Share

part 7 lebih kejam

Vivian terbelalak mendengar ucapan suaminya. Seketika wanita itu merangkak mundur, berusaha menjauhkan diri dengan degup dada yang berpacu semakin cepat.

Bagaimana pun dia harus menemukan celah untuk pergi. Dia coba menoleh kanan kiri berharap ada sedikit ruang untuk bisa keluar, namun naas pria itu sudah menunjukkan seringai di wajahnya, senyum smirk has yang terukir, benar-benar mengingatkannya pada kejadian kelam beberapa hari lalu.

"Bodoh!" pekik Vivian dalam hati.

Set!

Max menarik lengan Vivian dengan kasar, menyeret wanita itu menuju toilet.

Bugh!

Vivian terbanting membentur dinding.

"Akh!"

Senyum puas terukir kembali di wajah Max. Tanpa ragu Max menekan shower hingga semburan air mengucur deras tepat di pucuk kepala istrinya.

Tubuh Vivian kini terasa sakit lagi. Perih dia rasakan di pergelangan tangan dan sedikit demi sedikit, luka itu mulai terlihat lagi. Memar ungu terlihat mengerikan menggenang di kedua pergelangan tangan.

"Ini..." gumam Vivian.

Apa yang wanita itu lihat dan rasakan, seketika menimbulkan percikan amarah.

"Aku benar, dia bukan orang yang baik, mama aku benar," gumam Vivian disertai tawa pahit.

Dia lihat wajah memuakkan suaminya dengan sorot penuh kebencian. Dan dengan kejamnya, pria itu menunjukkan pandangan tak suka melihat raut Vivian yang tak sesuai harapan.

Lantas Max mengambil shower mengarahkan semprotan air pada pucuk kepala istrinya lagi.

Semburan keras menghantam pucuk kepala. Rasa sakit di sekujur tubuh juga kian terasa, akan tetapi Vivian hanya bisa diam menerima, bersama derasnya air mata yang mengalir begitu saja.

"Tahan Vivian... Aku harus bisa menahannya," batin Vivian berusaha kuat.

Betapa bahagianya pria itu saat ini, tak henti menampakkan senyum bangga menikmati penderitaan sang istri. Namun tak cukup sebatas itu, batin kecilnya masih belum puas melihat Vivian hanya menderita seperti ini. Max menarik lengan Vivian menuju bath up, mengisi air hangat yang terasa cukup panas, memaksa Vivian untuk tunduk pada perintahnya.

Seketika wanita itu terbelalak. Apakah suaminya sudah gila? Tindakan Max sudah di luar batas. Air panas yang akan segera mengucur tepat di atas kepala Vivian bisa saja langsung membunuhnya.

"Jangan...tolong jangan...aku akan melakukan apa pun...jangan lakukan ini...tolong!" Vivian memohon, menarik sebelah tangan Max persis seperti seorang budak.

Padahal sedari tadi Vivian sudah berusaha menuruti keinginan suaminya. Namun semakin dia merasa takut bahkan memohon, Max malah semakin sering menunjukkan seringainya.

"Baiklah..." jawab Max dengan senyum yang sulit di artikan.

Pria itu menghentikan tindakan, kemudian pergi keluar mengurung Vivian sendiri dalam toilet.

Kini Vivian sedikit lebih tenang, Max sudah pergi meninggalkannya. Meskipun memang dirinya kini habis kuyup kedinginan, namun entah mengapa hilangnya Max dari pandangan terasa lebih baik dari kondisi yang dia rasakan.

Vivian sejenak melamun. Apa yang harus dia lakukan untuk pergi? Sembari memikirkan itu, matanya tertuju pada pintu yang masih tertutup. Perlahan dia menggerakkan kaki untuk keluar dari bath up namun...

Bak!

"Mau ke mana?" tanya Max menendang pintu sambil membawa sebuah kotak besar yang dia tenteng dengan kedua tangannya.

Vivian sontak terkejut. Dengan langkah cepat dia segera kabur, namun Max berhasil menghalau wanita itu dan menariknya kembali untuk tetap diam dalam bath up.

Max membuka isi kotak tersebut yang berisikan bongkahan es. Tanpa ragu sedikit pun, dia menuangkannya tepat di atas tubuh sang istri, merendamnya hingga mencapai dada.

"Max! Hentikan ku mohon!"

Vivian yang tak kuat menahan dingin, terus berusaha bangkit untuk kabur. Namun ketika Vivian meronta, pria itu selalu menenggelamkan kepala istrinya hingga seluruh tubuhnya terendam. Terus menerus seperti itu, hingga pada akhirnya, Vivian hanya bisa berusaha menahan rasa dingin yang hampir mematikan seluruh sarafnya. Tunduk diam hanya untuk beberapa menit saja.

Beberapa menit Max melihat istrinya yang diam tak bertingkah, dan saat ini Vivian sudah tak bisa lagi merasakan apa pun dengan tubuhnya. Wajah pucat pasi dengan gigi yang bergetar, Vivian coba paksakan untuk bertahan. Tak ada yang bisa dia lakukan, andai saja sekarang ajal akan datang maka itu akan lebih baik baginya.

Tring...

Suara dering ponsel terdengar dari luar. Max yang tengah menikmati derita sang istri, kini harus rela berhenti dan beralih pada ponsel yang membisingkan. Max keluar mengunci wanita itu sendiri dalam dinginnya suhu toilet.

Kini Max sudah hilang dalam pandangan. Vivian langsung beranjak dengan sempoyongan, mengambil shower kemudian mengucurkan air hangat di sekujur tubuh. Sambil merasakan hangatnya air, wanita itu tak hentinya mengeluh.

"Sudah ku bilang aku tidak bermimpi!"

"Mengapa mama tak mempercayai aku... Aku menderita di sini..."

Keluhan yang tak bisa keluar dengan ucapan, Vivian menangis sedalam-dalamnya dengan keluh yang tak bisa terkatakan.

"Mama..." tangis Vivian tak bisa tertahan lagi, demi tak terdengar pria di luar sana, Vivian menangis dengan sangat pelan.

Di tempat ini, tak ada satu detik pun kebahagiaan. Semua yang Vivian rasakan hanya kepahitan, penderitaan dan kesengsaraan. Ingin rasanya dia mendapat sedikit kehangatan, namun kehangatan yang dia dapatkan hanya dari tetesan air shower ini saja. Walaupun demikian, dia tetap bersyukur, hanya dengan tetesan air hangat yang menimpa tubuhnya, cukup membuatnya sedikit lebih tenang untuk beberapa saat.

...

Satu jam berlalu, Vivian masih terkurung di toilet sendiri. Pria itu tak kunjung kembali untuk melakukan penyiksaan lagi.

"Hachih..."

Vivian mulai merasakan ke tidak nyamanan di tubuhnya. Dengan langkah tak berenergi, dia membuang bongkahan es dalam bath up sembari mengganti dengan air yang lebih hangat lalu duduk merendam diri kembali. Merasakan kehangatan satu-satunya di tempat ini.

"Bertahanlah, sebentar saja, aku harus bertahan."

Cklek...

Terdengar suara pintu terbuka, namun saat dilihat, pintu toilet terlihat masih menutup, sepertinya suara tersebut terdengar dari luar, apakah ada seseorang yang datang?

Vivian sedikit berharap, mungkin saja seseorang yang datang itu adalah malaikat penyelamat. Wanita itu sungguh sangat berharap, hingga dia melepas segala rasa di tubuhnya dan beralih mendekati pintu untuk mendapat sedikit berita.

Vivian mendekatkan daun telinga dengan pintu hingga terdengar samar percakapan dari luar.

"Sayang aku sangat merindukanmu."

"Mau jus? Akan aku buatkan."

"Ummm...boleh, tapi jangan lama-lama ya, aku tidak mau harus menunggu lagi."

"Iya, akan cepat."

"Kiss dulu."

"Nanti sayang."

"Umm...sekarang."

"Baiklah, (....) sudah kan?"

"Umm...sayang..."

Percakapan tersebut terasa ambigu. Vivian terdiam dengan pikiran yang tiba-tiba saja datang tanpa permisi. Suara wanita manja dengan di balas perhatian manis hampir membuatnya mengaga tak percaya.

"Dia... Siapa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status