan  keningnya.

“Musuh alami? Gue baru denger kata gituan, lo sakit, Ya?”

“Enggak, gak gitu. Gini, lho. Mereka kan udah saling benci dari awal, aku gak tahu mereka saling benci karna apa, makannya aku namain mereka musuh alami. Ya, karna terjadi gitu aja,” jelas Adriana dengan lucunya.

Ghina mencubit pipi Adriana dengan gemas, penjelasannya yang seenaknya membuat Ghina kesal juga gemas, jujur saja Ghina tidak mengetahui tentang apa yang terjadi sampai mereka saling membenci satu sama lain juga tidak ingin tahu alasannya kenapa, tapi penjelasan Adriana benar-benar out of the box sekali sampai-sampai Ghina saja takjub mendengar penjelasannya.

“Ya udah, baca yang banyak tentang mereka. Kalau ketemu alesannya apa, nanti tinggal ceritain ke gue kenapa. Gue mau ke ujung, cari buku keluaran baru,” ujar Ghina.

Adriana mengedarkan pandangannya dan mengerutkan dahi. “Bukannya semua buku tentang Werewolf udah kamu baca semua, ya? Bahkan buku terjemahan yang baru sampai kemarin sore udah kamu baca juga.”

Ghina tersenyum lima jari dan berjalan mundur ke belakang seraya melihat Adriana. “Bukan Ghina namanya kalau gak gue periksa lagi.”

Adriana menghela napasnya pasrah, itulah Ghina. Dia menjelaskan perihal dirinya dengan baik sekali. Memang bukan Ghina namanya kalau dia belum membaca buku tersebut sampai berkali-kali. Adriana sendiri masih tidak paham dengan kepuasan Ghina yang mengharuskannya membaca sampai berulang kali. Mau di baca ratusan kalipun isinya tidak akan berubah sama sekali.

“Kata-kata yang unik.”

Ghina mematung kaget mendengar suara pria yang bergumam di belakangnya, “Kamu bilang sesuatu, Ghin?” tanya Adriana.

Dia tidak melirik sama sekali ke arah Ghina seperti memang tidak ada hal menarik yang terjadi, temannya itu masih sibuk membuka lembaran-lembaran buku mengenai Vampire sedangkan Ghina sendiri masih kaget dengan kehadiran sosok pria yang kini berada di sampingnya. Kenapa dia tiba-tiba datang dari belakang? Pikir Ghina.

“Kenapa—”

“Perasaanmu saja, Sweetheart.”

Ghina semakin bingung dengan pria yang sama sekali tak di kenalinya itu, dia bukan tersinggung dengan kata ‘Sweetheart’ di akhir kalimat yang pria itu ucapkan tetapi dengan jawaban dari pertanyaan yang belum Ghina tanyakan sepenuhnya.

‘Jangan-jangan dia bisa baca pikiran gue lagi,’ ucap Ghina dalam hati.

“Iya, memang benar.”

“Ha, ha. Pasti gue yang halu, mana mungkin manusia bisa baca pikiran orang tanpa cela sedikitpun. Cuman kebetulan, kan?” tanya Ghina pada pria itu dengan nada pelan. Ghina tidak ingin Adriana menghampirinya sebelum dia tahu siapa pria di depannya ini.

“Kalau gak percaya, kamu bisa tanyakan apapun tanpa mengucapkannya sama sekali,” tawar pria tersebut.

Ghina merasa tertantang dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan seputar makhluk mitologi yang sempat Adriana tanyai. Seakan mengerti apa yang menjadi pertanyaan di benak Ghina, pria itu membombardirnya dengan seluruh jawaban tanpa pertanyaan. Bahkan dia pun menanyakan sosok yang selama ini Ghina kagumi, sosok mitos yang tidak pernah bisa di nyatakan ada secara resmi.

“Berhentilah membaca buku aneh itu, semua hal yang tertulis di buku itu tidaklah benar. Ada beberapa informasi yang salah dan kurang tepat. Seakan kami adalah orang jahatnya,” ujar lelaki di akhir pertanyaan Ghina.

“Semua hal itu tidaklah nyata di sini ini,” lanjutnya.

Suara tamparan terdengar dengan jelas di telinga Adriana, dia menengok ke arah Ghina dan melihat seorang pria yang sedang tersenyum ramah kepada Ghina. Adriana dengan cepat mendekat ke arah Ghina dan menanyakan apa yang terjadi kepada Ghina maupun sosok pria di hadapan sahabatnya itu.

Tanpa menjelaskan apapun, pria asing itu pergi meninggalkan Adriana dengan pertanyaan yang masih menggantung. Ghina segera membawa sahabatnya keluar dari perpustakaan tanpa meminjam buku apa pun, seluruh penghuni perpustakaan yang sudah kenal betul dengan sosok dua gadis yang selalu mampir untuk meminjam buku di lorong history favorit mereka kini menatap heran karena tingkah mereka yang seperti dikejar makhluk halus.

“Ghin, apa-apaan, sih? Kamu kenapa? Lelaki tadi siapa?”

***

“Kali ini lo mau ngapain, Dre? Hanyut ke sungai?” tanya Gamma.

Pertanyaan Gamma kali ini tidak mendapat jawaban sama sekali seperti biasanya, Aldrean sedang memperhatikan air yang terus mengalir melewati kakinya. Gamma terdiam memperhatikan gerak-gerik kakaknya yang terus-menerus memperhatikan sesuatu di dalam air. Lalu, dengan cepat Aldrean meraih sesuatu di dalam air dan melemparkannya kepada Gamma. Dengan cekatan Gamma menangkap lalu membuangnya kembali saat menyadari apa yang sedang dia pegang.

“Lo gila, Dre? Buat apa lo mainin itu sih?!” kesal Gamma.

Aldrean melirik Gamma dengan dingin dan berkata, “Gue nyuruh lo simpen di keranjang sebelah lo, bukan lempar balik ke sungai.”

Gamma menatap Aldrean tidak percaya, “Kapan lo bilangnya coba?!” Dengan perasaan yang masih kesal, Gamma beranjak dan hendak menghampiri Aldrean. 

“Shut up!” seru Aldrean. Lagi-lagi Gamma tidak bisa membantah apa yang di ucapkan Kakaknya dan membuat dia kembali duduk menunggu lemparan ikan dari Sang Kakak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status