Dipagi yang diselimuti angin dingin, seorang wanita manis tengah menenteng tas dengan selimut dan mantel tebal di bahunya. Langkah kecil menapaki rumput hijau menyambut saat-saat dimana kata perceraian akan terlontar pagi ini.Dari kejauhan terlihat Justin baru saja keluar dari dalam mobil, dengan langkah cepat wanita itu menghampiri Justin untuk bertanya tentang keberadaan Max hari ini."Justin, dimana Max?" tanya Vivian langsung pada intinya.Justin yang hendak menuntaskan beberapa tugas langsung terhenti. Baru kali ini wanita yang berstatus sebagai istri temannya itu bertanya tentang keberadaan suaminya."Kau mencarinya untuk apa?""Aku ingin bercerai," jawab Vivian dengan sangat ringan. Wajahnya tampak berbinar senang."Baiklah, besok akan ku sampaikan padanya." Justin tampak tergesa-gesa sembari terus menerus melihat arloji."Baiklah, terimakasih." Senyuman indah terukir diwajahnya, matanya menyipit saat ucapan terimakasih berhasil dikatakan.Justin sejenak terhipnotis, senyuman
Mobil hitam yang mewah berhenti di depan Vila, mencuri perhatian semua orang yang berada di sekitarnya. Para pelayan yang berdiri berjejer dengan rapi segera melipat tangan mereka di depan dada, menunjukkan penghormatan kepada tuan mereka yang baru saja tiba."Selamat datang Tuan," sambut Lin dengan rendah hati.Max, yang mengenakan kacamata hitam melepas kacamata itu dengan cepat. Wajahnya terlihat serius saat dia berbicara dengan Lin, ekspresi tegang yang sulit disembunyikan.Semua pelayan menundukkan kepala mereka, tak berani menatap mata tuan mereka, sampai suara pecahan kacamata terdengar ...Prang!Semua orang terdiam."Di mana istriku?!" tanya Max, amarahnya meledak tanpa bisa ditahan lagi.Lin mengangguk dengan cepat, "Saya akan segera mencarinya, Tuan."Ini adalah pertama kalinya para penghuni Vila melihat amarah nyata dari tuan mereka yang selama ini terkenal dengan ketenangan dan kesempurnaannya di dunia hiburan. "Memangnya apa yang kalian lakukan seharian? Mengawasi satu
Setelah meluapkan sebagian emosi, Max tengah memperhatikan satu mobil hitam dari celah jendela, Moa dan Lin tampak berbincang sejenak sebelum mobil tersebut kembali pergi tanpa menginjakan kaki di Vila ini.Max bersandar pada dinding. Helaan nafas yang terdengar berat berembus pelan. Tangannya yang kuat mengepal erat, mencerminkan kemarahan yang masih tersisa. Dia mengusap darah di bibir dengan tangan kiri yang selalu terpasang cincin berwarna perak di sana. "Perceraian ya."...Esok menjemput, sejak pertemuan singkat kemarin tak sekalipun Max menampakkan batang hidungnya kembali, dan saat ini tepat pukul satu siang, Vivian baru selesai membersihkan diri. Saat pintu kamar mandi terbuka, Vivian langsung dikejutkan dengan kehadiran suaminya yang tengah duduk ditepi ranjang. Disampingnya terlihat gaun berwarna merah marun tersimpan rapi bersama dengan sepasang tuxedo senada."Pakai ini," titah Max jelas.Dengan langkah pasti Vivian membawa gaun tersebut, sembari sesekali menatap suamin
Saat mereka tiba di Vila, Max membuka pintu dengan gerakan cepat dan tegas. Melepas emosi yang diredam selama perjalanan.Dengan sorot mata yang tajam dan penuh otoritas, dia memberikan perintah, "Keluarlah."Disisi lain Vivian tampak enggan untuk menuruti perintah. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman."Kau duluan saja, nanti aku menyusul," ujarnya, menghindari tatapan mata biru Max yang terus menusuknya.Sejak dua hari yang lalu, kesabaran Max telah dipacu. Penolakan, kebencian, dan rasa sakit yang mengganggu semakin membesar dalam dirinya, dan hari ini, satu penolakan lagi berhasil dia dengar dengan sangat jelas, memicu kemarahan yang tak mampu lagi diberi sabar.Tanpa memberikan aba-aba, Max dengan kasar mengangkat Vivian dengan pangkuan ala fireman's carry. "Hey kau! Lepaskan aku!" Vivian terkejut lalu meronta untuk segera diturunkan.Beberapa pelayan tampak terkejut melihat kedatangan tuan dan nona muda mereka, namun segera fokus
Diruang hening, Vivian terbangun di ranjang untuk pertama kalinya. Dia dapat merasakan tubuh yang tak berbalut sehelai kain tertelungkup dibalik selimut putih.Netra yang terbuka langsung disuguhkan pemandangan pria di sisinya. Kelelahan, Max terlihat seperti itu membuat Vivian merasa marah secara tiba-tiba."Dia telah mengambil semuanya, kebahagiaanku, kehormatanku, semuanya tak tersisa." Vivian membatin.Wanita itu berbalik membelakangi. Dia teringat River, sang kekasih yang sangat dia cintai. Disaat itu pula tanpa rencana tetesan demi tetesan keluar dari pelupuk mata, merasa berdosa dengan apa yang telah dia lakukan semalam kemarin.Mendengar suara yang mengganggu telinga, pada akhirnya Max terbangun. Punggung indah penuh cupang terlihat jelas dari belakang. Saat dia hendak memeluk tubuh istrinya, Max terhenti kala menyadari Vivian tengah menangis tersedu-sedu.Dengan perasaan kesal, Max membuka selimut lalu berjalan menuju toilet tanpa sehelai kain apapun.Menyadari Max pergi, Viv
"Aku ingin bercerai!" Vivian berteriak."Bercerai? Hahaha...kau milikku sayang," balasan yang terdengar renyah tersebut terlontar dari bibir Maximilian Windsor, seorang aktor sekaligus suami di depannya.Max menatap bola mata coklat yang selalu terlihat membara. Sementara Vivian beberapa kali menelan Saliva, kesal karena tubuhnya terus dihimpit disudut yang sempit."Sudah kukatakan lepaskan aku! Tidakkah kau sadar sikap obsesimu itu hampir membunuhku!""Membunuh? Kau tidak boleh terbunuh, permainannya akan jadi membosankan tanpamu." Vivian benar-benar emosi, pikirannya berkali-kali menyuruhnya untuk memberi tamparan pada suaminya. Disamping itu jari-jemari Max perlahan meraba ujung kening Vivian, sembari menggerakkan ibu jari dengan pandangan yang saling terkunci."Dengarkan aku baik-baik, malam ini dan seterusnya, kau akan terus bersamaku. Jika kau mencoba kabur, tunggu saja hadiah apa yang akan ku berikan padamu."DegMendengar ancaman itu, dada Vivian terasa di dobrak. Pikirannya
Keesokan hari, di sebuah hotel ternama, Max terbangun akibat cahaya yang memancar dari celah tirai jendela kamar.Tring!!!Dering ponsel tiba-tiba berbunyi. Max meraba-raba meja untuk meraih ponsel dengan segera. "Halo," ucap Max dengan suara serak, bahkan matanya masih tertutup tak mau terbuka."Papa tunggu di kafe Dellie jam 8, tak ada alasan untuk kau telat," ucap dari seberang sana. Max langsung menutup panggilan tersebut, tak ada yang penting dari perintah pria tua itu. Dia menjatuhkan kepalanya lagi, melanjutkan kembali tidur paginya dengan tenang. Ting... Sebuah bunyi pesan tiba-tiba muncul. Seperti biasa mungkin Laura telah mengirimi foto cantik kepadanya, lantas Max mengambil ponsel lagi untuk membuka pesan tersebut. Matanya memicing, namun saat dilihat tak ada satupun pesan yang dapat diterima dari sang kekasih. Berlainan dengan sang ayah, puluhan pesan berjejer di layar ponsel. Dengan asal Max menggulir pesan tersebut sampai tiba matanya menangkap satu pesan yang berha
Keesokan hari, dikediaman Windsor ...Brak! Sebuah kendi berhasil dilempar dengan sempurna hingga pecahannya berserakan di mana-mana."Pa, bisakah Papa diam saja, jangan urusi kehidupanku!" bentak Max. Nafasnya terengah-engah dengan emosi yang tertahan. Luka akibat pecahan kaca di tangannya bahkan masih meneteskan darah kental, menggenang di lantai.Jun hanya duduk sembari menyaksikan amukan sang anak. "Kehidupanmu? Kau tahu, nama Windsor hampir ternodai karena siapa?" Jun mulai berdiri, mendekati sang putra dengan langkah pasti."Tck, itu karena Papa yang selalu mencampuri urusanku!" Max tak kalah mengeraskan suaranya."Kau pikir Papa begini karena apa? Kau pasti lebih tahu tentang bagaimana keluarga Laura. Seperti ini kah caramu menjatuhkan nama Windsor!" Bola mata yang tampak membara tak lepas tertuju pada Jun, seiring langkah demi langkah yang semakin dekat dengan sang anak.Tak... Tak...Langkah tenang terhenti tepat didepan Max. Kedua tangan Jun dilipat di depan dada sambil m