Pov Pandu**Lidya– satu-satunya perempuan di masa lalu yang kembali membuatku jatuh cinta. Setelah sekian lama tak pernah jumpa, akhirnya Tuhan mempertemukan aku dan perempuan di masa laluku. Perempuan yang mambuatku mengenal apa artinya cinta– untuk pertama kalinya. Masih teringat dengan jelas di dalam benakku, saat mau tak mau kita harus berpisah. Sungguh ... hal yang kita mimpikan sama. Membawa hubungan itu ke jenjang pernikahan. Namun harapan hanyalah suatu harapan. Hubungan kami harus kandas begitu saja karena tak ada restu dari orang tua Lidya. Sedih, kecewa melebur menjadi satu.Masih teringat dengan jelas saat-saat kedua orang tua Lidya menolakku. Menolak saat aku mengatakan niatku yang ingin melamar dan mempersunting putrinya. "Kamu lelaki miskin, mau di bawa ke mana masa depan Lidya jika hidup bersamamu?!" Begitulah satu kalimat yang terus terngiang di telingaku. Padahal aku tahu betul latar belakang keluarga Lidya pun tak jauh berbeda denganku– sama-sama dari kalanga
Pov Pandu***Aku, Lidya dan Mama berjalan menuju ke rumah. Mataku menyipit ketika netra ini melihat seorang perempuan bergaun merah tanpa lengan sedang duduk di sofa ruang tamu. Namun aku kembali terhenyak saat tangan Papaku melingkar di atas pundak perempuan itu. Bahkan terlihat dengan jelas pemandangan di depan mata saat mereka saling melempar senyum. Lelaki yang merupakan Papa kandungku itu sesekali menyentuh dagu perempuan itu. "Ndu, siapa perempuan itu?!" pekik Mama saat beliau baru saja melihat ada seorang wanita di dalam sana. "Nggak tau, Ma," lirihku. Kulirik Lidya yang hanya menatap ke arah mereka melalui jendela kaca yang tirainya pum masih terbuka. "Kenapa di larut malam seperti ini ada perempuan?" Kini nada suara Mama terdengar bergetar. Dengan langkah panjang dan cepat, bergegas Mama melangkah masuk. Brak!Pintu yang tak terkunci itu terhempas menabrak tembok saat Mama mendorongnya dengan keras. Kutarik tangan Lidya agar berjalan dengan cepat untuk menghampiri M
"Sudahlah, Ma .... Mungkin Papa sedang khilaf. Mudah-mudahan Papa akan sadar dengan kesalahannya. Mama yang sabar. Pasti Mama akan bisa menerima semuanya. Seperti yang Vita lakukan."Tiba-tiba Mama melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan tajam. Apakah ada yang salah dengan perkataanku? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Vita bisa menerima kehadiran Lidya dalam hitungan hari. Jadi begitu pun dengan Mama. Mama pasti akan bisa bersabar untuk sementara waktu seraya berusaha menyadarkan kembali Papa yang telah berselingkuh. Terasa Lidya menyenggol lenganku. Aku menatapnya, sedangkan Lidya terlihat melotot ke arahku. "Apa sih?! Bukannya benar yang aku katakan? Bahkan dengan terang-terangan aku minta izin nikah sama Vita. Tapi lihatlah Vita bisa nerima kamu. Kan Mama cuma diselingkuhin, bukan berati mau nikah lagi," ucapku menjelaskan apa yang ada di kepalaku. Lagi-lagi Lidya menyenggol lenganku seraya mata yang masih mendelik. "Ma ...," panggilku saat melihat Mama yang sedan
Saat langkahku semakin dekat, kedua orang lelaki yang sedari tadi berdiri di depan rumah itu langsung menoleh ke arahku. "Bapak kenapa ada di rumah saya ya?" tanyaku saat aku sudah berdiri di depan mereka. Kini hanya berjarak satu meter saja. Bukannya menjawab, kedua lelaki itu malah saling berbisik lalu melenggang pergi begitu saja tanpa permisi. Entah kenapa ada yang sedang tidak beres saat ini. Kedua orang itu masuk ke dalam mobil yang terparkir di bahu jalan– tepat di depan rumahku. Ketika mobil itu telah melaju, aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. "Ma ... kita sarapan, yuk," ucapku saat melewati kamar Mama. Tanpa menunggu jawaban bergegas aku melangkah menuju ruang makan dengan membawa tiga bungkus makanan tersebut. Luletakkan makanan itu di atas meja. Kedua netraku menangkap Lidya yang sedang berdiri seperti sedang membuat sesuatu. Dari aroma yang menguar, aroma kopi menerobos indra penciumanku. Aku berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah mengendap
Hanya membutuhkan waku tiga puluh menit untuk sampai di rumah Andi. Namun keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan saat melihat ada mobil yang sangat tak asing telah terparkir di halaman rumah itu. "Bukankah itu rumah milik kedua orang yang tadi berdiri di depan rumahku?" lirihku seraya berusaha mengingat kembali. Memastikan kalau aku tak salah tebak. "Ya, itu milik kedua lelaki tadi. Aku tak salah lagi," ucapku lagi. Akhirnya aku memutuskan memarkir motor di halaman lalu melangkah menapak ke lantai teras rumah. Rumah berlantai empat dan dipadupadankan dengan cat berwarna emas ini selalu terlihat sepi. Aku berhenti di balik pintu, lalu tanganku terulur memencet bel yang terpasang di sisi pintu. Aku berdecak kesal saat dua kali memencet bel dengan jeda yang lumayan lama namun tak kunjung ada yang membuka pintu. Kuulangi untuk memanggil penghuni rumah ini. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang membuka pintu dari dalam. Tak berselang lama terlihatlah so
Pov Pandu***Aku duduk di atas motor seraya jemariku memainkan benda pipih itu. Kubuka aplikasi berlogo telepon dan berwarna hijau itu. Tak butuh waktu lama untuk mencari nomor Andi. Lalu kupilih menu panggil.Tersambung.Bergegas kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku saat panggilan sudah diangkat olehnya."Halo, Bos. Ada apa?" tanya Andi dari seberang sana. "Kamu di mana?" tanyaku. "Di rumah. Ada apa?""Oh, baguslah kalau kamu udah pulang. Aku ke rumah kamu sekarang ya. Ada urusan penting yang ingin kubicarakan sama kamu," ucapku kemudian. "Pasti soal duit kan?" Aku tergelak saat mendengar tebakan yang dilontarkan oleh Andi. "Yaudah. Ke sini lah," perintah Andi. "Ok. Aku meluncur ke sana sekarang ya."Panggilan kumatikan. Bergegas kunyalakan motor maticku lalu kukendarai menuju rumah Andi. ****"Sebanyak itu, Ndu? Lah, yang dua puluh juta saja belum kamu kembalikan, malah sekarang kamu pinjam sebanyak itu," ucap Andi setelah kujelaskan apa tujuanku datang padanya.
Aku dan Andy melangkah menuju ke luar rumah mewah tersebut. Aku masuk ke dalam mobil, begitu pun dengan yang dilakukan oleh Andy. Temanku itu duduk di belakang kemudi.Kukenakan sabuk pengaman saat aku sudah menghenyakkan tubuhku di kursi. Sesaat kemudian terdengar suara deru mesin yang mulai menyala lalu mobil mulai bergerak. Bergerak dan bergerak, hingga akhirnya mulai melaju."Kamu sering datang ke sana, Ndi? Kok sepertinya Tante Zessy kenal dekat denganmu. Bahkan, saat baru saja melihatmu dia langsung menawarkan barang baru. Apa yang dimaksud barang baru itu seorang pel*cur?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Andy hanya terkekeh mendengar pertanyaanku. "Nggak perlu kujawab pasti kamu tahu lah jawabannya," ucap Andy sesaat setelah ia menghentikan tawanya. "Jadi benar kamu sering ke sana?" Masih dalam rasa tak percaya aku berucap. "Ya. Bisa dibilang begitu." Aku terhenyak mendengarkan pengakuan lelaki itu. Jujur, aku tak menyangka Andy sering menyewa perempuan di luar untuk
Aku melangkah kembali menuju kamar. Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum saat baru saja kubuka pintu, terlihatlah Lidya yang masih disibukkan oleh baju-baju barunya. "Bagus nggak, Mas?" tanya Lidya sesaat setelah ia menoleh ke arahku. Ia menyadari kedatanganku melalui pantulan cermin yang ada di depannya. "Bagus kok. Kamu itu udah cantik, pakai apapun tetap cantik," pujiku seraya melangkah ke dalam setelah kututup daun pintu. Langsung kupeluk tubuh itu dari belakang, kuletakkan daguku di atas pundaknya. "Kamu senang?" tanyaku yang dibalas anggukan secara cepat olehnya. "Sekarang giliran bahagiain Mas ya. Lagi pengen ...," ucapku. "Gampang lah itu, Mas. Oh ya, Mas, kok temen Mas itu gampang banget di pinjemin uang sebanyak itu? Apa dia benar-benar kaya?" Cepat kuangkat kepalaku dari pundak Lidya lalu melangkah ke arah ranjang. Sesekali kuusap hidungku, berusaha menetralkan degup jantung yang berdetak semakin kencang. Kuhenyakkan tubuhku di sudut ranjan