Share

part 6 aku mempercayaimu

Vivian termenung sembari memainkan ibu jari, dia benar-benar yakin apa yang dirasakan kemarin adalah nyata, bukan sekedar mimpi bahkan ilusi, semuanya nyata dengan rasa yang begitu jelas.

Vivian menatap pergelangan tangan yang tiba-tiba terlihat baik-baik saja, masih belum percaya dengan semua yang dia lihat saat ini.

"Rasa sakitnya bahkan masih terasa," batin Vivian sembari menatap pergelangan tangan.

Tanpa terasa berjam-jam berlalu, namun kesimpulan yang mesti Vivian dapatkan masih belum dia temukan.

Cklek...

Wanita itu menoleh menatap seseorang di awang pintu, tengah melangkah menghampirinya.

"Vivian Mama pulang dulu ya, cepat sembuh ya sayang, Mama akan merindukanmu," ucap Evelyn sembari memberi kecupan di kening sebagai tanda perpisahan.

Setelah memberi hujan kecupan, Evelyn membenarkan tasnya sembari berbalik meninggalkan Vivian sendiri duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong.

"Mama..."

Mendengar satu kata itu Evelyn menoleh melihat putri tercintanya terdiam dengan tetesan demi tetesan bening berjatuhan dari pelupuk matanya.

"Mama..."

Vivian memandang wajah sang ibu, dengan derai air mata yang tak bisa di bendung lagi.

Seketika Evelyn memeluk putri tercintanya dengan penuh kasih sayang, membiarkan putrinya menangis untuk terakhir kali dalam bahu sang ibu.

"Mama..."

Tangis Vivian seketika pecah, rasa sakit di dada bahkan sangat terasa, seakan ada sebuah tarikan yang menyayat hati yang rapuh ini.

Sudah berakhir, semua kehidupan yang Vivian lalui dengan senang di renggut paksa dengan pernikahan ini. Tak akan ada lagi masa kebebasan yang dia inginkan, tak akan ada lagi masa meneruskan pendidikan yang dia cita-cita kan. Semuanya akan tuntas bersamaan dengan hilangnya langkah kaki sang ibu dari pandangan. Semuanya telah selesai.

"An," panggil seorang pria dari awang pintu.

Evelyn melonggarkan pelukan sembari mengusap kasar air mata yang tiba-tiba saja keluar.

"Akh... Maaf Mama jadi lama ya," ucap Evelyn sembari mengusap bekas cairan di sekitar matanya. Sementara itu Vivian berusaha menahan tangis hingga hanya meninggalkan sesenggukan yang tak bisa di hentikan.

"An, Mama pulang dulu, jaga dirimu ya, Mama sangat menyayangimu sayang," ucap Evelyn untuk terakhir kali.

Max melihat kemesraan ibu dan anak. Pria itu memandang serius ke arah mereka sembari menunggu sang ibu mertua meninggalkan Vivian dengan lega.

Evelyn membenarkan tasnya kembali kemudian berbalik melangkah pergi.

"Jaga Vivian ya, Mama menitipkannya padamu," ucap Evelyn berpesan.

Evelyn yang tak terlihat lagi dari pandangan, menggugah Vivian untuk turun dari ranjang, melihatnya untuk terakhir kali dari teras luar.

Sementara itu, Max masih mematung di awang pintu seakan menanti sesuatu.

"Mau lihat Mama?" tawar Max.

Vivian terdiam sejenak, sambil meyakinkan diri dengan apa yang dia yakini.

"Iya," jawabnya ragu.

Max mendekat, menarik lengan Vivian dengan penuh kehati-hatian.

"Aku bantu," ucap Max sambil memapah sang istri menuju lantai bawah untuk menyaksikan perginya kedua orang tua.

Mobil hitam mulai melaju, senyuman indah dan lambaian tangan terlihat dari celah jendela mobil.

Vivian membalas lambaian itu dengan paksa. Lambaian perpisahan yang dia benci, Vivian tuangkan dengan balutan kebahagiaan.

"Aku akan tetap hidup di sini," batin Vivian. menyemangati diri.

"Mau kembali?" tanya Max.

Wanita itu menoleh melihat suaminya yang memberikan penawaran lembut. Dengan sikap Max yang seperti ini, entah mengapa Vivian memilih untuk membuang semua yang dia yakini. Ya, Vivian hanya bermimpi tentang semua perilaku kasar pria yang berstatus sebagai suaminya kini, meyakinkan perasaan bahwa Max adalah suami yang akan selalu menyayanginya sepenuh hati.

"Iya," jawab Vivian sambil tersenyum.

Lantas mereka melangkah pergi menuju kamar yang mereka tempati tadi.

Vivian melangkah dengan sedikit energi, duduk dengan ceria sambil menatap suaminya yang kini tengah menutup pintu.

"Max," panggil Vivian sembari memainkan kasur yang dia duduki.

Cklek...

Terlihat Max mulai mengunci pintu. Setelah benar-benar terkunci, Max menyimpannya dalam saku celana. Hal ini menggugah kebingungan dalam pikir wanita itu, mengapa tidak di gantung saja?

"Max kenapa kuncinya..."

Pria itu mendekat menatap Vivian di sertai senyuman pahit, persis seperti senyuman yang pernah melintas dalam mimpinya itu.

"Itu..."

Max semakin mendekat hingga mengundang trauma yang telah dia hilangkan dengan buah kepercayaan.

"Huh...kau sangat bodoh ya, Kau percaya aku berubah secepat itu?" bisik Max tepat di telinga Vivian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status